PRESIDEN DIBODOHI PEJABAT MIGAS DAN PERTAMINA - SBY "Tunduk" di Tangan Mitsubishi

NERACA

Jakarta – Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyatakan ada desakan yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tunduk pada pihak Jepang, dalam hal ini Mitsubishi. Akibatnya, gas produksi Donggi Senoro yang semula dialokasi untuk kebutuhan domestik akhirnya diekspor.

Menurut Marwan, sewaktu Jusuf Kalla (JK) menjabat posisi Wakil Presiden, produksi gas Senoro yang semula akan diekspor dialihkan untuk pasar domestik. Namun ketika JK tak lagi menjadi Wapres, gas Senoro kembali dijual ke pasar ekspor.

“Ketidaktegasan Presiden SBY lah yang akhirnya membuat gas seharusnya bisa digunakan rakyat malah dinikmati oleh Jepang melalui Mitsubishi,” kata Marwan saat dihubungi Neraca, Kamis (26/7).

Marwan menyebutkan, Wapres Jusuf Kalla sudah benar mengalokasikan 100% gas produksi lapangan tersebut untuk keperluan domestik. Apalagi, jumlah itu pun masih kurang untuk memenuhi kebutuhan domestik karena pertumbuhan penggunaan gas terus meningkat. Namun pada Juni 2010, alokasi gas untuk kebutuhan domestik diturunkan menjadi hanya 30%. “Inilah yang jadi masalah, yang 100% saja belum dapat memenuhi kebutuhan domestik, apalagi dipotong jadi 30%,” jelas Marwan.

Marwan menegaskan, masalah yang paling penting dari Donggi-Senoro adalah soal biaya proyek, terutama di sisi hilir untuk membangun kilang LNG yang harganya sangat tinggi. Apalagi, tidak ada transparansi soal biaya pembangunannya.

“Pertama kami dapat informasi biaya sebesar US$1,6 miliar hanya untuk pembangunan kilang saja, kemudian sempat terdengar menjadi US$2,1 miliar. Artinya tidak ada transparansi. Yang kita takutkan adalah terjadinya penggelembungan dana,” tandas Marwan.

Oleh sebab itu, Marwan meminta biaya proyek itu direview kembali. “Kalau perlu memang dilakukan tender ulang seperti yang pernah disuarakan oleh mantan Wapres Jusuf Kalla,” tukasnya.

Alasannya, jika proyek dibangun dengan biaya tinggi, maka biaya tersebut akan menjadi beban negara. Meskipun, Donggi Senoro dikatakan bukan di sistem hulu, hingga tak ada cost recovery untuk pembangunan kilang, tapi tetap saja biaya tinggi akan mempengaruhi pendapatan Negara. Misalnya dari penurunan penerimaan pajak. “Seandainya biaya kilang lebih murah, keuntungan meningkat, berarti pendapatan negara melalui pajak juga meningkat. Namun jika biaya kilang lebih tinggi pendapatan negara akan berkurang,” urai Marwan.

Sementara itu, Direktur Center for Petroleum and Energy Economic Studies (CPEES) Kurtubi mengatakan, masalah kilang Donggi Senoro telah dibuat rumit. Menurut dia, berdasarkan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang  menilai adanya persekongkolan antara PT Pertamina, Mitsubishi Corporation, PT Medco Energi International dan PT Medco E&P Tomori Sulawesi, harusnya proyek Donggi Senoro dikembalikan kepada negara dan dikelola oleh Pertamina. Apalagi, dengan pengalaman mengelola kilang gas seperti Arun dan Badak, harusnya Pertamina bisa mengelola sendiri Donggi Senoro dan tidak diberikan kepada pihak asing.

“Dengan membangun dan mengelola kilang gas sendiri seperti halnya di Arun dan Badak, maka Pertamina selama 30 tahun berturut-turut telah menerima penerimaan dari gas dengan baik,” katanya.

