Dijebak Mafia, Utang Indonesia Terus Membengkak

Jakarta – Mafia utang menjadi biang keladi membengkaknya utang Indonesia. Pasalnya para mafia utang ini terus berusaha mempengaruhi pemerintah untuk menambah utang luar negeri. Tujuannya, untuk mengeruk fee utang yang jumlahnya terus membesar dari tahun ke tahun.

NERACA

Politikus dan pengamat ekonomi, Fuad Bawazier menegaskan, sebenarnya mafia utang bukan "barang" baru, tetapi sudah ada sejak pemerintahan lalu. “Utang atau pinjaman itu sejak dulu memang direkayasa, selalu ada upaya dari kreditur supaya negara kita berada dalam jebakan utang,” jelasnya.

Meski demikian, Fuad menyebut, saat ini kondisinya lebih bertambah parah. Mafia utang bukan saja berasal dari pihak kreditur seperti IMF, Bank Dunia, dan para pemain di pasar uang, melainkan ada pihak lain, yaitu melalui jual beli Surat Berharga Negara (SBN) ataupun Surat Utang Negara (SUN).

“Kalau dulu mungkin pemain besarnya Bank Dunia atau IMF, tapi sekarang dimainkan juga oleh kreditur jual beli SBN atau SUN dan sejenisnya, apalagi nilainya saat ini sudah sampai dua kali lipat,” ujar mantan Menkeu itu saat dihubungi Neraca, Kamis (18/10).

Surat utang negara, kata Fuad, memiliki nilai yang lebih menarik untuk memperoleh untung, karena memiliki nilai bunga yang besar. Belum lagi pada saat jual beli harganya pun bisa dimainkan.

Dia menilai, pihak yang paling bertanggung jawab atau disebut dengan mafia utang tersebut, tentu berada di pemerintahan pusat atau kementerian keuangan karena mereka yang menentukan dan menyetujui anggaran. “Pemainnya ya pemerintah pusat, kemenkeu.” ujarnya.

Menurut dia, sejauh ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak terlalu berkonsentrasi dalam hal pinjaman atau anggaran, namun lebih kepada penyaluran dana tersebut selanjutnya. Meski demikian, lanjut Fuad, pihak DPR juga ikut bertanggung jawab karena mereka merupakan pihak yang juga menyetujui anggaran. “Mereka tidak banyak ngerti soal itu, lebih banyak fokusnya proyek, tapi tetap ikut bertanggung jawab, tidak bisa tidak,” tandasnya.

Dia menambahkan, sejauh ini sangat sulit untuk menghapus apa yang namanya mafia utang. Pasalnya, sampai saat ini belum ada dari pihak pemerintah yang menunjukkan itikad untuk menjalankan pemerintahan yang sesungguhnya, yaitu melayani rakyat, bukan justru menggerogoti dan membebani rakyat dengan utang.

Ketua Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan mempertanyakan alasan pemerintah menjadikan utang luar negeri seperti terjadwal saja. “Seharusnya utang bisa di hindari apabila pemerintah mau menggenjot pendapatan negara dalam bentuk perluasan jumlah wajib pajak dan peningkatan nilai pajak yang harus dibayar,” ujarnya, kemarin.

Selain itu, sambung Dani, pemerintah harus mendorong peningkatan investasi melalui berbagai bentuk kemudahan seperti tax holiday, peningkatan ekspor migas dan non migas dan mengurangi pagu alokasi anggaran tiap-tiap departemen dan lembaga non departemen.

Menurut Dani, sebaiknya pemerintah harus berpikir lebih bijaksana lagi kalau ingin menambah utang. Karena utang pokok yang ada tidak pernah terbayar. Selama ini Indonesia hanya membayar bunganya saja dan melakukan reschedule saat utang sudah jatuh tempo.

Dani menilai, pemanfaatan utang oleh pemerintah masih jauh dari maksimal. Karena penyerapan utang luar negeri setiap tahun hanya sekitar 71,2 %. Tahun ini saja, masih ada Rp 157,9 triliun utang luar negeri yang belum terserap. Utang pun digunakan untuk hal yang sia-sia yakni untuk membiayai birokrasi.

Oleh sebab itu, Dani menegaskan, sebaiknya pemerintah jangan menambah utang lagi.

Pengamat ekonomi Dradjad Wibowo mengatakan, meski Indonesia tidak lagi berutang kepada IMF sejak 2005, sikap jumawa haruslah dikesampingkan. Pasalnya, Indonesia masih memiliki cukup banyak utang, posisi utang pemerintah saat ini mencapai Rp1.975 triliun. “Terlihat dipermukaan kita sekarang minjamin IMF tapi kita masih berutang besar sekali untuk utang dalam bentuk obligasi. Target obligasi negara bruto pada 2012 sebesar Rp254,8 triliun, atau sekitar US$27,1 miliar,” ujarnya.

Kurang Optimal

Menurut Dradjad, besarnya utang pemerintah belum diimbangi dengan pengelolaan yang optimal untuk berbagai kegiatan produktif. Selama lima tahun terakhir, dia mencatat, penyerapan anggaran tidak maksimal, akibatnya ada sekitar Rp100 triliun dana yang tersisa. "Di atas kertas bagus tapi implementasinya masih harus diperbaiki. Utang harus dipakai yang benar, jangan lantas kita bayar bunga untuk utang yang tidak perlu,” ujarnya.

Drajad menyatakan untuk mengurangi utang tersebut, suatu negara perlu memperkuat penerimaan negara. “Kuncinya, basis penerimaan negara harus kuat, sehingga pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bisa dijaga tetap kuat tanpa harus menerbitkan utang baru untuk membiayai pembangunan dan pertumbuhan,” tegasnya.

