Subsidi vs Kesenjangan Sosial

 

Menyimak berita utama The Economist ( Sept.2012) yang menyoroti pentingnya penerapan proteksi sosial di negara Asia yang saat ini menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi.  Hal ini sebagai kompensasi positif bagi negara di kawasan itu yang memiliki jumlah penduduk  cukup besar,  sehingga butuh investasi sosial untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia berjangka panjang.

Menurut data media tersebut, tingkat kemajuan Indonesia sekarang  setara dengan kondisi  Amerika Serikat pada 1935, saat Social Security Act mulai diberlakukan di negara Paman Sam itu. Ini terungkap dari data Bank Pembangunan Asia, dimana indeks proteksi  sosial Indonesia baru 1,5%,  jauh dibandingkan dengan Malaysia,  Filipina,  China, Vietnam, India,  apalagi Korea Selatan dan Jepang. Di Jepang, rasio pengeluaran sosial terhadap produk domestik bruto (PDB) per penduduk hampir  mencapai 14%, sedangkan Korea Selatan sekitar  7%.

Sejumlah pengamat ekonomi  melihat  pemerintah tampaknya sama sekali belum melakukan langkah untuk mengantisipasi  perubahan indeks proteksi tersebut.  Ini terlihat  dari kebijakan fiskal 2013, dimana  alokasi anggaran subsidi RAPBN 2013 direncanakan Rp 316,1 triliun setara dengan 3,4% terhadap PDB.  Dibandingkan APBN-P 2012 naik Rp 71 triliun. Subsidi energi akan menjadi subsidi terbesar, Rp 274,7 triliun, meliputi subsidi BBM dan listrik. Sementara subsidi non-energi  (pangan, pupuk, bunga kredit) Rp 80,9 triliun.

Kita memandang subsidi listrik masih tetap dianggap perlu mengingat besarnya kesenjangan antara tarif tenaga listrik dan biaya pokok penyediaan tenaga listrik. Dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$100  per barel, nilai tukar rupiah Rp 9.300 per US$,  serta dilakukan penyesuaian rata-rata tarif listrik 15%,  subsidi yang diperlukan masih Rp 80,9 triliun, yang setara dengan 0,9% dari PDB. Nilai itu naik Rp 16 triliun dibandingkan subsidi listrik dalam APBN-P 2012.

Hal yang sama terjadi dengan subsidi BBM, dimana pemerintah mencanangkan program penghematan melalui pengaturan, pengawasan, dan manajemen distribusi. Tapi  faktanya,  pemerintah tahun ini justeru menambah kuota BBM sebesar 4,04 juta kiloliter sehingga konsumsi BBM 2012 menjadi 44 juta kiloliter. Kenaikan kuota itu tentu  menambah besaran subsidi BBM sekitar Rp 15 triliun.

Melalui  kebijakan business as usual, dapat  dipastikan kebutuhan BBM 2013 makin  tak terkejar. Apalagi jika pertumbuhan ekonomi membaik, manufaktur, dan permintaan domestik secara alamiah akan mendorong konsumsi BBM.  Bayangkan saja, bila  target penjualan mobil naik  1 juta unit dan sepeda motor 10 juta unit pada 2013 tercapai, berapa besar peningkatan penggunaan BBM tersebut.

Namun dalam postur anggaran pemerintah pusat, belanja subsidi masih menjadi alokasi terbesar (27,8%), diikuti belanja pegawai (21%),  belanja modal (17%),  belanja barang (14%). Sedangkan  alokasi bantuan sosial hanya 5,2%. Ini mencerminkan komitmen anggaran masih bersifat konservatif. Tidak ada sinyal  pemerintah berupaya mengubah pola subsidi menjadi lebih produktif.  Pola seperti  itu menunjukkan  tidak ada insentif sama sekali untuk mengembangkan sumber daya energi alternatif.

Pertanyaannya, apakah pemerintah benar-benar mempersiapkan strategi dan kebijakan untuk mengantisipasi itu? Karena melihat postur anggaran 2013 tidak terlihat ada komitmen meningkatkan produktivitas perekonomian dengan menekan ketergantungan pada sumber daya energi konvensional.

Selain ketersediaan energi, tantangan lain yang patut diperhatikan pemerintah jika ingin mencapai kapasitas pertumbuhan 7%, adalah perlu memacu meningkatkan produktivitas tenaga kerja hingga 60%.  Mampukah meningkatkan produktivitas tenaga kerja kita dari semula 2,9% (2000-2010) menjadi 4,6% pada  periode 2010-2030?

 

BERITA TERKAIT

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…

BERITA LAINNYA DI Editorial

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

Laju Pertumbuhan Kian Pesat

  Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu…