Anggaran Pendidikan Tinggi - Kualitas Pendidikan Di Indonesia Tetap Rendah

Dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN belum mampu memecahkan carut marutnya persoalan pendidikan Indonesia

NERACA     

Memasuki abad ke-21 dunia pendidikan Indonesia kian heboh. Namun, kehebohan bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional, tetapi lebih banyak disebabkan karena beragamnya masalah pendidikan yang tak kunjung usai. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar (20% dari total APBN ) disertai berbagai program terobosan pun belum mampu memecahkan persoalan pendidikan.

Ya, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008, pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. "Namun besarnya RAPBN untuk anggaran pendidikan tidak berbanding lurus dengan perluasan akses pendidikan berkualitas," ujar Peneliti Divisi Advokasi YAPPIKA Hendrik Rosdinar. 

Padahal, pada APBNP 2009, anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp208,2 triliun, kemudian dalam kurun waktu empat tahun, anggaran pendidikan direncanakan meningkat 59 % atau Rp123 triliun pada RAPBN 2013 menjadi Rp331,8 triliun. “Ironisnya, besarnya peningkatan anggaran pendidikan ini belum mampu menyelesaikan persoalan pendidikan yang masih karut marut,” tutur dia.

Potret pendidikan yang makin rumit ini tercermin dari beragamnya masalah, seperti angka putus sekolah di Indonesia yang masih tergolong cukup tinggi. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar yang belum terselesaikan. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum dapat menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun.

Saat ini angka putus sekolah di Indonesia tergolong cukup tinggi. Pada  2010 mencapai 1,08 juta anak atau naik 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring yang dirilis UNESCO 2011, Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index.

Sedangkan pada level Asia, Indonesia tertinggal jauh dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke 34 yang masuk dalam jajaran kelompok dengan skor tinggi bersama Jepang (nomor 1 di Asia). Indonesia hanya mampu berada di atas negara-negara seperti Filipina, Kamboja, India, dan Laos.

Fakta selanjutnya, sekolah-sekolah di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai.  Lantas bagaimana dengan kenyataan di lapangan? Dapat dilihat di beberapa daerah-daerah, khususnya daerah pinggiran tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai, gedung sekolah yang rusak dan tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar.

Berdasarkan data Kemendiknas, saat ini Indonesia memiliki 899.016 ruang kelas SD, namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi rusak. Adapun, pada tingkat SMP, saat ini memiliki 298.268 ruang kelas, tapi sebanyak 125.320 (42%) ruang kelas berada dalam kondisi rusak.

Tak hanya itu, permasalahan pendidikan di Indonesia juga diwarnai dengan staf pengajar yang kurang profesional. Secara umum, kualitas dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai harapan. Hingga saat ini, baru sekitar 51% guru yang berpendidikan S1, sedangkan sisanya belum berpendidikan S1. Selain itu, baru 70,5% guru yang memenuhi syarat sertifikasi.

Lebih memprihatinkan lagi, dalam sidang kabinet terbatas di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terungkap fakta bahwa dari 285 ribu guru yang ikut uji kompetensi, ternyata 42,25% masih dibawah rata-rata. Padahal, sebagian besar anggaran pendidikan nasional dialokasikan untuk gaji dan tunjangan guru bahkan setiap tahunnya selalu meningkat.

Belum lagi masalah biaya pendidikan yang semakin mahal akibat dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.

Dengan demikian, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global. Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah.

BERITA TERKAIT

Literasi Digital Sejak Dini, Perhatikan Screen Time Anak

  Tanamkan Literasi Digital Sejak Dini, Perhatikan Screen Time Anak NERACA Sidoarjo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital,…

SW Indonesia Dorong Mahasiswa Akutansi TSM Jadi Akuntan Kelas Dunia

  SW Indonesia Dorong Mahasiswa Akutansi TSM Jadi Akuntan Kelas Dunia NERACA Jakarta - SW INDONESIA mendorong mahasiswa akuntansi Sekolah…

Fasilitasi Anak Berolahraga untuk Cegah Perundungan

Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mengatakan pencegahan perilaku perundungan (bullying) dapat dilakukan, salah satunya dengan memfasilitasi anak untuk berolahraga. "Kenapa terjadi…

BERITA LAINNYA DI

Literasi Digital Sejak Dini, Perhatikan Screen Time Anak

  Tanamkan Literasi Digital Sejak Dini, Perhatikan Screen Time Anak NERACA Sidoarjo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital,…

SW Indonesia Dorong Mahasiswa Akutansi TSM Jadi Akuntan Kelas Dunia

  SW Indonesia Dorong Mahasiswa Akutansi TSM Jadi Akuntan Kelas Dunia NERACA Jakarta - SW INDONESIA mendorong mahasiswa akuntansi Sekolah…

Fasilitasi Anak Berolahraga untuk Cegah Perundungan

Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mengatakan pencegahan perilaku perundungan (bullying) dapat dilakukan, salah satunya dengan memfasilitasi anak untuk berolahraga. "Kenapa terjadi…