Konsep Jaminan Pensiun Dalam BPJS Belum Jelas

NERACA

Jakarta –Konsep Jaminan Pensiun pada program jaminan sosial nasional yang akan dikelola Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan masih samar-samar dan belum menukik pada substansi. “Salah satunya contohnya adalah soal besaran premi dan besaran uang pensiun, serta manfaat lain yang diterima pekerja,” kata Direktur PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) Ahmad Anshori dalam diskusi serial Jamsostek Journalists Club (JJC) di Jakarta, kemarin. Hadi pula dalam diskusi tersebut, Ketum Asosiasi Dana Pensiun Indonesia Djoni Rolindrawan dan aktuari PT Jamsostek Pramudya juga tampil sebagai nara sumber.

Lebih jauh kata Ahmad Anshori, hingga kini pemerintah masih terus mematangkan konsep tersebut. “Saat ini, pembahasan tentang konsep itu masih pada tahap pilihan sistem seperti manfaat pasti dan iuran pasti,” tambahnya.

Menurut Anshori, kondisi itu juga tercermin pada kepedulian masyarakat (pekerja) yang masih relatif rendah pada program pensiun. “Pekerja baru peduli setelah mendekat pensiun, berapa besaran pensiun yang akan di dapat, atau menyesal karena tidak ikut program pensiun,” jelas Anshori.

Seharusnya, imbuh Anshori, pekerja harus peduli pada program ini sejak awal. Alasannya, karena setiap pekerja pasti akan tua dan pensiun dari pekerjaannya. Oleh sebab itu, persiapan masa pensiun merupakan persiapan masa depan yang harus dipikirkan sejak pekerja mulai bekerja di suatu perusahaan.

Anshori mengungkap, peraturan perundangan menyatakan pekerja yang bekerja selama 15 tahun berhak mendapat uang pensiun perbulan melaui mekanisme Jaminan Pensiun yang akan dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Juli 2015. Jika tidak bermasa kerja 15 tahun atau tidak membayar premi selama 15 tahun maka jaminan pensiunnya akan diberikan sekaligus, bukan perbulan.

Masalahnya, sambung Anshori, dengan sistem kerja dimana praktik sistem kontrak dan alih daya (outsourcing) yang terjadi saat ini, cukup sulit bagi pekerja untuk bisa bekerja selama 15 tahun di satu perusahaan.

“Kemungkinan itu hanya terjadi pada pegawai BUMN, BUMND, pegawai perusahaan swasta nasional dan multinasional. Pada perusahaan di luar itu kemungkinan pekerja akan berpindah-pindah karena masa kontrak sudah selesai,” terang Dia.

Anshori menyebut, kondisi ketenagakerjaan seperti ini membuat sistem jaminan pensiun yang diamanatkan UU SJSN dan UU BPJS, dimana pekerja mendapat uang pensiun setiap bulan, bakal sulit tercapai.

Karena itu, kata Anshori, sudah saatnya semua pihak terkait duduk bersama membahas masalah substansi yang relatif peka, termasuk besaran iuran (premi) yang harus dibayar pengusaha dan pekerja. “Jika tidak dimulai sekarang maka pembahasan tidak akan pernah maju, yakni hanya membahas masalah dipermukaan, seperti konsep dan sistem Jaminan Pensiun,” paparnya.

Program Sukarela

Dalam kesempatan itu, Ketua Umum Asosiasi Dana Pensiun Indonesia Djoni Rolindrawan mengusulkan, agar program Jaminan Pensiun dilaksanakan secara sukarela atau tidak wajib.

Dia mengatakan, kewajiban sebagaimana yang diamanatkan dalam UU BPJS hendaknya berlaku pada perusahaan yang belum mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan pensiun yang ada saat ini.

Saat ini terdapat 2,981 juta pekerja yang menjadi peserta jaminan pensiun di 270 lembaga pensiun yang diselenggarakan perusahaan maupun oleh lembaga keuangan dengan total aset yang terhimpun sekitar Rp141,28 triliun.

Berdasarkan data tersebut, Djoni menilai program Jaminan Pensiun BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015 nanti hendaknya berjalan paralel dengan program jaminan pensiun yang sudah ada.

Menurut Djoni, pangsa pasarnya masih cukup besar karena masih terdapat sekitar 100 juta pekerja yang belum ikut Jaminan Pensiun yang bisa digarap oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Hanya masalahnya, imbuh Djoni, adalah program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek juga tidak wajib bagi perusahaan yang sudah memberi pelayanan kesehatan yang lebih baik, tetapi kenyataannya pesertanya hanya sekitar 2,3 juta dari sekitar 10,8 juta pekerja yang aktif membayar iuran. Dikhawatirkan kepesertaan program Jaminan Pensiun akan seperti program JPK Jamsostek juga. **kam

BERITA TERKAIT

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…

Pentingnya Bermitra dengan Perusahaan Teknologi di Bidang SDM

  NERACA Jakarta – Pengamat komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan menekankan pentingnya Indonesia memperkuat kemitraan dengan perusahaan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…

Pentingnya Bermitra dengan Perusahaan Teknologi di Bidang SDM

  NERACA Jakarta – Pengamat komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan menekankan pentingnya Indonesia memperkuat kemitraan dengan perusahaan…