Data Jumlah Sapi di Kementan Dinilai Tak Akurat

NERACA

 

Jakarta - Komite Daging Sapi Jakarta Raya (KDS) menilai data-data yang dimiliki Kementerian Pertanian terkait jumlah sapi di Indonesia sangat tidak akurat. Pasalnya, saat ini daging sapi masih terbilang sangat langka.

"Menurut sensus yang dilakukan Kementerian Pertanian, sapi berjumlah 14,8 juta sapi. Tetapi itu baru katanya, belum jelas benar jumlahnya atau tidak," ujar Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya Sarman Simanjorang di  Jakarta Selasa (11/12).

Menurut Sarman, Indonesia belum bisa menerapkan swasembada dalam beberapa tahun ke depan karena jumlah sapi sangat jauh dibanding penduduk Indonesia. "Kita cinta terhadap Kementerian Pertanian, makanya kita kritik Kementan. Kita harus jujur apakah kita bisa menjadi swasembada," tegasnya.

Sarman menjelaskan saat ini Indonesia sangat jauh berbeda dari eksportir dari sapi seperti Australia dan Selandia Baru terkait perbandingan jumlah sapi dan jumlah penduduknya. "Australia mempunyai populasi penduduk sebesar 22 juta sedangkan populasi sapinya 26 juta. Sama juga dengan Selandia Baru populasi penduduknya hanya 5 juta sedangkan populasi sapinya sudah 12 juta. Indonesia punya penduduk 240 juta sedangkan sapi 14,8 juta, itu juga katanya belum benar jumlahnya," jelasnya.

Sarman menambahkan pihaknya mengkritik pemerintah untuk memberikan solusi terbaik mengenai situasi dan kondisi kelangkaan daging sapi. Namun, pemerintah tampaknya belum mempunyai solusi terhadap daging sapi tersebut. "Kementerian Pertanian itu memproduksi saja, distribusi, supply dan demand serahkan kepada Kementerian Perdagangan," kata dia.

Seperti yang telah diketahui, langkanya daging sapi pernah membuat harga daging tersebut melonjak hingga Rp 100.000 per kilogram.

Sensus Sapi

Sebelumnya Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, mengatakan berdasarkan sensus jumlah sapi dan kerbau di Indonesia mencukupi kebutuhan dalam negeri. Ada pun kelangkaan daging yang terjadi belakangan ini, selain karena masalah transportasi, juga disebabkan porsi stok sapi yang dikuasai oleh rumah tangga –bukan pengusaha ternak sapi-cukup besar. Dan mereka umumnya hanya mau menjual ternak mereka pada waktu tertentu. “Jumlah rumah tangga ini cukup besar. Mereka hanya mau menjual sapinya kalau dia perlu uang, sebab ternak sapi itu dianggapnya sebagai tabungan,” kata Suryamin.

Akibatnya, pasok sapi ke pasar sering tidak mencukupi manakala permintaan tinggi.Masalah lain yang menyebabkan munculnya kelangkaan daging belakangan ini adalah hambatan distribusi. Stok sapi sebetulnya banyak tersedia di Nusa Tenggara Barat.

“Tetapi pengangkutannya tidak tersedia. Kapal dari Angkatan Laut memang ada, tetapi daya angkutnya terbatas, hanya 100 sapi sekali angkut dan ongkos angkutnya saja bisa menjadi Rp10 juta per sapi,” kata Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono.

Dia menambahkan ada pula persoalan ketika Pemda Jawa Timur tidak memperbolehkan masuknya sapi melalui pelabuhan di Jawa Timur. Adi menyarankan sebaiknya ada  langkah khusus dengan cara mengangkut daging secara langsung dengan kapal khusus, bukan lewat Jawa Timur. Distribusi bisa langsung ke Cirebon lalu diangkut ke Jakarta. "Sehingga memotong jalur-jalur yang ada,” tutur dia.

