Kebijakan Bea Keluar CPO - Kemendag dan Kemenkeu Belum Satu Suara

NERACA

 

Jakarta - Kendati Kementerian Perdagangan telah menyatakan akan menurunkan bea keluar (BK) produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebesar 9%, dari yang ditetapkan 13,5%, yang akan berlaku efektif bulan depan. Namun, nyatanya kebijakan tersebut belum final, sebab Kementerian Keuangan belum satu suara dengan kebijakan penurunan bea keluar CPO.

Penurunan BK ekspor CPO untuk November 2012 menjadi 9% tersebut diungkapkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh, seiring  terjadi penurunan harga CPO di pasar internasional. “BK CPO 9%. Siang ini keluar. Itu karena harga turun,” ujarnya di Kantor Kementerian Perdagangan, Senin (29/10).

Harga referensi CPO pada November sebesar US$847 per metrik ton atau turun dari Oktober yang mencapai US$999,17 per metrik ton. Secara terpisah, Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro justru mengatakan, bahwa Indonesia tidak akan mengikuti negara kompetitor Malaysia yang menurunkan BK untuk produk CPO.

Menurut dia, jika BK CPO diturunkan, artinya merupakan dampak dari turunnya harga komoditi CPO itu sendiri, bukan kebijakan pemerintah. "Otomatis dong kalau harga berubah ya persentasenya mengikuti kan progresif," ujarnya. Bambang menegaskan daya saing CPO Indonesia tidak lantas kalah meski tidak menurunkan BK.

Dia menegaskan, Malaysia tidak menguasai produk CPO. Bahkan, mereka kekurangan untuk mengolah di dalam negerinya. "Jadi saya tidak mengerti kenapa kita tidak ikut Malaysia," tukasnya. Bambang menilai, jika pemerintah terpancing mengikuti strategi menurunkan BK ekspor CPO, maka yang rugi adalah industri hilir dalam negeri.

Menurut dia, Malaysia merasa industri sawit bernilai tambah mereka tergerus lantaran industri Indonesia berkembang pesat. Oleh karena itu, ada upaya penurunan BK agar terjadi persaingan harga. "Kalau kita turunin yang untung justru Malaysia. Itu cara mereka ambil CPO kita lalu dapat value added. Sudah kebaca strategi Malaysia,” ujar Bambang.

Malaysia telah mengumumkan akan menurunkan BK CPO yang akan diterapkan awal tahun. Kebijakan itu membuat Pemerintah kebakaran jenggot, lantaran harga sawit bisa semakin turun jika pasar dunia tahun depan masih lesu seperti saat ini. Padahal kedua negara sempat membahas pengurangan volume ekspor CPO. Sejauh ini, Pemerintah belum satu suara untuk menyikapi aksi Malaysia.

Solusi Kebijakan

Menghadapi situasi ini, sebelumnya Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menyatakan akan mengajak pihak Menteri Keuangan Agus Martowardojo membicarakan solusi menghadapi kebijakan Malaysia terkait penurunan bea keluar CPO. "Penyikapan bea keluar (Malaysia) akan kita kaji, karena kepentingan Kementerian Keuangan untuk meningkatkan pendapatan, sementara kita kepentingannya untuk meningkatkan ekspor, saya yakin kita bisa musyawarah," ujarnya.

Sejauh ini, Kementerian Perdagangan mengaku manuver Malaysia masih bisa ditangkal. Asalkan instansi lain, terutama Kementrian Keuangan, wajib digandeng. "Kita sudah punya sistem indeksasi. Kalau harga naik, harus berapa, kalau harga turun akan berapa. Saya sudah bicarakan dengan wakil menteri saya," ungkap Gita.

Sebelumnya Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Benny Wahyudi memaparkan sampai dengan 2 tahun kedepan, investasi hilir cpo diproyeksikan mencapai US$3 miliar. Hingga akhir tahun ini, investasi hilir cpo bisa menyentuh angka US$800 juta.

Penerapan BK CPO sebesar 0-22,5%, menurut Benny, terbukti mendorong pengembangan industri hilir. “Kebijakan yang diambil pemerintah merupakan disinsentif untuk mengontrol ekspor CPO dan meningkatkan nilai tambah produk turunan CPO. Di 2020, kami menargetkan sudah bisa memproduksi 150 produk turunan CPO,” paparnya.

Pengolahan produk hilir kelapa sawit, lanjut Benny, merupakan proses terhadap tandan buah segar (TBS) menjadi CPO yang berwarna kuning dan minyak inti sawit (palm kernel oil/PKO) yang jernih. “CPO dan PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan (minyak goreng dan margarin), industri sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik, dan sebagai bahan bakar alternatif (biodisel). CPO juga dapat diolah menjadi bahan kimia, seperti metil ester, asam lemak (fatty acid), dan gliserin (glycerine),” ujarnya.

Di Indonesia, turunan produk CPO banyak digunakan industri pangan antara lain berupa minyak goreng, margarin, shortening, dan vegetable ghee. Turunan produk CPO pada industri oleokimia, antara lain berupa fatty acids, fatty alcohol dan glycerin, serta biodiesel.

BERITA TERKAIT

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

Permendag 36/2023 Permudah Impor Barang Kiriman Pekerja Migran Indonesia

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor memberikan kemudahan serta…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

Permendag 36/2023 Permudah Impor Barang Kiriman Pekerja Migran Indonesia

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor memberikan kemudahan serta…