NERACA
Seiring dengan pesatnya perubahan zaman yang bahkan jauh lebih cepat daripada apa yang pernah diprediksikan, peran ilmu humaniora seperti filsafat, semakin hari semakin penting keberadaannya.
Kajian Islam di perguruan tinggi Islam dewasa ini telah mengalami semacam lompatan yang cukup menggembirakan. Hal ini ditandai dengan lahirnya paradigma keilmuan yang mencoba mereintegrasikan keilmuan Islam dalam satu corak yang teoantroposentris-integralistik.
Berbagai teori dan metodologi studi Islam yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dan humaniora (memanusiakan manusia) pun sering diperbincangkan dalam berbagai forum ilmiah, dan tak jarang dijadikan agenda dalam berbagai penelitian ilmiah.
Sayangnya, masih ada kalangan yang memandang keberadaan filsafat dengan sebelah mata. Ilmu yang dipandang tidak komprehensif ini dianggap sebagai ilmu “mengada-ada”, karena tidak mengkaji realitas secara empiris seperti halnya ilmu-ilmu keras (hard sciences) seperti biologi, kimia, fisika, dan seterusnya, dan ukuran-ukuran kebenarannya sangat subjektif.
Anggapan yang mengatakan filsafat identik dengan hal abstrak dan sarat khayalan, cepat ditampik oleh Dewan Penyantun STFI Sadra, Prof. Dr. KH Umar Shihab. Baginya, itu tidak benar. Karena filsafat mengajarkan manusia untuk menganalisa setiap masalah.
“Yang benar akan diikuti, yang salah ditinggalkan,” tegas dia.
Dalam kehidupannya, manusia tak pernah bisa dilepaskan dari persoalan-persoalan filosofis yang menjadi fondasinya. Termasuk di dalamnya, makna sejati kemanusiaan, keadilan, persamaan, kesejahteraan, dan kebahagiaan sebagai tujuan semua solusi persoalan, serta banyak soal mendasar lainnya.
Dengan demikian, filsafat dinilai memiliki andil yang besar dalam mengkaji aspek-aspek kemanusiaan secara holistik. Disebut holistik karena yang dikaji bukan hanya manusianya saja atau hanya melalui pikiran dan ide yang dimiliki, melainkan juga ciptaannya sebagai buah dari kreasi otak dan pikirannya.