Terapkan Sistem Produksi Bersih - Pengrajin Tahun Tempe Bisa Hemat 30%

NERACA

Jakarta - Para produsen tahu dan tempe harus segera menerapkan produksi bersih. Saat ini, mayoritas produsen tempe dan tahu yang sebagian besar merupakan Industri Kecil dan Menengah (IKM) belum menerapkan produksi bersih. Padahal dengan menerapkan produksi bersih bisa menghemat biaya produksi hampir 30%.

"Untuk produksi rumahan, itu bisa hemat sampai Rp100 juta artinya ada penghematan 30% dari total cost produksi," kata Kepala Bidang Teknologi Ramah Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Arif Wibowo kepada Neraca di Jakarta, Kamis (22/11).

Menurut Arif, penghematan biaya produksi terjadi karena adanya penghematan listrik, air dan pengolahan limbahnya. "Ini menjadi sangat penting bagi perajin tahu dan tempe. Mulai dari tidak berlebihan menggunakan air, listrik dan memanfaatkan limbah dari produksi tahu dan tempe," jelasnya.

Dia menambahkan, dengan menerapkan produksi bersih, maka produsen tahu dan tempe bisa meningkatkan efisiensi untuk mengurangi biaya penaatan hukum, menghindari biaya-biaya pemulihan lingkungan, mengurangi terbentuknya pencemaran lingkungan, memberikan peluang untuk mencapai sistem manajemen lingkungan seperti pada ISO 14001, memberikan keunggulan untuk bisa dipasarkan domestik dan internasional, dan mengurangi resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.

Ia juga mengatakan bahwa pemerintah juga turut serta dalam mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup kepada para produsen. Hal ini tercermin dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 31 tahun 2009 yang isinya menwajibkan pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penerapan sistem manajemen lingkungan dan teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. "Pemda juga turut peran serta untuk mengawasi produsen yang telah mencemarkan lingkungan," ucapnya.

Namun demikian, lanjut dia, karena produsen tempe dan tahu lebih didominasi oleh pengrajin IKM maka agak sulit untuk menerapkan sistem produksi bersih. "Banyak kendala-kendala yang tercipta dilapangan seperti kemampuan manajemen yang kurang baik, keputusan tergantung pada satu orang, akses informasi yang sedikit, kemampuan SDM yang belum terampil, masalah perawatan yang cukup sulit dan pendanaan yang terbatas," ujarnya.

Arif menyebut, ada tiga limbah yang dikeluarkan dari produksi tahu tempe yaitu limbah padat, cair dan udara. Misalnya saja limbah padat dari produksi tempe dan tahu adalah ampas kedelainya. "Kalau produsen yang kreatif maka ampasnya itu bisa dijadikan sesuatu yang bernilai seperti pakan ternak dan makanan," tuturnya.

Dia mengungkap, limbah cair dari hasil produksi tahu tempe adalah masalah air yang terlalu boros pemakaiannya. Karena dengan menggunakan air sedikit dan terkontrol maka cost pengeluarannya juga akan sedikit. Sementara untuk limbah udara yang dihasilkan dari produksi tahu tempe adalah sekitar 12 ribu carbon. "Kalau produsen memakai tungku maka itu menghasilak sekitar 12 ribu carbon yang cukup berbahaya sehingga kualitas udara tidak bagus," imbuhnya.

Hal tersebut diamini oleh Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) yang membawahi sekitar 15 ribu produsen tahu dan tempe di Indonesia. “Penerapan produksi bersih sudah dilakukan oleh beberapa produsen tahu dan tempe besarannya hanya 5% yang menerapkan itu,” kata Bendahara Gakoptindo Sukhaeri.

Menurut dia, dari sekitar 5% produsen yang telah menerapkan produksi bersih maka pendapatannya bisa meningkat antara 5-10%.

Sementara itu, Senior Program Officer Scope Indonesia Muhammad Ridha mengatakan penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar produksi tahu dan tempe semakin lama semakin sulit dicari. Terlebih harga yang cenderung bersifat fluktuatif dan juga dari sisi pembakaran yang menimbulkan asap sehingga berdampak kurang baik terhadap lingkungan dan hasil produksinya.

Namun demikia, imbuh Sukhaeri, untuk menerapkan teknologi baru untuk memproduksi tahu dan tempe masih mengalami banyak kendala terhadap teknologi baru tersebut. “Dilihat dari sisi teknologi, masih kurangnya ketersediaan teknologi yang baru dan benar-benar sesuai dengan harapan para pelaku usaha. Sementara dari sisi produsennya masuh kurangnya pengetahuan dan terbatasnya akses informasi dan harga teknologi baru yang cukup mahal,” tukasnya.  

 

BERITA TERKAIT

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…