Pasokan Gas Biang Keladi Inefisiensi PLN

NERACA

 

Jakarta - PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memastikan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan inefisiensi Rp 37 triliun adalah hasil audit lembaga tersebut atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2010 silam. Inefisiensi itu merupakan buah dari ketidakadaannya pasokan gas untuk pembangkit listrik sehingga harus memakai Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan harga yang lebih mahal.

“Audit selesai pada September 2011, kemudian diserahkan ke DPR. Diadakan pembicaraan dengan pemerintah, sekali. PLN tidak diundang. Baru diundang seminggu lalu. Sudah datang tapi tidak jadi pembahasan karena Pak Dahlan (Menteri BUMN) tidak datang,” jelas Direktur Utama PLN Nur Pamuji pada acara Media Workshop bertema “Rasionalisasi Tarif Listrik Menuju Subsidi Tepat Sasaran” di Hotel Harris, Sentul, Bogor, Selasa malam (30/10).

Menurut dia, angka inefisiensi puluhan triliun itu merupakan biaya yang bisa dihemat kalau 8 pembangkit listrik bisa dapat gas. Kedelapan pembangkit tersebut terletak di Medan, Sumatera Selatan, Bali, lima pembangkit di Jawa, yakni antara lain di Muara Karang, Semarang, Gresik dan Tanjung Priok. Padahal, sesungguhnya, kedelapan pembangkit listrik itu didesain 100% menggunakan gas. Tapi karena pasokan gas terus merosot.

“Pasokan gas terus turun, maka dicampur BBM. Supaya output tidak berkurang. Di Medan 100% pembangkit menggunakan gas pada tahun 2002, sekarang tinggal 10% yang pakai gas. Jadi ceritanya begitu saja. Karena gas tidak ada. Kalimat BPK sangat tajam, menggambarkan kondisi yang ada,” terangnya.

Sebenarnya, kata Nur, tidak penting bagi PLN pendapatan dari subsidi atau dari yang lain. “Tahun ini butuh Rp 205 triliun, inilah kebutuhan revenue PLN, PLN sebagai korporasi. Tahun depan Rp 227 triliun. Pendapatan kita tetap, 120 triliun. Tapi subsidi terlalu besar kata Kemenkeu. Makanya menadi Rp 89 triliun saja. Dari Rp 100 triliun jadi Rp 89 triliun. Makanya pendapatan harus bertambah,” ungkapnya.

Menjelaskan proyek listrik 10 ribu MW yang meleset dari target waktu yang ditetapkan, Nur Pamuji tak mau program itu disebut gagal. “Kalau disebut gagal, itu sadis. Di Tangerang, Pacitan, Rembang, itu sudah operasi. Sebagian sudah operasi. Sisanya 30% belum selesai. Tahun 2014 semua selesai. Tidak mundur lagi. Jawabannya saya selalu sama,” kata dia.

Terkait dengan proyek pembangkit listrik 2 x 25 MW yang merupakan bagian dari proyek 10 ribu MW yang kini mangkrak di Gorontalo, dia mengatakan, kontrak dari kontraktor tersebut telah diputus. Padahal material konstruksinya sudah dibeli dari China. “Saya sudah menunjuk kontraktor baru, kontraktor nasional. Pekerjaan 4 PLTU sudah selesai dia. Kita tunjuk meneruskan PLTU yang mangkrak itu. Nama perusahaannya Rekadaya Elektrika,” tandasnya.

Biaya Pokok

Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman menjelaskan, biaya pokok penyediaan listrik dipengaruhi dua hal. Pertama adalah harga energi primer, dan kedua harga energi mix. “Harga ditentukan dan diatur oleh pasar dan bergerak harganya. BBM, batubara, dan gas ditentukan pasar. Kalau panas bumi, sepanjang kontrak sama. Yang lain tergantung harga pasar,” ucap Jarman.

Karena itu pemerintah wajib menggunakan energi pembangkit listrik paling murah. Urutaannya dari batubara, gas, dan terakhir BBM. “Pertanyaanya adalah, kok ada pembangkit pakai gas dan bisa pakai BBM? Pembangkit sudah disetting, tapi pasokan gas terus turun. Di Gresik, satu sumur, lalu cari dulu sumurnya.  Kenapa pakai gas pipa, tidak pakai LNG (liquid natural gas). Kita cari terobosan, tidak hanya gas pipa, tapi LNG,” tukasnya.

Jarman beralasan, harga LNG memang lebih tinggi, tetapi masih lebih murah dari BBM. “Inilah yang kita pakai. Bahwa kita belajar dari yang sebelumnya. Begitu tidak mendapat gas, maka kita bangun infrastruktur untuk gas dari tempat lain. Di Jawa pembangkit kita sudah tidak pakai BBM. Pemerintah sudah meminta pada PLN, pertama melalui Permen ESDM 12/2012. Tidak boleh membangun pembangkit BBM yang baru,” ungkapnya.

Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Essential Services Reform (IESR)  Fabby Tumiwa menegaskan, pemerintah lebih baik menaikkan tarif tenaga listrik (TTL) untuk daya 450-900 lebih dulu ketimbang listrik untuk industri. “Kami pernah menghitung, dengan kenaikan 20% saja, tambahan biaya untuk rumah tangga yang menggunakan daya 450 hanya Rp 6.000-Rp 7.000. Untuk daya 900 paling naik Rp 10.000,” cetusnya.

Fabby beralasan, kebijakan itu punya rasionalitas. “Apakah ada rasionalisasinya, pasti ada. Tarif listrik dan subsidi, tidak berpihak pada keadilan, tapi justru mempromosikan ketidakadilan. Kalau lihat data, semakin tinggi dayanya maka semakin tinggi subsidinya. Ini ironis,” papar Fabby.

Dalam pandangan Fabby, praktik subsidi melemahkan PLN dan merugikan pelanggan listrik. “Subsidi menurunkan financial viability PLN-investasi menjadi lebih mahal, dampaknya biaya produksi listrik menjadi lebih mahal. Transparansi struktur biaya TTL PLN dipertanyakan. Berapa biaya sebenarnya produksi listrik. Dengan subsidi, perhitungannya menjadi ruwet. Tarif listrik yang kemurahan menjadikan inefisiensi,” bebernya.

Di titik inilah, sambung Fabby, Indonesia mengalami apa yang dia sebut sebagai problem managemen energi. “Masalah energi, yang mengurus banyak. Permasalahannya, semua jadi komandan, tapi tidak ada yang dipimpin. Karut marut penginstitusian. Kalau tempat Pak Jarman (Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM) bisa institusi kuat, sebenarnya permasalahan tarif selesai. Biaya listrik dibahas di Pak Jarman, tapi yang memutuskan DPR. Balik ke Kementerian Keuangan, terus ke PLN,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

BERITA LAINNYA DI Industri

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…