Menjaga Stabilitas Ekonomi

Melihat kinerja perekonomian nasional hingga semester I/2012 memang cukup mengesankan. Ekonomi kita tumbuh 6,4% dibandingkan semester yang  sama tahun silam. Tentu dengan sejumlah  variabel lain seperti inflasi yang tetap rendah, nilai tukar yang stabil, dan suku bunga yang terjaga, kita semakin yakin target pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini sebesar 6,5% bakal tercapai.

Namun semua itu baru angka-angka di atas kertas, yang pada akhirnya kita harus menjawab sebuah pertanyaan paling fundamental, yaitu apakah pertumbuhan ekonomi sebesar itu  berkualitas dalam arti mampu mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran secara signifikan, mempersempit kesenjangan, dan menciptakan pemerataan yang berkeadilan?

Tampaknya hal itu belum terjawab. Karena Gini Ratio (rasio untuk mengukur kesenjangan pendapatan) di negeri ini tahun lalu justru meningkat dibanding tahun sebelumnya dari 0,38 menjadi 0,41. Jumlah penduduk miskin dari waktu  ke waktu  juga belum berkurang drastis. Hingga tahun lalu, jumlah penduduk miskin masih sekitar 29,13 juta orang atau 11,96% terhadap populasi.

Padahal, kalau mau jujur, pembangunan berkelanjutan setidaknya memerlukan spirit pemerataan yang paling cocok diterapkan Indonesia. Sebagai negara kaya sumber daya alam, Indonesia sejatinya dapat  menuai hasil ganda jika memacu pertumbuhan ekonomi dengan konsep ekonomi hijau. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas bisa tercapai. Dengan mengolah SDA —seperti hasil tambang dan pertanian— menjadi produk jadi , industri akan menyerap banyak tenaga kerja.

Di sisi lain, kita bisa menghidupkan industri bernilai tambah tinggi, dengan tetap menghemat SDA untuk diwariskan ke anak cucu. Kita selama ini dibuat miris oleh ekspor bahan tambang yang terus melonjak. Dalam satu dekade terakhir, ekspor pertambangan yang sebagian besar berupa bahan mentah, bahkan dalam bentuk konsentrat, meningkat 1.000%.

Namun di sisi lain, kita juga merasa was-was karena ekspor manufaktur masih didominasi produk berbasis SDA setengah jadi dengan efek berganda dan nilai tambah yang rendah, seper ti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), karet, kayu, dan logam dasar. Ekspor bahan mentah atau setengah jadi yang membabi-buta telah menjadikan struktur industri manufaktur nasional rapuh dan timpang.

Apalagi Indonesia tak punya banyak industri dasar dan industri hilir yang memadai untuk mengimbangi besarnya kebutuhan produk jadi di dalam negeri. Akibatnya, kita banyak bergantung pada produk impor. Tak mengherankan jika pasar dalam negeri terus diserbu produk impor yang nyatanya juga lebih murah dan berkualitas.

Karena itu, bisa dipahami jika neraca perdagangan kita terus defisit. Dapat dimaklumi pula jika para industriawan di dalam negeri kini banyak beralih menjadi pedagang. Menjadi pedagang adalah pilihan yang realistis karena risikonya kecil dan lebih menguntungkan. Dengan menjadi pedagang, mereka terhindar dari persoalan klasik, seperti birokrasi yang bertele-tele serta ekonomi biaya tinggi akibat mahalnya biaya logistik, pungli, dan minimnya infrastruktur.

Kita mendukung langkah pemerintah memberlakukan bea keluar (BK) sebesar 20% terhadap 65 jenis mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan sejak Mei lalu, meski kebijakan itu terlambat diterapkan. Namun, kebijakan yang diarahkan untuk mendorong hilirisasi ini tak bisa pernah sempurna jika ekspor batubara tidak dibatasi.

Itu sebabnya, kita perlu terus meyakinkan pemerintah agar tak ragu membatasi ekspor batubara, sekalipun kalangan pengusaha menentangnya. Dan, kita patut mengacungkan jempol jika pemerintah akhirnya juga berani memperluas kebijakan itu terhadap seluruh komoditas berbasis SDA, termasuk produk pertanian. Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…