Investasi Industri TPT Tertunda - Diterpa Sejumlah Masalah

NERACA

 

Jakarta - Direktur Industri Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Ramon Bangun menjelaskan dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang sebagian besar daerah melakukan penyesuaian telah membuat rencana ekspansi industri alas kaki serta Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di beberapa daerah menjadi tertunda. Akibatnya adalah penyerapan tenaga kerja semakin minim.

"Ada beberapa perusahaan alas kaki asal Taiwan yang dengan terpaksa menunda rencana penambahan kapasitas produksinya di Wilayah Sidoarjo. Ini dikarenakan tidak ada kepastian tentang upah buruh, padahal untuk salu lini produksinya bisa menyerap 320 tenaga kerja," ungkap Ramon di Jakarta, Selasa (11/12).

Tak hanya menunda investasi, tambah Ramon, perusahaan TPT dan alas kaki juga telah mengalihkan pesanannya ke Kamboja. Hal ini dikarenakan upah buruh di Indonesia terlalu mahal sehingga memindahkan ke Kamboja. "Untuk Kamboja memang upah buruhnya lebih murah, tapi kemampuan produksinya masih unggul Indonesia. Kenaikan UMP sebesar 40% membuat industri TPT dan alas kaki nasional tidak kompetitif dan tertinggal dari negara Asia lainnya," paparnya.

Menurut dia, sejumlah investor asing dari China tertarik untuk mengalihkan basis produksinya ke Indonesia akan tetapi dengan kenaikan upah buruh maka investor asal China tersebut justru akan mengalihkan investasinya ke Vietnam dan Kamboja. Tak hanya itu, menurut Ramon, beberapa perusahaan padat karya yang sudah beroperasi di Jakarta juga mulai berpikir untuk mengalihkan tenaga kerjanya ke pabrik di Jawa Tengah ataupun Jawa Timur.

"Secara tidak langsung, dengan kenaikan UMP di wilayah Jakarta yang mencapai Rp2,2 juta membuat wilayah seperti Jakarta diserbu oleh tenaga kerja dan daerah lain terjadi krisis tenaga kerja karena upahnya masih murah. Hal ini membuat Jakarta kebanjiran pengangguran karena industri padat karya banyak yang mengurangi tenaga kerja," tambahnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian G. Ismy mengatakan dengan kenaikan UMP sebesar 16% ditambah juga kenaikan TDL sebesar 15% maka jalan keluar yang dipilih oleh produsen adalah dengan menaikkan harga produk sebesar 16%. Hal ini menurut Ernovian dalam rangka menutup cost produksi yang terbilang tinggi dikarenakan dua faktor yaitu kenaikan TDL dan UMP.

Menurutnya, meningkatnya upah buruh sangat memberatkan pelaku usaha. Belum lagi besarnya upah buruh di luar standar kehidupan layak pada wilayah tertentu. "Untuk itu, pelaku usaha tetap berharap kepada pemerintah untuk bisa mengkaji ulang kenaikan TTL dan UMP pada 2013. Industri TPT merupakan sektor dengan margin yang tidak besar dan mempekerjakan ribuan karyawan," katanya.

Selain berdampak pada kenaikan biaya produksi, paparnya, kenaikan upah buruh membuat produsen tekstil mengurangi jumlah karyawan sebagai langkah efisiensi produksi. "Dengan UMP yang besar, sebagian perusahaan anggota API berencana memberhentikan 2.000 karyawan. Sementara produsen tekstil asing menyatakan per Januari 2013 akan melakukan pengurangan pegawai sampai dengan 20%," ujarnya.

Ernovian menyatakan pengurangan karyawan harus ditempuh agar perusahaan tetap bisa bersaing dengan produk asal China dan India di pasar domestik. Tak hanya itu, API juga memperkirakan kinerja ekspor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) akan semakin terpuruk. "Pada tahun depan, diperkirakan kinerja industri TPT semakin menurun akibat tingginya UMP dan biaya energi. Untuk kinerja ekspor 2013 akan menyamai tahun ini sebesar US$12,58 miliar," tambahnya.

Pelaku industri TPT, menurut Ernovian, terus tertekan dengan kondisi pasar ekspor di Amerika Serikat dan Eropa akibat krisis ekonomi. "Krisis global yang melanda kawasan Amerika Serikat dan Eropa membuat ekspor TPT dari Indonesia semakin kecil. Selain itu, industri TPT nasional hanya menguasai 46% pasar domestik," katanya.

Penurunan permintaan global, lanjut Ernovian, dibarengi dengan semakin ketatnya persaingan di pasar internasional yang mengakibatkan kinerja ekspor TPT Indonesia terus melemah. "Pada semester I 2012, kondisi tersebut telah menunjukkan penurunan. Berdasarkan data API, realisasi nilai ekspor anjlok 6,1% dari US$6,76 miliar pada semester I tahun lalu menjadi US$6,38 miliar di semester I tahun ini," jelasnya.

BERITA TERKAIT

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…

BERITA LAINNYA DI Industri

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…