Kurtubi menjelaskan, akar masalah proyek Donggi Senoro adalah BP migas yang menunjuk Mitsubishi menjadi partner Pertamina. Akibatnya, proyek tersebut diserahkan kepada Mitsubishi yang kemudian menjual gas ke negara asalnya. “Lapangan gas Donggi Senoro diserahkan kepada perusahaan asing dan kemudian hasilnya dijual ke luar negeri. Padahal Pertamina bisa membangun kilang LNG seperti di Badak tetapi malah diserahkan kepada perusahaan asing,” ujar Kurtubi.

Penyerahan pengelolaan Donggi Senoro kepada perusahaan asing, imbuh Kurtubi, tidak bisa dibenarkan.

Kurtubi menengarai, sejak awal ada indikasi lapangan gas tersebut akan diserahkan ke perusahaan asing. Kini akibatnya, Mitsubishi menjual LNG gas kepada negara asalnya yaitu Jepang sebesar US$ 16 per mmbtu, padahal Mitsubishi membeli gas dari Mitsubishi sendiri sebagai pengelola Donggi Sinoro hanya US$ 8 per mmbtu. “Seharusnya Donggi Senoro dapat menjadi sumber keuntungannya, tetapi malah keuntungan diberikan kepada negara lain,” tambahnya.

Dia juga mempertanyakan, kebijakan Pertamina yang menyerahkan pengelolaan Donggi Senoro ke pihak asing. Alasannya, Pertamina mempunyai pengalaman dalam mengelola lapangan gas sebelumnya. Akibatnya keuntungan bagi negara tidak maksimum. “Pertamina harus menjelaskan bagaimana LNG gas ini bisa diserahkan kepada pihak asing padahal Pertamina bisa bangun LNG gas sendiri,” katanya.

Dia menegaskan, bahwa yang harus bertanggung jawab atas masalah di Donggi Senoro adalah Pertamina, Medco, dan Mitsubishi. “Jangan sampai kekayaan negara Indonesia dirampok asing melalui kebijakan negara, dan Indonesia dirugikan karena formulasi kebijakan yang bodoh,” tandas Kurtubi.

Menurut Dia, Presiden tidak mengerti kebijakan hitungan teknis tetapi hanya mengerti kebijakan yang besar saja (global). Sementara yang terkait dengan teknis, Menteri terkait yang lebih mengerti masalahnya. Kemudian para Menteri itu memberikan usul kepada Presiden tentang kebijakan yang sebaiknya dilakukan.

“Apabila Presiden mengambil kebijakan yang salah tentang gas ini maka akan dihukum dengan tidak akan dipilih kembali oleh publik atau masyarakat Indonesia dan memilih pemimpin yang memihak kepada Sumber Daya Alam untuk negara, bukan asing,” katanya.

Tuntut Mitsubishi

Sementara itu, Kuasa Hukum PT LNG Energi Utama, Rizkiyana mengatakan bahwa PT LNG Energi Utama telah menuntut Mitsubishi Corporation atas ganti rugi sebesar US$ 709 juta. Energi Utama menilai ada persekongkolan Mitsubishi Corporation, PT Pertamina, PT Medco E&P Tomori Sulawesi untuk mendapatkan informasi rahasia kegiatan usaha LNG International dan menyingkirkan LNG Energi Utama dari beauty contest Donggi Senoro.

“Dengan tegas dinyatakan oleh KPPU bahwa pihak kami menjadi korban, maka dapat dikatakan bahwa keadilan belum sepenuhnya ditegakkan,” katanya.

Pada tanggal 5 April 2011, KPPU menyatakan telah terjadi persaingan usaha yang tidak sehat di proyek Donggi Senoro yang dijalankan Mitsubishi Corporation, PT Pertamina, dan PT Medco Energi Internasional. KPPU telah menemukan bukti terjadi persekongkolan oleh Mitsubishi dengan Medco Energi dan anak usahanya Medco E&P Tomori Sulawesi untuk mendapatkan kegiatan usaha pesaingnya, yaitu LNG International diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan untuk menyusun proposal beauty contest. tim

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…