Pajak Impor dan Perdagangan Internasional

Oleh : Walidi, SE.,MSi

Direktur Eksekutif Amanah Syariah Solution

Pengenaan segala bentuk retribusi dan pajak di pasar pada dasarnya haram hukumnya, dengan jaminan oleh pemerintah. Sepanjang sejarah Islam para pedagang selalu bergerak bebas, sendiri-sendiri maupun dalam kafilah-kafilah dagang (Karavan), dari satu pasar terbuka ke pasar terbuka lainnya.

Bahkan, pasar-pasar itu pun selalu bergerak yang dicerminkan dari nama-namanya: suq al-ahad di Damaskus, suq al-thalatha di Baghdad, suq al-arba’a di Maswil, suq al-khamis di Fez dan Marakesh. Pasar pertama di Madinah yang dibangun oleh Rasulullah SAW, baqi’ al-Zubayr, pun sepenuhnya merupakan lapangan terbuka. Sistem kebijakan ekonomi Islam menempatkan asas kemaslahatan sebagai patokannya. Artinya, sejauhmana kepentingan umat (almaslahah al-ammah) terhadap kesepakatan perdagangan internasional yang dilakukan.

Pada zaman Umar bin Khattab, ketika ahlul harb meminta kaum muslimin agar diizinkan masuk ke negara Islam untuk tujuan dagang dengan imbalan 10%. Maka Umar bermusyawarah mengkaji dan mengukur tingkat kemaslahatan bagi masyarakat. Permohonan disepakati. Namun diberikan batasan waktu izin kepada sebagian pedagang dari kaum Nabthi untuk masuk ke pasar Madinah.

Rasulullah SAW juga pernah melakukan kebijakan ekonomi disaat kemiskinan terjadi dimana-mana. Kebijakan itu dengan melakukan penetrasi pasar saat menaklukkan bani Nazir dengan cara memberi seluruh kekayaan fa’i (harta kekayaan orang-orang kafir yang dikuasai oleh kaum muslimin tanpa peperangan) yang diperolehnya kepada kaum muhajirin dan Anshar.

Meskipun prinsip dasar dalam Islam pengenaan pajak dalam kerangka perdagangan tidak diperkenankan. Dengan alasan sesuai prinsip zakat, maka  pengenaan zakat adalah setelah transaksi terjadi. Namun terkait melindungi konsumen khususnya komoditi yang terkait hajat hidup orang banyak. Maka pemerintah dapat melakukan intervensi pembelanjaan untuk diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu.

Berdasarkan kajian di atas, pada dasarnya penerapan pajak impor sangat ditentukan oleh prinsip sejauhmana kepentingan umat (almaslahah al-ammah). Intinya, pengenaan pajak impor tersebut  jangan dibebankan kepada konsumen (insiden pajak).

Sesuai dengan konsep Islam dimana zakat sebagai alat fiskal pemerintah tidak dikenakan pada barang antara, namun pada hakekatnya dikenakan kepada individu yang telah mendapatkan keuntungan dan atau kekayaan atas sebuah transaksi.

Pengenaan pajak impor sangat tidak relevan dalam ekonomi syariah dalam hal barang yang dikenai pajak berkenaan adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam konteks demikian untuk menjamin masyarakat dapat membeli produk tersebut, pemerintah dapat melakukan intervensi dengan melakukan pemberian subsidi kepada masyarakat yang membutuhkan melalui mekanisme pembelian dan penyaluran langsung.  

 

 

 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…