Iklim Investasi Indonesia Belum Kondusif

NERACA

 

Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai, iklim investasi di Indonesia sejauh ini masih belum kondusif. Menurut Kadin, dalam survei Doing Business, kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) di Indonesia pada 2012 menurun menjadi peringkat 129. Penyebabnya adalah prosedur memulai usaha (starting a business) yang masih berbelit-belit. Di Singapura hanya memerlukan waktu 3 hari untuk memulai bisnis dengan izin formal, di Indonesia diperlukan waktu berbulan-bulan.

“Iklim investasi juga masih rendah karena kita masih kesulitan memperoleh listrik (getting electricity), memperoleh kredit (getting credit), dan menjalankan kontrak (enforcing contract),” ungkap Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto dalam keterangan tertulis yang diterima Neraca terkait evaluasi perekonomian nasional, Selasa (11/12).

Selain biaya logistik antar wilayah Indonesia yang masih tinggi, kondisi pasar kerja yang kurang efisien juga menyebabkan iklim investasi juga rendah, terutama yang mencakup biaya redundansi yang tinggi, kekakuan lapangan kerja, penerimaan dan pemutusan kerja, fleksibilitas penentuan upah dan hubungan karyawan pengusaha. “Meskipun begitu, investasi luar negeri terus saja mengalir ke Indonesia karena faktor krisis di negara-negara pengekspor modal,” ungkapnya.

Riset di lingkungan KADIN memperlihatkan bahwa perbaikan iklim investasi di daerah sebesar 1% akan meningkatkan kontribusi investasi terhadap penerimaan atau output daerah sebesar 6,963%. Kadin menilai reformasi regulasi usaha harus cepat diperbaiki agar bisa mendukung peningkatan investasi. Kinerja Birokrasi di Indonesia masih buruk, yang ditunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada tahun 2011 hanya bernilai 3 dari angka maksimum 10.

FTA dan CEPA

Selain itu, diplomasi ekonomi dan perdagangan Indonesia dinilai masih lemah. Seringkali, negosiasi dengan pihak mitra asing tidak dilakukan dengan cermat dan sering diabaikan dengan menyerahkan pada pelaku negosiasi eselon bawah. Dengan pola strategi diplomasi dagang seperti ini, maka Indonesia selalu kalah dan menjadi korban sehingga beban kerugian yang besar ditanggung oleh dunia usaha.

Contoh paling nyata adalah CAFTA, yang meluluhlantakkan usaha kecil dan menengah serta membuat industri nasional mati suri dengan gejala massal deindustrialisasi. Karena itu, setiap ada usaha negosiasi baru, maka dunia usaha dan publik merespon dengan tegas penolakan awal yang keras tanpa mengetahui isi negosiasi dagang tersebut. Sebabnya tidak lain karena secara historis kinerja pemerintah dalam diplomasi ekonomi lemah, sehingga publik dan dunia dunia usaha kurang percaya.

Kinerja perdagangan produk industri tahun 2007- 2011 justru defisit, kecuali India. Pertumbuhan impor 2-3 kali lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor. Dengan Jepang, pertumbuhan impor Indonesia mencapai 31,2 persen, tetapi pertumbuhan ekspor Indonesia hanya 7,07 persen. Dengan Cina, pertumbuhan impor lebih dari 300 persen sehingga defisit perdagangan semakin besar. 

“Dalam kasus CAFTA, Indonesia berada pada pihak yang dirugikan dengan korban pengusaha sektor industri. Memang, kondisi perdagangan antara negara dan wilayah berbeda-beda, tetapi belajar pada kasus tersebut  pemerintah harus lebih teliti dan berhati-hati,” ujar Suryo.

Waralaba Asing

Bisnis waralaba di dalam negeri tumbuh secara signifikan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan pada 2009-2010 mencapai 40 persen, naik dari penjualan 81 triliun rupiah menjadi 114 triliun rupiah. Pada tahun 2011 meningkat lagi menjadi 121 triliun rupiah. Pertumbuhan waralaba paling signifikan terjadi pada bidang usaha makanan dan kuliner lainnya, baik untuk waralaba asing maupun lokal. Fenomena ini harus dicermati agar Indonesia tidak kehilangan kesempatan mengambil manfaat dari pasar dalam negeri yang besar.  Waralaba nasional harus mendapat manfaat dari perkembangan ini.

Kementerian Perdagangan menetapkan aturan baru dalam bidang waralaba, Nomor 68/M-DAG/PER/10/2012 tentang waralaba untuk jenis usaha toko modern.  Tujuannya agar perusahaan waralaba asing yang mendirikan lebih dari 150 outlet harus mengajak partner lokal dan memenuhi muatan lokal 80 persen dari jenis barang yang perdagangkan.   Jika ada yang memiliki 5.000 outlet maka harus dilepas 40 persen dari total outlet selama lima tahun. Aturan ini didukung penuh oleh KADIN dan perlu dijalankan secara konsisten.

Investment Fund

Pasar Indonesia sangat besar dengan 50 juta kelas menengah baru dan akan meningkat dua kali lipat dalam beberapa tahun mendatang. Ukuran ekonomi Indonesia juga sangat besar karena masuk di dalam jajaran 20 besar dunia.  Tetapi kita kehilangan kesempatan ekonomi yang besar karena tidak merespons dengan kebijakan ekonomi dan bisnis yang tepat.  Beberapa negara di dunia untuk kepentingan ekspansi ekonomi telah membentuk lembaga yang mengadopsi konsep sovereign wealth fund (SWF). SWF adalah suatu lembaga dana investasi milik negara yang dibentuk dari dana yang dapat berasal dari (i) penerimaan pemerintah dari ekspor sumberdaya alam, dan/atau (ii) surplus neraca pembayaran, operasi valas resmi, hasil privatisasi, transfer pemerintah, dan/atau surplus fiskal.

Dengan lembaga SWF ini, maka ekonomi dan bisnis negara bersangkutan merambah ke seluruh jaringan global sehingga sektor ekonomi luar negerinya menjadi sangat kuat. “Sangat disayangkan, upaya untuk membentuk lembaga investasi domestik seperti Indonesian Investment Fund, dengan total estimasi total pembiayaan pembangunan infrastruktur Indonesia hanya mencapai 1,9 triliun rupiah (US$ 0,3 miliar),” ungkap Suryo.

Akumulasi dana tersebut sangat sedikit dibandingkan SWF Singapura seperti Temasek yang mencapai 161 milyar USD. Kegiatan Temasek sudah tersebar di 5 benua dan merupakan pemegang saham dan investor di bidang jasa keuangan (diantaranya bank Danamon di Indonesia), telekomunikasi dan media, teknologi, transportasi, industri, ilmu hayati, barang konsumen, real estate, dan energi serta sumberdaya alam.

Pemerintah Singapura memiliki lembaga investasi lainnya yang lebih besar, yaitu Government Investment Corporation (GIC), yang mengelola cadangan devisa Singapura. “Sudah saatnya Indonesia memiliki lembaga investasi seperti ini,” tandasnya.

Selain Temasek, Malaysia juga sudah membentuk Khazanah Nasional Berhad, dana investasi strategis Pemerintah Malaysia, yang dipercaya mengelola aset komersial negara. Khazanah memiliki investasi di lebih dari 50 perusahaan besar, baik di Malaysia maupun di luar Malaysia, dan mencakup sektrum industri yang luas, termasuk jasa keuangan seperti CIMB Niaga, usaha perkebunan dan lainnya.

 

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…