TIDAK RELA INDONESIA BEBAS UTANG - Pemerintah Tunduk pada Kreditur Internasional

Jakarta—Pemerintah dinilai terlalu mudah menerbitan  Surat Berharga Negara (SBN). Apalagi RAPBN 2013 yang mencapai Rp1.657 triliun ternyata “dibuat” defisit 1,62 % dari PDB, yakni  sekitar Rp150,6 triliun. Ini tentu saja defisit anggaran ini harus ditambal dengan penarikan utang baru.

NERACA

Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, menegaskan pemerintah terlihat tunduk kepada kreditur internasional seperti ADB dan World Bank. Karena pihak asing tidak ingin Indonesia bebas dari utang. “Pemerintah sangat sadar. Keluarkan obligasi cuma buat tutupi utang saja. Kita tahu kreditur internasional ini pemain lama dan terus mendorong Indonesia supaya terus utang dengan bunga tinggi. Mereka yang menekan pemerintah supaya kurangi subsidi, yang menjadi musuh besarnya,” ujarnya

Atau dengan kata lain, menurut dia, pemerintah “menyerahkan” obligasi negara kepada sekelompok lembaga donor kapitalis dengan tenor (jangka) pendek. Pasalnya, hal tersebut menjadi inti masalah yang dihadapi pemerintah selama ini karena sangat riskan. “Bagi pemerintah, strategi menerbitkan obligasi adalah strategi sangat mujarab. Karena ini memang jalan pintas. Sayangnya, pemerintah ibarat memelihara "api dalam sekam",” tegas Dani kepada Neraca, Selasa (25/9)

Lebih lanjut dia mengatakan, rencana pemerintah membayar utang jatuh tempo tahun 2013 sebesar Rp171,7 triliun, atau naik dibandingkan tahun ini yang senilai Rp167,5 triliun. Akan tetapi, kata dia, jumlah ini akan berubah jika terjadi fluktuasi nilai tukar mata uang dan suku bunga. “Dari sekian banyak instrumen, hanya surat berharga sukuk saja yang alokasinya tepat untuk pembangunan infrastruktur. Tapi sayang, nilainya masih sangat kecil. Untuk tahun 2012-2013 saja hanya sekitar Rp4-5 triliun,” katanya.

Dani mengatakan pemerintah berniat menarik utang baru sebesar Rp230 triliun di 2013, yang terdiri dari Rp177,3 triliun dari SBN, itu termasuk obligasi. Serta Rp45,9 triliun berasal dari utang luar negeri yang baru.

Tak beda jauh dengan Direktur Eksekutif Indef Prof Dr Ahmad Erani Yustika yang menegaskan Indonesia sebenarnya tak lagi membutuhkan utang. “Sebenarnya Indonesia tidak lagi membutuhkan utang. Yang penting ada optimalisasi penerimaan, efisiensi belanja modal, serta realokasi subsidi. Jadi tiga poin inilah, yang wajib dilakukan pemerintah supaya terhindar dari utang," ujarnya kemarin.

Guru Besar FE Unibraw itu malah mempertanyakan soal kebutuhan utang pada APBN 2013. "Yang menjadi masalah sekarang adalah apakah Indonesia masih butuh utang atau tidak," tegasnya

Menyinggung soal Surat Utang Negara (SUN), Erani mengaku SUN pemanfaatannya sudah terprogram dengan jelas, seperti alokasi untuk belanja modal pembangunan infrastruktur. “Oleh karena itu, tidak bisa disebut “racun pembangunan” akibat digunakan untuk hal yang tak produktif,” tambahnya.

Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Utang, jumlah  total utang pemerintah mencapai Rp 1.944,14 triliun hingga Mei 2012. Namun yang paling besar utang itu berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) sekitar Rp1.304 Triliun. SBN terdiri dari denomisasi valas sebesar Rp 246,74 triliun dan denomisasi rupiah sebesar Rp 1.057 triliun. Dalam RAPBN 2013, pemerintah mematok defisit sebesar 1,62% terhadap PDB atau senilai Rp150,16 triliun. Adapun sumber pembiayaannya antara lain, berasal dari penerbitan SBN (neto) Rp177,26 triliun dan pinjaman luar negeri Rp48,91 triliun.

