Transmigrasi: Butuh Revitalisasi, Bukan Moratorium

Di zaman pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru), program transmigrasi merupakan “primadona” untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, plus mengurangi angka pengangguran. Kala itu, melalui transmigrasi, pemerintah mencoba menawarkan harapan dan impian untuk hidup yang lebih baik di daerah tujuan.

Kini, meski tetap menjadi perhatian pemerintah, namun gaungnya sudah mulai meredup. Terbukti, mereka yang ingin mengubah nasib lebih memilih urbanisasi, pindah dari desa ke kota, atau menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negeri orang.

Alasan enggannya masyarakat memilih jalur transmigrasi karena ada kekhawatiran bakal terlantar. Ditambah lagi dengan sistem otonomi daerah yang sepertinya menguatkan keberadaan “orang asli daerah” tersebut.

Kondisi itu kian diperparah dengan banyaknya orang yang sebelumnya ikut transmigrasi terpaksa kembali ke daerah asalnya. Belum lagi pemberitaan di televisi yang mengisahkan banyaknya keluarga yang terpaksa mengemis dan menjual barang berharga yang tersisa untuk kembali pulang ke daerah asal.

Cerita tentang lahan yang tandus serta sepinya pemukiman transmigrasi yang belum didukung masuknya aliran listrik pun kerapkali terdengar.  Kian parah karena kurangnya pemerintah mengangkat sosok transmigran yang sukses kehidupannya. Tak pelak diakui atau tidak, kini program transmigrasi telah menjelma menjadi social phobia.

Oleh karena itu, anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka secara tegas meminta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melakukan moratorium (penghentian sementara) program transmigrasi. Pasalnya, Rieke menilai program itu tidak berjalan maksimal. Berlangsung lama dan menghabiskan uang rakyat sangat besar.

Lantas, bagaimana masa depan program yang pernah menjadi primadona tersebut? Menurut Menakertrans Muhaimin Iskandar, pernyataan Rieke Diah Pitaloka itu emosinal saja. “Sebetulnya intinya revitalisasi. Transmigrasi di era reformasi dengan sekecil uang yang dikeluarkan bisa membangun daerah baru, sehingga ada komitmen perjuangan dari transmigran,” tukas Muhaimin.

Muhaimin menambahkan, di era Orde Baru orang dikasih cangkul untuk mengolah lahan transmigrasi yang diberikan pemerintah. “Di era reformasi ini gangguannya tinggi. Tidak boleh ada kekurangan sedikit pun. Orang bekerja keras tanpa fasilitas pemerintah bisa disalahkan. Padahal, prosentase kesalahan kecil, tetapi hampir 90 persen itu berhasil,” ungkap Muhaimin.

Menurut Muhaimin, program transmigrasi tidak bisa dihentikan. Pengembangan wilayah perbatasan, misalnya, hanya memungkinkan dilakukan melalui program transmigrasi. "Pengembangan daerah perbatasan tanpa transmigrasi tidak akan berhasil. Maka, kami minta dukungan berbagai pihak untuk mendukung pengembangan transmigrasi di daerah perbatasan," tegas Muhaimin.

Apalagi, sekitar 90 persen lebih transmigrasi berhasil. Oleh karena itu, sejumlah masalah transmigrasi hanya perlu direvitalisasi.

Oleh karena itu, tegas Menakertrans, dari semua permasalahan transmigrasi yang ada, itu membutuhkan revitalisasi bukan moratorium.  “Revitalisasi pelaksanaan program transmigrasi harus dilakukan secara integral dalam upaya percepatan pembangunan nasional. Hal itu bersama perkembangan pembangunan daerah dan penyiapan sumber daya manusia yang handal”, jelas Menakertrans.

Caranya, mulai tahun ini pemerintah melakukan perubahan orientasi dalam pelaksanaan program penempatan transmigrasi. Pendekatan tidak lagi mengutamakan besarnya jumlah penempatan transmigan, melainkan lebih ditekankan pada kualitas dan kapasitas calon transmigran beserta keluarganya.

Untuk mendukung peningkatan kualitas calon transmigran, Kemenakertrans melakukan revitalisasi terhadap Balatrans sebagai lembaga penyelenggara pelatihan khusus persiapan bagi calon transmigran beserta keluarga, sebelum diberangkatkan ke lokasi transmigrasi. “Revitalisasi Balatrans mutlak dilakukan untuk mempersiapkan calon transmigran yang memiliki bekal pengetahuan, keterampilan, sikap mental, berdaya saing, maju dan mandiri sehingga bisa memulai kehidupan baru yang lebih baik," kata Muhaimin.

Dikatakan, model-model pelatihan bagi para transmigran disesuaikan dengan potensi alam yang ada di kawasan transmigrasi. Sehingga diharapkan dapat memudahkan para transmigran untuk mencari nafkah dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Selama menjalani pelatihan di Balatrans, tambah Muhaimin, para calon transmigran dibekali pengetahuan tata cara memulai kehidupan baru di lokasi transmigrasi. Mereka pun dibekali dengan pelatihan praktik kerja wirausaha, belajar bercocok tanam, peternakan, menjahit, kerajinan tangan, pelatihan nelayan tangkap dan pengolahan hasil pertanian.

Saat ini, Kemenakertrans memiliki enam Balatrans sebagai Unit Pelaksana Teknis Pusat (UPTP) yang meliputi Pusat Balatrans Jakarta, Balatrans Pekanbaru (Wilayah Sumatra), Balatrans Yogyakarta (Wilayah Jawa), Balatrans Denpasar (Wilayah Bali, NTB, NTT), Balatrans Banjarmasin (Wilayah Kalimantan dan sekitarnya), serta Balatrans Makasar ( Wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua).

“Revitalisasi Balatrans dilakukan dengan meningkatkan fasilitas, peralatan dan infrastruktur pelatihan. Tak hanya itu, diperlukan juga penambahan jumlah kualitas dan kuantitas instruktur, penyusunan kurikulum program dan penataan manajemen pengelolaannya”, papar Muhaimin lagi.

Namun, sayangnya, ada kendala yang menghambat yaitu dana yang terbatas sehingga perlu dukungan berbagai pihak, baik pemerintah daerah seperti provinsi dan kabupaten/kota serta juga pihak swasta. "Saya berharap partisipasi pemerintah daerah untuk memperhatikan transmigrasi melalui APBD dan sharing dengan APBN, sehingga program transmigrasi benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat," kata Muhaimin.

 

Atasi Penganguran

 

Yang jelas, orientasi program bidang ketransmigrasian akan difokuskan pada revitalisasi program sebagai salah satu solusi mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di berbagai daerah. Serta mendukung peningkatan ketahanan pangan, energi dan peningkatan produksi dalam negeri.

Pembangunan transmigrasi tidak sekadar perpindahan penduduk, tetapi merupakan model pembangunan untuk membangun komunitas baru dalam rangka mendorong tumbuh dan kembangnya pusat-pusat aktivitas ekonomi, sosial budaya dan pemerintahan di daerah yang dituju.

Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong kawasan-kawasan transmigrasi untuk tumbuh dan berkembang menjadi sentra-sentra pangan dan perkebunan yang telah memberikan kontribusi terhadap devisa negara, penyerapan tenaga kerja maupun terciptanya peluang kesempatan berusaha di berbagai daerah. (rindy rosandya)

 

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…