Industrialisasi Kelautan dan Perikanan - KKP Dorong Norwegia Bangun Pabrik Pengolahan

NERACA

 

Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengajak Norwegia untuk membangun pabrik pengolahan produk kelautan dan perikanan, termasuk di dalamnya pengolahan rumput laut. Ajakan ini tentu saja terkait dengan kemapuan teknologi yang dimiliki Norwegia dalam industri pengolahan di sektor yang KKP bina.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengatakan, ke depan, sangat mungkin untuk melakukan transfer teknologi dari Norwegia untuk mendorong industrialisasi kelautan di Indonesia. “Bisa aja transfer teknologi. Industrinya adalah industri makanannya. Industri makannya yang maju. Misalnya mengenai rumput laut, mereka mempunyai teknologi yang cukup tinggi. Kita di sini ingin mengajak investasi mereka. Swasta mereka kita ajak investasi di Indonesia, untuk pengolahan rumput laut,” kata Cicip usai membuka seminar Indonesia-Norwegia yang bertajuk Blue Economy, Perikanan dan Budidaya Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan di Hotel Shangri La, Jakarta, Selasa (27/11).

Sejauh pembicaraan dengan KKP, Norwegia mengaku sangat tertarik tertarik untuk membangun industri pengolahan di Indonesia. Selain itu, Norwegia juga sangat tertarik mengembangkan bisnisnya di sektor perikanan tangkap. “Mereka yang terkenal itu ikan salmon. Karena kita mempunyai spesies yang cukup banyak, seperti yang saya bilang tadi ada 250 spesies akan menjadikan ikan ini akan menarik bagi mereka untuk bisa bekerjasama dengan kita,” lanjutnya.

Terkait berapa investasi yang bakal digelontorkan ke Indonesia untuk pengembangan industri, Cicip belum bisa menyebutkan angkanya lantaran masih dihitung. Tapi Cicip mengaku telah berbicara dengan pemerintah Norwegia soal investasi tersebut. Yang pasti, Norwegia telah berkomitmen untuk menanam modal di sektor budidaya dan penangkapan, industri garam, dan water management. KKP, sambung Cicip, juga telah menyepakati kerjasama di bidang pendidikan untuk penyadaran kelautan dan perikanan kepada para siswa. Kemudian pelatihan untuk enterpreneur.

“Nanti bulan Maret akan kita undang dari seluruh dunia yang merupakan negara-negara kepulauan. Kita akan bikin Marine And Fisheries Summit. Kita akan bicara mulai dari terumbu karang, ikan, maupun apa yang bisa dibangun, termasuk cold storage-nya dan pabrik-pabriknya di pesisir maupun jasa bahari,” ungkap Cicip.

Defisit Perdagangan

Di sektor perdagangan bilateral dengan Norwegia, Cicip mengakui neraca perdagangan Indonesia masih tercatat defisit. “Kita ke Norwegia sendiri kan defisit. Karena aturan untuk impor ikan di sana itu sangat ketat. Tidak hanya ke Norway, untuk Eropa juga. Kemarin kita sempat dihambat, karena ada beberapa hal kita tidak memenuhi persyaratan mereka. Tapi dua bulan lalu kita sudah berhasil meyakinkan mereka bahwa kita tidak melanggar aturan mereka. Aturan di Eropa ini sangat ketat memang,” terangnya.

Senada dengan Cicip, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Saut Hutagalung mengatakan ekspor ke Norwegia defisit karena aturan impor ikan di Eropa sangat ketat. Indonesia, kata Saut, pernah dihambat ekspornya karena dianggap melanggar aturan. “Kerjasama ini untuk membangun industri pengolahan dan penangkapan ikan di Indonesia karena kita memiliki spesies ada sekitar 280 lebih. Karena Norwegia merupakan produsen ikan terbesar kedua di dunia setelah China.

Sejauh ini, kata Saut, tarif bea masuk ikan tuna kaleng cukup tinggi karena mengikuti standar Uni Eropa sekitar 24% dan tuna segar 21%. Karena itu, Indonesia meminta tarif bea masuk diturunkan untuk meningkatkan pasar. Pada 2011 lalu total nilai ekspor perikanan ke Norwegia tercatat US$ 7 juta. “Impor ikan Indonesia ke Norwegia tidak berimbang. Supaya berimbang perdagangan kita, eksportir juga harus jalan. Mereka mau kasih pelatihan dan kita buka pasar. Kita manfaatkan kemudahan antara Uni Eropa dan Norwegia,” ungkapnya.

Di tempat yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, saat ini Norwegia memang akan masuk ke sektor perikanan di Indonesia. “Mereka itu teknologinya hebat, duitnya banyak. Saya pikir kita harus manfaatkan kapitalnya sama teknologinya untuk di sini. Untuk penduduknya tidak banyak, hanya 5 juta saja. Tapi duitnya sangat banyak,” ujar Sofjan.

Sementara minat investor lokal menanam modal di sektor perikanan, kata Sofjan, memang belum sebaik yang diinginkan. Apalagi, lanjutnya, nelayan-nelayan Indonesia masih tradisional. Anggota Apindo sendiri belum banyak yang masuk ke industri perikanan. “Karena kita ini masih tradional fisheries. Inilah yang saya pikir menjadi masalah, sehingga harus kita rubah menjadi farming. Kalau nelayan tradisional ikan-ikan yang dianggap liar sudah tidak zamannya lagi, malah lebih banyak dicuri karena equipment-nya tidak cukup,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…

BERITA LAINNYA DI Industri

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…