Antek Asing

Oleh : Kamsari

Wartawan Harian Ekonomi NERACA

Meski belum ada kajian yang sahih, namun banyak orang sepakat, Belanda dan Jepang mampu menaklukkan nusantara bukan karena kehebatan dan kekuatan militer mereka. Tapi lebih karena sikap sebagian kelompok orang di nusantara sendiri yang cenderung mendukung keberadaan para penjajah tersebut.

Orang di negeri ini memang sangat mendewa-dewakan orang asing. Tak hanya sekarang, tapi sudah sejak dulu. Di jaman penjajahan Belanda, banyak orang lebih memilih menjadi antek penjajah. Ada yang menjadi centeng atau tukang pukul tuan tanah bule, ada juga yang suka menjadi demang yang tunduk pada kekuasan Belanda. Suksesnya skema politik “Devide Et Impera” mengkonfirmasi bahwa sebagian orang di nusantara tak malu menjadi antek penjajah daripada membebaskan tanah air dari penjajahan.

Tak heran kalau si Pitung, tokoh legenda dari Betawi, bisa tertembak kompeni Belanda. Itu bukan karena pitung kurang hebat, tapi ada antek yang membocorkan keberadaannya, termasuk membocorkan rahasia untuk mengalahkan si Pitung.

Di zaman penjajahan Jepang, phobia minder dari penjajah belum juga hilang. Banyak orang memilih jadi antek Jepang daripada melawan Jepang. Tak heran, dengan jumlah serdadu yang sedikit, Jepang bisa menguasai negeri sebesar Indonesia.

Ternyata mental inlander terus melekat di dada banyak orang Indonesia. Tak heran kalau banyak orang rela mengkhianati Kemerdekaan Indonesia yang sudah diraih dengan susah payah oleh para pahlawan kemerdekaan.

Banyak sekali contoh pengkhianatan terhadap kemerdekaan Indonesia. Misalnya, pemberian hak pengelolaan blok minyak atau gas kepada perusahaan migas asing ketimbang kepada Pertamina, Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Padahal, jika Pertamina yang ditugaskan mengelola Blok Cepu, Blok West Madura, Donggi dan Senoro, atau blok migas yang lain, otomatis hasilnya akan masuk ke kas negara. Alasan biaya pencarian sumber minyak atau gas yang mahal, sebenarnya bisa diatasi. Lantaran perbankan siap menggelontorkan dananya jika memang pemerintah memberikan hak pengelolaan ke Pertamina. Kalau menurut Si Pitung, mungkin pemerintah sekarang tak beda dengan Demang zaman baheula.

Bukan hanya dalam urusan pengelolaan blok migas. Dalam urusan perdagangan dengan negara lain, mental inlander tak juga hilang. Alhasil, saat ini pasar Indonesia kebanjiran produk asal China. Padahal kualitas barang dari China kalau jauh dibandingkan buatan dalam negeri. Tapi entah kenapa, pemerintah justeru membuka peluang sebesar-besarnya bagi produk China masuk ke Indonesia.

Apakah ini salah pemerintah semata? Tidak juga. Lantaran konsumen di Indonesia memang cenderung lebih menyukai produk luar. Mau jelek atau mahal, yang penting buatan luar negeri. Biar jelek yang penting gengsi naik. Tekor juga bodo amat, yang penting kesohor. Des, meskipun produk asing itu barang bekas, tetap saja laris manis.

Parahnya, banyak produk dengan merek asing sebenarnya tak lagi dibuat di negara asalnya. Tapi sudah dibuat di negara lain. Sepatu misalnya. Walaupun memakai brand asal AS, tapi dibuat di Vietnam. Soal kualitas, ya jelas amburadul.

Bercermin dari keadaan sekarang. Sudah waktunya kita kembali mengingat keberanian Raja Singosari, Maharaja Kertanegara yang memotong telinga Meng Khi, utusan Kubilai Khan yang ingin menjajah tanah Jawa. Sayang, keberanian mencintai tanah air dan produk buatan negeri sendiri, sekarang sudah pudar. Mungkin, memang sudah nasib bangsa ini dijajah asing selamanya.

BERITA TERKAIT

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…

BERITA LAINNYA DI

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

Antisipasi Kebijakan Ekonomi & Politik dalam Perang Iran -Israel

    Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef   Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…