Industri Alas Kaki Semakin Terpuruk

NERACA

 

Jakarta – Melemahnya perekonomian dunia akibat krisis finansial yang membelit Eropa dan Amerika Serikat dan sejumlah permasalahan, antara lain persoalan buruh di dalam negeri, membut industri alas kaki di Indonesia semakin terpuruk.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Persepatuan Indonesia (Apresindo), Binsar Marpaung mengatakan industri alas kaki kian semakin terpuruk. Hal ini disebabkan banyak hal antara lain faktor eksternal yaitu kondisi ekonomi global yang belum membaik dan permasalahan buruh yang belum menemui jalan keluar. 

“Tahun lalu kinerja ekspor alas kaki dari Indonesia hanya US$3,3 miliar dan hingga akhir tahun ini nilai ekspornya sekitar US$3,5 miliar. Peningkatan nilai ekspor yang hanya sedikit karena menurunnya permintaan dipasar Amerika Serikat dan Eropa,” kata Binsar di Jakarta, Selasa (6/11).

Selain menurunnya permintaan alas kaki dipasar International, menurut Binsar, aksi sweping yang dilakukan serikat kerja menghentikan proses produksi. “Hampir 1 bulan pabrik sepatu dikawasan industri tidak bisa melakukan produksi karena sewping serikat kerja yang menuntut penghapusan sistem outsourcing. Hal ini membuat daya saing industri alas kaki nasional semakin terpuruk,” paparnya.

Pada tahun depan, lanjut Binsar, kinerja ekspor alas kaki nasional akan menyamai capaian tahun ini. “Untuk 2013, pelaku usaha pesimis kinerja ekspor alas kakai nasional bisa meningkat. Pasalnya, industri alas kaki nasional dihambat dengan berbagai masalah,” ujarnya. Binsar menambahkan, fungsi tripartit atau pemerintah, pengusaha dan buruh harus dijalankan dengan benar. “Selama ini, tripartit tidak bisa melakukan tugas dengan baik sehingga masalah sistem outsourcing sangat merugikan iklim investasi,” tandasnya.

Tak hanya itu, menurut dia, ada beberapa pabrik sepatu sudah tutup karena kondisi tidak kondusif. Di industri persepatuan ini jumlah total karyawannya ada 600.000 orang, dan itu terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). "Beberapa pabrik sepatu sudah tutup karena kondisi tidak kondusif. Di industri persepatuan ini jumlah total karyawannya ada 600.000 orang, dan itu terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) jika lock out nasional terjadi," kata dia.

Dia mengatakan, jumlah orang yang akan terkena dampak lock out itu bukan hanya 600.000 karyawan saja tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitar seperti tempat makan. Menurut dia, pilihan penghentian produksi itu terjadi karena selama ini iklim produksi tidak kondusif, artinya tidak ada jaminan keamanan dan kepastian hukum dari pemerintah.

"Mengapa kami sulit memenuhi tuntutan buruh, karena industri alas kaki itu "high volume" tetapi marginnya tipis," ujarnya. Dia mengatakan, relokasi pabrik juga akan terjadi jika iklim produksi tidak berjalan dengan baik. Menurut dia, tidak mungkin perusahaan mau pindah ke Indonesia tetapi produktivitasnya rendah.

Perlu Hilirisasi

Lebih lanjut lagi dikatakan Binsar, selama ini mayoritas pelaku industri sepatu masih bergantung pada bahan baku impor karena minimnya pasokan dari domestik. Dengan kata lain, menurut dia, Aprisindo mendukung program hilirisasi bahan baku tersebut karena dinilai mampu memacu pertumbuhan industri pendukung dalam negeri.

Bila program tersebut telah terealisasi, tuturnya, maka dapat dipastikan biaya importasi bahan baku dapat diminimalisasi. “Kalau hilirisasi untuk memacu pertumbuhan industri pendukung ini terealisasi, maka biaya untuk impor akan bisa ditekan seminimal mungkin,” ujarnya.

Dia menjelaskan program hilirisasi tersebut berkaitan dengan industri pendukung, seperti pengolahan karet untuk memproduksi sol. Binsar mengungkapkan saat ini mayoritas bahan baku sepatu diekspor ke luar negeri. Setelah itu, tambahnya, bahan baku tersebut kembali diimpor dalam bentuk bahan jadi atau setengah jadi.

Menurut Binsar, hal itu disebabkan Indonesia belum memiliki industri pendukung sehingga pengusaha masih tergantung pada bahan baku impor. Dia mencontohkan selama ini Indonesia mengimpor karet dari Korea Selatan dan Tiongkok. Namun, sebenarnya bahan baku tersebut tetap berasal dari karet Indonesia karena kedua negara tersebut tidak memproduksi karet. “Setelah dihilirisasi di Tiongkok dan Korea (Korea Selatan), mereka menjual lagi ke kita dengan harga yang tentu tidak murah,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…

BERITA LAINNYA DI Industri

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…