Indonesia dan Masyarakat Ekonomi ASEAN

Oleh Nur Iman Gunarba

Wartawan Harian Ekonomi NERACA

Sepuluh negara anggota ASEAN telah sia sekata mempercepat terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015. Galibnya, pembentukan komunitas itu membukakan pintu makin lebar pada perdagangan bebas. Arus barang dan jasa mengalir deras antarnegara, aktivitas ekonomi makin greget yang nantinya memicu pertumbuhan. Itu baru sebatas teorinya.

Niat baik dan proyeksi di atas pantas diamini asalkan negara-negara anggota ASEAN memiliki kekuatan ekonomi yang setara. Coba tengok kesenjangan produk domestik bruto (PDB) Laos yang hanya 1% dari PDB Indonesia pada tahun 2009 sebesar US$258 miliar. Ini tentu jauh timpang jika disandingkan dengan Singapura dan Malaysia.

Dari sisi produktivitas, sedikit menengok ke dalam negeri, Indonesia sudah terhitung memasuki masa deindustrilisasi. Fenomena para juragan kelas kakap yang sebelumnya merupakan produsen lantas beralih menjadi importer alias pedagang menasbihkan hal itu.

Ketika ASEAN-China Free Trade Agreement ditandatangani dan diterapkan mulai 1 Januari 2010, bisnis dan perekonomian Indonesia telah mundur ke belakang. Menengok data Badan Pusat Statistik setiap bulannya, arus impor membuat kita miris. Tak usah memelototi tiga besar barang impor dari Negeri Tirai Bambu, turut masuknya jeruk santan makin membuat kita miris. Indonesia sebagai negeri agraris telah melempar handuk.

Kini, forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-18 ASEAN menandai hitungan mundur empat tahun lagi menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Konon, komunitas itu sarat dengan kegiatan ekonomi yang menandakan pasar bersama dan berbasis produksi, lalu kawasan ekonomi yang sangat kompetitif, lantas kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan terakhir, kawasan yang sepenuhnya terintegrasi ke dalam ekonomi global.

Lantas, di mana keberadaan Indonesia yang kemarin begitu gagah berani menjadi tuan rumah KTT. Tak perlu menunggu beberapa tahun lagi, muramnya industri terutama pengolahan sudah terlihat saat ini. Jika dari China barang-barang kebutuhan rumah tangga membanjir, Thailand juga mengalirkan produk pertanian, otomotif dan mesin produksi.

Ketika produk agro kita kalah dan disusul lunglainya produk hasil industri yang kemudian kinerja ekspor kita surut, Indonesia tak lebih sebagai pasar yang memanjakan negara lain. Jumlah penduduk Indonesia yang 237 juta itu menjadi pembeli yang potensial dan lahap mengonsumsi produk asing.

Devisa yang mencapai US$ 110 miliar, tertinggi sepanjang sejarah, tak lain menjadi talangan neraca perdagangan yang memiliki tren defisit. Luas wilayah daratan menjadi lahan subur kelapa sawit yang dananya berasal dari pengusaha asing terutama Malaysia. Sedangkan, lanskap pertambangan batubara berkualitas tinggi mengalirkan pasokan energi ke China dan India. Sekali lagi, kita tak usah menunggu mimpi Masyarakat Ekonomi ASEAN terwujud. Saat ini pun kita sudah terjaga sebagai pasar barang impor.

 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…