Oleh Agus S. Soerono
Wartawan Harian Ekonomi NERACA
Setiap tahun kita merayakan Idul Fitri. Dan sudah menjadi tradisi pula bahwa saat merayakan Idul Fitri itu, sebagian dari kita merayakannya bersama sanak saudara di kampung. Untuk bisa merayakan ritual itu, sebagian dari kita—terutama dari kota-kota besar—menyempatkan diri untuk mudik ke kampung.
Ada yang berpendapat bahwa tradisi mudik itu adalah sebagian dari “unjuk kemampuan” secara ekonomi kepada sanak saudara di tanah kelahiran, bahwa pengembaraan ke kota besar, sudah berhasil. Hal itu ditunjukkan dengan membawa kendaraan ke kampung. Kendaraan yang dibawa itu bisa berupa kendaraan roda dua, atau roda empat.
Memang dalam budaya materi seperti sekarang ini, rasanya belum afdol kalau tidak bisa menunjukkan kemampuan ekonomi dengan membawa kendaraan ke desa kelahiran.
Menurut data Kementerian Perhubungan, sedikitnya ada 5,6 juta orang yang melaksanakan ritual mudik itu. Mereka mudik menggunakan berbagai moda angkutan, baik udara, kereta api, bus, kapal laut, mobil pribadi, motor dan bahkan ada yang menggunakan bajaj.
Tercatat pada masa Angkutan Lebaran tahun lalu, sepeda motor berjumlah 71% dari jumlah kendaraan yang yang terlibat kecelakaan dan diproyeksikan pada Lebaran tahun 2012 ini terdapat 4 juta pemudik yang menggunakan 2,5 juta unit sepeda motor.
Bahkan ada pula pemudik yang menggunakan kendaraan baik terbuka (pick-up) untuk mudik. Mereka menggunakan kain terpal atau bahan penutup lainnya untuk atap mobil itu. Pemudik semacam ini sama sekali tidak memikirkan, bahwa perbuatan mereka yang menggunakan kendaraan bak terbuka untuk mudik ini dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Begitu pula pemudik yang menggunakan sepeda motor. Mereka biasanya menggunakan kendaraan roda dua itu sebagai alat transportasi dari rumah ke kantor dan sebaliknya. Jarak paling jauh yang mereka tempuh sekitar 75-100 km. Namun dengan melakukan perjalanan mudik dari Jakarta ke Semarang atau ke Jogya, jarak yang mereka tempuh bisa mencapai ratusan kilometer.
Dapat dimaklumi apabila para pemudik dengan sepeda motor ini menjadi kelelahan di jalan. Belum lagi kendaraan yang biasanya hanya bisa memuat dua orang, ditumpangi tiga atau empat orang. Kendaraan itu masih pula dibebani dengan barang bawaan yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, menjadi sangat wajar apabila mereka menjai sangat letih di perjalanan. Kelelahan yang sangat itulah yang menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas. Belum lagi ketika lalu lintas yang sangat padat menjadi macet, terpaksa harus dialihkan ke jalan alternatif yang kondisinya tidak sebaik jalan utama. Korban pun berjatuhan. Sungguh korban yang sebenarnya tidak perlu terjadi.