INDONESIA BAKAL BERGANTUNG IMPOR - RUU Pangan Disahkan, Ketahanan Pangan Terancam

Jakarta – Rancangan Undang-Undangan (RUU) Pangan akan langsung merusak ketahanan pangan dan produksi pangan nasional begitu disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Pasalnya, sejak 15 tahun lalu, produksi pangan dalam negeri tidak pernah mencukupi. Hal ini merupakan akibat dari ketidakmampuan Menteri Pertanian untuk memacu produksi pangan nasional. Parahnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merancang RUU ini tidak mempunyai niat untuk memajukan sektor pangan nasional.

NERACA

“RUU pangan justru mengarah pada upaya menjadikan pangan sebagai komoditas bisnis. Padahal selama ini pangan selain sebagai komoditi bisnis juga merupakan komoditi politis. Kalau pangan sudah menjadi komoditi bisnis, kondisinya menjadi berat bagi petani, karena Indonesia sudah pasti akan impor pangan,” tegas Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir saat dihubungi Neraca, Rabu (17/10).

Menurut Winarno, kalau bisa jangan ada lagi impor, lebih baik memacu produksi pangan dalam negeri. Kalau saja pemerintah mempunyai niat, maka Indonesia mampu mencukupi pangan dalam negeri.

Ketahanan pangan, sambung Winarno, adalah sebuah masalah besar, dimana pemerintah harus konsentrasi benar memperbaiki masalah yang sudah berlarut –larut ini. “Impor pangan itu terjadi karena pemerintah tidak mempunyai perencanaan untuk memperbaiki produksi dalam negeri. Padahal yang dibutuhkan hanya pembimbingan, pembinaan sehingga produksi meningkat dan tidak perlu impor lagi,” tandasnya.

Dia juga mengaku sangat yakin kalau petani dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri bila ada pengawasan dari pemerintah.

Sementara itu, pengamat pangan, Bustanul Arifin menegaskan, dalam RUU pangan, impor memang dilegalkan dan tidak dilarang dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan pangan karena tidak ada ketersediaan. Tetapi sebenarnya, sejauh ini Indonesia memiliki kemampuan sangat besar untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Hanya saja belum ada dorongan yang kuat dari pemerintah, baik itu dari segi kebijakan maupun keberpihakan. "Bukan hanya anggaran yang dibutuhkan untuk mendukung produksi dan produktivitas petani, tapi lebih kepada keberpihakannya, baik itu dari segi pembinaan dan kebijakan,” terang Dia.

Menurut Bustanul, petani akan lebih senang dan merasa terdorong apabila bisa memperoleh pembinaan dan motivasi sekaligus peningkatan pemahaman terhadap inovasi baru dan teknologi agar produksi dan produktivitasnya meningkat. Hal tersebut, lanjut Bustanul, merupakan kunci dari proses peningkatan kesejahteraan petani berawal dan perbaikan serta ketahanan pangan terwujud.

Dia mengatakan, kebijakan pangan mengenai produk impor yang selalu diandalkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tentu membuat petani terpukul. Selain itu, usaha tani padi yang secara politik sangat strategis dan menjadi penting pada saat Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah, ternyata masih jauh dari harapan. RUU Pangan yang baru, sebagai revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan sebenarnya menjadi harapan untuk bisa memperbaiki kondisi pertanian dan mewujudkan ketahanan pangan.

Karena itu, hal yang perlu dicatat jika dalam rancangan undang-undang tersebut masih membuka impor, jangan sampai masuk ke arah liberalisasi impor di dalam negeri. “Jika tidak ada ketersediaan, impor boleh-boleh saja, tapi harus disertai dengan syarat-syarat yang ketat,” ujarnya.

Ia mengakui, tidak dapat menafikan perlunya impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Syarat-syarat impor, lanjut Bustanul, antara lain tidak mengimpor di saat musim panen, dan pengolahan stok sampai di daerah juga harus dikaitkan dengan kebijakan impor tersebut. Alasannya, petani padi Indonesia pasti akan sangat terpukul apabila beras impor sampai merasuk ke pelosok pedesaan pada sentra produksi padi.

Bustanul menilai, masih terbukanya pintu impor pangan sangat mungkin karena adanya kepentingan politik. Pasalnya, imbuh dia, kepentingan politik di Indonesia sangat sulit dihindari. Karena itu, tidak terlalu mengherankan jika masih terdapat inkonsistensi kebijakan pangan, lantaran landasan strategis kebijakan pangan di Indonesia sampai saat ini masih rapuh.

Di tempat terpisah, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengungkap, Indonesia pernah punya ketergantungan tinggi pada pangan impor. Republik ini pernah menjadi importir beras terbesar di dunia pada kurun waktu 1998-2001. Indonesia mengimpor garam rata-rata 1 juta ton per tahun, mengimpor 30% kebutuhan gula nasional, 70% kedelai, 10% jagung, 15% kacang tanah, 90% kebutuhan susu, dan 25% daging sapi nasional.

“Memang tidak mungkin sebuah negara sanggup sepenuhnya memenuhi kebutuhan dalam negeri secara mandiri. Namun, juga kurang bijak apabila menyerahkan pangan-pangan strategis nasional ke dalam mekanisme pasar bebas. Kerawanan dapat terjadi kapan saja saat karena gejolak harga,” tutur Dia.

Saat ini, imbuh Rusman, Indonesia sudah mencapai swasembada beras. Produksi beras saat ini sudah mencukupi untuk kebutuhan konsumsi nasional. “Tahun ini produksi beras nasional diperkirakan mencapai 38,564 juta ton, lebih banyak dari kebutuhan konsumsi beras nasional sebesar 33,035 juta ton,” ujarnya.

Namun Rusman meminta masyarakat, agar tidak mengidentikkan kebijakan impor dengan gagalnya produksi beras dalam negeri. Sebab menurut dia, kebijakan impor hanya untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan dalam negeri. "Impor beras itu untuk tambahan cadangan ketahanan pangan atau memperkuat stok target surplus yang diinginkan Presiden, yakni 10 juta ton per tahun," jelasnya.

Tahun ini, kekeringan memang melanda 160 ribu hektare tanaman padi. Namun, secara nasional hanya 12 ribu hektare yang mengalami puso. Terbesar ada di Jawa Barat, karena petani masih menanam dengan harapan bisa mendapatkan harga penjualan bagus. Pemerintah ingin untuk akhir tahun ini saja ada cadangan beras sekitar 2 juta ton. Ini untuk mengantisipasi permintaan di bulan Januari dan Februari 2013, karena belum ada panen. Selain itu cadangan beras yang cukup bisa mengurangi spekulasi.

“Tapi apakah swasembada itu cukup untuk memperkuat stok pangan kita dalam rangka ketahanan pangan?” tandasnya.

Namun Rusman tidak bisa memastikan apakah pada tahun 2014, target 10 juta ton cadangan beras bisa tercapai. Dia memperkirakan butuh pertumbuhan 6% per tahun untuk mencapai target itu.

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…