HNSI Desak Pemerintah Alokasikan BBM ke Sentra Nelayan

NERACA

Jakarta – Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia mendesak pemerintah agar mengalokasikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk nelayan ke sentra-sentra nelayan. Alasannya, alokasi BBM untuk nelayan sejauh ini diberikan satu paket ke alokasi kabupaten/kota dan provinsi. Itulah sebabnya, pasokan BBM untuk nelayan hingga kini masih bermasalah.

“Sekarang ini, alokasi BBM tidak tepat sasaran. Nah sekarang, alokasi BBM untuk nelayan nempel alokasi kabupaten/kota dan provinsi. Ketika provinsi itu dialokasikan X kiloliter, maka provinsi ini otaknya masih ke darat, ya untuk angkutan darat. Akhirnya alokasi untuk nelayan kecil. Walaupun ada BBM, tapi kurang. Ke depan kita minta pemerintah untuk tidak menetapkan BBM untuk belayan berdasarkan geografis nelayan, tapi berdasarkan sentra-sentra nelayan,” kata Ketua Umum HNSI Yussuf Solichien Martadiningrat dalam acara silaturahim dengan Calon Pengurus DPP HNSI 2012-2017 dan pembubaran Panitia Munas HNSI di Wisma Elang Laut, Jakarta, Rabu (21/11).

Menurut Yussuf, permasalahan BBM untuk nelayan sudah berlangsung bertahun-tahun sehingga harus secepatnya diselesaikan. “Kita meminta kepada kepada pemerintah BBM subsidi untuk nelayan tetap diberikan. Yang sekarang jadi problem adalah penyalurannya. Dari 2,2 juta kiloliter alokasi, yang sampai ke nelayan hanya sampai 800 ribu kiloliter. Jadi ada 1,7 juta kiloliter entah kemana,” tegasnya.

Karena itu, pada 2013 mendatang, HNSI mendorong pemerintah untuk membangun Solar Packet Dealer Nelayan (SPDN) ke sentra-sentra nelayan. Yussuf mencontohkan, di Indonesia timur, jumlah SPDN masih minim. Demikian pula di Indonesia tengah, jumlah SPDN berikut alokasi BBM yang dibutuhkan belum tercukupi. “Oleh karena itu, 2,5 juta kiloliter BBM harus sampai lah ke nelayan,” lanjutnya.

Namun, selain permasalahan BBM, nelayan di Indonesia, menurut Yussuf, juga terkendala di sektor permodalan. “Nelayan sangat butuh permodalan. Karena nelayan melaut butuh kapal, butuh jaring, dan bahan bakar. Semua ini perlu dana. Untuk biaya operasional perlu dana. Nah, kita minta kepada pemerintah untuk memberikan modal atau dana pinjaman kepada pemerintah yang bunganya rendah, cicilannya rendah, dan tanpa agunan,” ungkap Yussuf.

Dia mennjelaskan, saat ini pemerintah memang memberlakukan KUR (kredit usaha rakyat) untuk nelayan dengan ketentuan kredit sampai Rp 50 juta tidak pakai agunan. “Tapi ternyata, bank-bank pelaksana mulai dari BRI, BNI, Bank Mandiri, semuanya minta agunan kepada nelayan yang hanya meminjam Rp 5 juta. Sehingga untuk nelayan sulit. Di samping bunganya mahal, 12%,” jelas Yussuf yang merupakan purnawirawan Mayor Jenderal Marinir ini.

Lebih jauh Yussuf membandingkan, Jepang hanya menerapkan bunga 0,5% untuk kredit ke nelayan. Sementara China hanya 2%. “Negara tetangga kita, Malaysia dan Thailand, Filipina, Australia, itu bunga kredit untuk nelayan hanya 3,5%. Karena itu, untuk masalah permodalan ini, kita akan duduk bersama dengan BI dan perbankan nasional, untuk mencari bagaimana solusinya. Kenapa untuk zaman Orde Baru bisa ada kredit usaha nelayan tanpa bunga,” tanyanya.

Potensi Belum Digarap

Dalam kesempatan itu, Yussuf juga menjelaskan, potensi perikanan di Indonesia  bisa mencapai RP 1.500 triliun per tahun. Namun, potensi itu belum digarap secara optimal. “Tapi kenapa tidak bisa dicapai? Masalahnya, paradigma pemerintah atau paradigma pembangunan kita masih daratan. Oleh karena itu barangkali, dua hal itu yang akan diperjuangkan HNSI,” terang Yussuf.

Dalam catatannya, pemerintah lebih suka membangun jalan tol, bendungan, tapi lupa membangun pelabuhan perikanan. “Kita butuh tempat pelelangan ikan. Supaya aksesnya dekat. HNSI mendorong pemerintah harus mengubah paradigma dari darat ke laut,” papar Yussuf.

Di mata Yussuf, sejauh ini keberpihakan dan kepedulian perbankan di sektor kelautan dan perikanan ini sangat kecil. Karena otaknya ke darat terus. Infrastruktur saja ke darat terus. Triliunan rupiah atau miliaran dollar untuk infrastruktur darat. Tapi pembangunan pelabuhan perikanan, pelabuhan perikanan, pasar-pasar ikan, dermaga perikanan masih minim. “Tidak sampai 5% dana KUR yang bisa diakses nelayan. Dari pinjaman yang dikeluarkan total oleh perbankan di Indonesia, untuk sektor kelautan dan perikanan hanya 0,2%. Bayangkan itu,” urainya.

Beberapa negara, lanjut Yussuf, bisa maju dan makmur karena sektor perikanan dan kelautan. Islandia misalnya, kata dia, pendapatan per kapitanya US$ 26.000. sementara Indonesia hanya US$ 3.500. Di Islandia 70% produk ekspor adalah produk perikanan. Sedangkan 60% GDP berasal dari sektor perikanan. “Kita pun bisa seperti itu. China yang panjang pantainya hanya 18.000 kilometer saja total produksi perikanan China itu 51 juta ton per tahun. Kita dengan garis pantai 5,8 juta kilometer hanya 12 juta ton per tahun, itu sudah termasuk perikanan budidaya di darat,” tandas Yussuf.

Dalam kacamata yang lebih makro, permasalahan di sektor nelayan juga terkait dengan pendidikan para pencari ikan. Sekarang ini 72% nelayan tidak sekolah dan hanya tamatan SD, sehingga sulit menjadi negara yang unggul di sektor perikanan dan kelautan. “Jepang itu panjang pantainya hanya 33 ribu kilometer. Sepertiga dari Indonesia. Tapi dia punya hampir 5.000 pelabuhan perikanan. Kita yang garis pantainya tiga kali lipat, sekitar 95 ribu kilometer, kita hanya punya 8 pelabuhan perikanan. Nelayan di Papua, kalau mau menjual ikan harus ke Bitung, harus ke Tual, harus ke Kendari,” tambahnya.

Sementara terkait dengan pencurian ikan yang marak terjadi di perairan Indonesia, Yussuf menjelaskan, hal itu karena minimnya kemampuan pengawasan laut dan perikanan di Indonesia. “Bagaimana tidak ikan kita tidak dicuri, karena kemampuan pengawasan laut minim. PSDKP KKP hanya punya 21 kapal pengawas. Polair hanya di tepi pantai saja. TNI AL hanya sekitar 100 kapal. Sementara potensi perikanan kita ada di zona ekonomi eksklusif. Dan zona ekonomi eksklusif ombaknya sampai 3 meter. Akibatnya, hanya kapal-kapal asing yang bisa ke sana,” cetusnya.

BERITA TERKAIT

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…

BERITA LAINNYA DI Industri

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…