Dia juga menyarankan dalam jangka menengah perlu dibangun rumah potong hewan di NTB sehingga yang dikirim ke Jawa bukan lagi sapi hidup melainkan daging beku. Data BPS mencatat konsumsi daging pada 2011 mencapai 449.000 ton. Sementara produksi daging lokal mencapai 292.000 ton dan daging impor mencapai 34,9 persen atau 157.000 ton daging. Pada 2012 konsumsi daging akan mencapai 484.000 ton dengan produksi daging lokal mencapai 390.000 ton dan sebanyak 85.000 ton daging sapi impor. Pemerintah diminta menindak tegas importir daging sapi nakal yang mempermainkan harga sehingga menyebabkan harga daging di pasaran melonjak drastis.

Banjir Impor

Menurut Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia Asnawi, hampir semua daging di daerah Jabodetabek dikuasai sapi impor. Dia menilai, tidak ada gejolak yang signifikan pada daging impor saat ini karena harga lebih murah dibanding sapi lokal, transportasi dan distribusi lebih murah, serta kurs dolar Australia tidak bergejolak.

"Pemerintah perlu mengambil tindakan tegas, seperti mencabut izinnya. Logikanya sapi impor tidak ada gonjang-ganjing. Ada indikasi permainan harga, motifnya agar impor ditambah karena sekarang mereka sudah teriak-teriak untuk menambah kuota impor," katanya.

Dia mengatakan, tren harga daging sapi saat ini cenderung naik terus, berbeda dibanding awal tahun ini yang harganya stabil di kisaran Rp 65.000-Rp 70.000 per kilogram (kg). Sebelumnya, total kebutuhan daging sapi tahun 2012 sebesar 484.000 ton, dan 20 persen dari kebutuhan itu dipenuhi dari impor. Untuk 2013, total kebutuhan daging sapi di Indonesia diperkirakan meningkat menjadi 500.000 ton. Namun, pemerintah berencana menurunkan impor daging menjadi 14 persen dari total kebutuhan daging nasional.

Selain, dia menduga adanya manipulasi jumlah sapi lokal dalam sensus ternak nasional, karena pada kenyataannya tidak bisa mencukupi kebutuhan daging nasional. "Pemerintah bilang bisa mencukupi 65-70 persen kebutuhan daging nasional, tetapi kenyataannya kita kekurangan stok daging," ucapnya.

Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron meminta Kementerian Pertanian segera mengambil langkah untuk mengantisipasi kelangkaan daging sapi. "Kelangkaan daging sapi saat ini sudah diprediksi akan terjadi jika mencermati indikasinya menjelang Hari Raya Idul Fitri 2012," kata Herman.

Menurut dia, menjelang Idul Fitri 2012, harga daging sapi melonjak tinggi dan Kementerian Pertanian menarik kuota impor sapi triwulan ketiga dan keempat untuk memenuhi pasokan daging pada hari raya tersebut. Pihaknya sudah mempertanyakan kepada Menteri Pertanian dan Dirjen Peternakan pada beberapa kali dalam rapat kerja perihal penggunaan kuota triwulan ketiga dan keempat ini serta strategi mengantisipasi kekurangan pasokan daging pada akhir 2012. "Pada akhir tahun, ada Idul Adha, Natal, dan tahun baru, yang diprediksi kebutuhan daging sapi akan meningkat," tuturya.

Dia menegaskan, atas kejadian kelangkaan dan melonjaknya harga daging sapi saat ini, ia meminta Kementerian Pertanian melakukan emergency response plan dengan mengambil langkah-langkah antisipasi dan tidak serta-merta melakukan kebijakan impor. "Impor adalah jalan terakhir jika pasokan daging sapi dalam negeri benar-benar sudah tidak mencukupi dan situasi harga yang tidak dapat dikendalikan," katanya.

Seperti diketahui, kelangkaan pasokan daging yang terjadi di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia menyebabkan industri kecil dan menengah yang memproduksi pangan olahan kesulitan memperoleh bahan baku.

BERITA TERKAIT

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Konsumen Cerdas Cipakan Pasar yang Adil

NERACA Jakarta – konsumen yang cerdas dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar yang adil, transparan, dan berkelanjutan. Konsumen perlu meluangkan…

Sistem TI Pantau Pemanfaatan Kuota BBL

NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik untuk mengawal…

UMKM Pilar Ekonomi Indonesia

NERACA Surabaya – Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan pilar ekonomi Indonesia. Pemerintah akan terus memfasilitasi kemajuan UMKM dengan…