Biasanya, imbuh Dradjad, penerbitan utang atau debt ratio sekitar 30%-40% dari PDB suatu negara. Meskipun rendah, hal ini belum menjamin peringkat utang negara tersebut akan tinggi. Tetapi tidak ada angka yang solid tentang berapa debt ratio yang aman karena kuncinya adalah penerimaan negara yang kuat.

Masalahnya, lanjut dia, untuk menguatkan penerimaan negara yang kuat harus didukung oleh reformasi birokrasi yang dilakukan di tubuh Kementerian Keuangan, namun kenyataannya masih belum berhasil mencegah pegawainya untuk korupsi. Seperti di Ditjen Pajak yang terus menerus tersorot karena pegawainya masih main suap.

“Diakui saja bahwa desain reformasi birokrasi ala Kemenkeu ini banyak bolong-bolongnya. Buktinya kan sudah jelas. Remunerasi besar-besaran tidak mencegah pegawai pajak bermain dalam mafia pajak," tegasnya.

Menurut Dradjad, di jajaran Bea Cukai pun sama. Apalagi pemberian remunerasi menimbulkan kesenjangan yang super besar dengan penghasilan pas-pasan dari PNS kementerian dan lembaga lain. “Sampai detik ini pun masih jomplang,” cetusnya.

Dia mengatakan, Kemenkeu harus mengakui masih banyak oknum PNS nakal, sementara sistem dan kultur yang dibangun belum mampu mencegahnya. "Dengan pengakuan seperti itu, akan muncul kelegowoan di kalangan Kemenkeu untuk memperbaiki desain reformasi tersebut. Kuncinya tetap hati, sistem, dan budaya. Jika reformasi berhasil, saya yakin tax ratio akan naik drastis. Bocornya penerimaan pajak ini susah diestimasi besarnya, seperti gunung es,” papar Dradjad.

Di tempat berbeda, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis mengungkap bahwa bertambahnya utang negara merupakan bukti pemerintah tidak konsisten. Hal ini bisa berakibat buruk apabila penggunaan utang yang tidak jelas untuk sektor dan wilayah mana.

Kalau utang itu digunakan untuk infrastruktur tidak akan bermasalah karena akan mendukung pembangunan ekonomi kemudian bisa mengembangkan kreasi penciptaan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan apabila utang digunakan untuk subsidi atau perjalanan dinas. “Berarti pemerintah tidak peduli mengenai utang apabila rasio utang terhadap PDB juga naik menjadi 27,3% dan kita harus berhati – hati dengan adanya kecenderungan naik yang akan berdampak negatif,” katanya.

Apabila utang digunakan untuk sektor selain infrastruktur, lanjutnya, maka berarti pemerintah membebani generasi penerus. “Tapi kalau penggunaan utang digunakan untuk sektor infrastruktur, maka dalam jangka panjang akan mensupport perekonomian Indonesia,” jelasnya.

Dia menambahkan, keputusan Presiden SBY yang pernah mengatakan supaya utang terus dikurangi ternyata tidak dihiraukan oleh para bawahannya yaitu menterinya. Jangan hanya wacana saja tetapi niat penurunan utang tidak direalisasikan. ”Perintah Presiden tidak dilaksanakan oleh para menterinya dan semestinya Presiden membuat perintahnya secara tegas kemudian menjadi keputusan Presiden dan bukan hanya diwacanakan saja. Hal ini perlu dilakukan supaya ada ketakutan dari para menterinya,” ungkapnya.

Direktur Surat Utang Negara Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Loto S Ginting menjelaskan bahwa aturan besaran utang sudah diatur dalam APBN yang berbentuk penerimaan bukan pajak. “Pada dasarnya tambahan utang sudah tercermin dalam APBN karena dalam APBN tersebut masih ditemukannya penerimaan yang kurang dan pengeluarannya yang berlebih oleh karena itu defisit,” ujarnya.

Dia menjelaskan, Indonesia tidak akan berhenti berutang apabila dalam APBN masih defisit. “Kan yang mengesahkan APBN adalah DPR, dan DPR melihatnya APBN masih butuh suntikan dana yang cepat salah satunya dengan berutang,” tambahnya.

Lotto menjelaskan bahwa utang tidak akan bermasalah jika pengelolaannya dilakukan dengan benar, karena itu rating utang Indonesia sejauh ini masih dikatakan baik.

Menurut dia, mekanisme utang Indonesia adalah disaat perhitungan dalam APBN dirasa masih lebih banyak pengeluaran dari pada pengeluaran, maka utang akan diajukan. Setelah itu,kata dia, masuk dalam pembahasan di DPR kemudian disahkan disaat itu pula pengelolaan utang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengelolanya dengan benar dan prudent. “Selama ini kita mengelola utang dengan benar, makanya debt to GDP ratio kita tidak terlalu tinggi sehingga tingkat kepercayaan utang Indonesia masih bagus,” ujarnya.

Selama ini, imbuh Lotto, pemerintah selalu membayar cicilan utang dan bunga utang tepat pada waktunya sehingga Indonesia selalu mendapatkan kepercayaan dari kreditur. “Utang kita selalu kita bayar setiap tahunnya, bungannya juga demikian. Oleh karena itu, kita selalu mudah untuk meminjam utang dari kreditur,” tuturnya.

Lotto menjelaskan bahwa hingga kini, pemerintah telah membayar utang sebesar Rp119,473 triliun atau sebesar 60,61% dari pagu pada kuartal III-2012 sebesar Rp197,104 triliun. Sedangkan untuk pembayaran bunga utang, mencapai Rp75,926 triliun atau 64,46% dari pagu Rp117,785 triliun. tim

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…