Anggota Komisi XI DPR RI, Abdilla Fauzi Achmad, mengakui memang tak perlu lagi menerbikan berbagai obligasi. Karena obligasi yang ada sudah saat ini terlalu membebani APBN, termasuk harus menanggung beban obligasi rekap. Artinya ini merupakan bentuk ketidakadilan ekonomi yang kasat mata yang terjadi di era demokrasi ini. Padahal seharusnya ekonomi negara harus dikelola dengan lebih pro-rakyat. ”Bantuan pemerintah sudah cukup dan belasan tahun rakyat menderita akibat menanggung beban utang tanpa menikmati utang itu. Jangan sedikitpun membiarkan kesalahan lama diteruskan,” katanya.

Obligasi Rekap

Yang jelas, kata Abdilla, beban utang, termasuk obligasi telah membebani APBN. Karena itu, membuat kemampuan APBN sebagai lokomotif menciptakan ekonomi sangat sempit, sebab anggaran menjadi terbatas.”Tidak mengherankan apabila anggaran untuk infrastruktur sedikit,” ujarnya.

Oleh karena itu, sambung Abdilla, menjadi keuntungan yang akan diperoleh pemerintah apabila pembayaran obligasi rekap ini diberhentikan atau distop. Hal ini dilakukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi apabila anggaran yang ada di APBN dapat digunakan dengan baik.”Paling tidak, ruang bagi APBN semakin besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” tambahnya.

Menurut Abdilla ketimbang menerbitkan SBN ataupun obligasi baru lebih baik pemerintah menagih obligor BLBI. Seharusnya pemerintah menyadari keberadaan obligasi rekap adalah fenomena yang tidak masuk akal. Para "pengemplang" BLBI lah yang berutang kepada negara, namun kemudian sekarang menagih kepada negara.

”Mereka itu dulu berutang kepada negara dengan fasilitas BLBI maka sekarang seharusnya mereka membayar kepada pemerintah. Bank-bank yang dulu berhutang kepada pemerintah sudah sehat jadinya negara tidak perlu lagi membayar bunga obligasi rekap ini,” jelasnya.

Sedankan Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Loto S. Ginting mengungkapkan, total Surat Utang Negara sebesar Rp166 triliun, SBN sebesar 211 triliun dengan realisasi rata-rata 78% dari target Rp 270 triliun. Target sebesar itu menurut dia dicarikan dari Sukuk dan SUN.

Menurut Loto, keseluruhan penggunaan tersebut untuk pembiayaan umum (general financing) keperluan pemerintah. “Keseluruhan masuk ke kas negara untuk pembangunan.” ujarnya.

Sehingga komposisi penggunaan tersebut, lanjut Loto, tidak bisa dirinci secara satu persatu. Akan, tetapi, dia menegaskan di 2012, belanja modal sebesar 168 triliun sehingga penggunaan dana yang berasal dari SBN maupun SUN sudah mencapai seratus persen lebih. “Dana itu sudah blended, apa pun pengeluaran negara, kekurangannya diambil dari dana tersebut,” tegasnya

Loto menambahkan, saat investor masih tertarik untuk penerbitan SUN, karena situasinya yang volatile, instrumen pendapatannya diperkirakan dengan bunga tetap, dan dijamin pemerintah. “Dari sebelumnya target netto SBN yang sebesar Rp 134 triliun, target untuk brutonya diperkirakan Rp 159 triliun,” ujarnya.

Rencananya, menurut dia, untuk instrumen investasi lainnya, pemerintah melalui Direktorat Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan akan menerbitkan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) seri 009 pada awal Oktober 2012, atau sekitar minggu kedua bulan depan. ardi/mohar/lia/cahyo

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…