Konversi Minyak ke Gas Lebih Baik dari Program Pembatasan BBM

NERACA

Jakarta - Rencana pemerintah membatasi penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi tampaknya bukan jalan yang tepat dalam menghemat subsidi BBM. Pasalnya, pemerintah terkesan belum menyiapkan cara dan sumber daya yang bisa diandalkan untuk menjalankan program pembatasan BBM bersubsidi, tanpa menimbulkan masalah baru.

“Masalah pembatasan BBM bersubsidi ini tidak bisa dibahas sepotong-sepotong, karena pengaruhnya sangat signifikan menyangkut hajat hidup orang banyak,” tegas mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam seminar bertajuk “Belajar dari Kesuksesan Program Konversi Minyak Tanah ke LPG, Demi Suksesnya Program Pembatasan BBM Bersubsidi,” di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Selasa (5/4).

Selain Jusuf Kalla, pembicara lainnya adalah Dirut pertamina 2006-2009 Ari H. Soemarno, Staf Ahli Kementrian Pertahanan Rahmat Sudibyo, Direktur Hilir Migas Saryono Hadi Widjoyo, Perwakilan dari Pertamina Basuki Trikora, Anggota Komisi 7 DPR/MPR RI Satya W Yudha, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir.

Menurut JK, Pemerintah seharusnya bisa lebih komprehensif dalam menalar isu-isu yang mungkin timbul akibat pembatasan BBM bersubsidi, seperti memperketat pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan sasaran bagi penerima subsidi BBM, kewajiban untuk beralih ke Pertamax yang terkesan dipaksakan, kemudian kekhawatiran akan membengkaknya jatah subsidi BBM tahun ini akibat konsumsi Premium yang melebihi kuota yang direncanakan.

Dalam kesempatan itu, Jusuf Kalla mengusulkan kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dibandingkan dengan melalui mekanisme pembatasan. “Pembatasan BBM bersubsidi tidak akan efektif dan akan ada penyelewengan luar biasa,” tandasnya.

Dia menyebut, jika estimasi harga minyak mentah sebesar US$ 120 per barel, maka harga BBM jenis premium berada di kisaran Rp6.000 per liter. “Saya khawatir jika BBM tidak dinaikkan maka akan bermasalah dengan keuangan negara,” katanya.

Di menegaskan, jika pembatasan BBM diteruskan akan terjadi penyelewengan, dan akan ada masalah di pompa bensin, masyarakat saling curiga, serta akan muncul BBM oplosan dan penimbunan. “Masalah akan semakin kompleks, jadi tidak ada solusi selaian menaikkan harga BBM,” cetusnya.

Dia mengharapkan pemerintah bisa bersikap untuk mengeluarkan kebijakan tidak populer di mata masyarakat tersebut.

Senada dengan JK, Dekan FEUI Firmanzah mengatakan, solusi yang tepat mengatasi masalah BBM adalah dengan menaikkan harga jualnya. “Pembagian jatah alokasi BBM tentunya akan menimbulkan masalah yang kompleks dalam implementasinya,” ujarnya.

Dia mengatakan kenaikan harga BBM jenis premium idealnya adalah antara Rp5.000 hingga Rp5.500 per liter.

Sementara anggota Komisi VII DPR RI, Satya W Yudha menuturkan, untuk menaikkan harga BBM sudah ada payung hukumnya yaitu UU APBN. Disebutkan bahwa kenaikan BBM masih bisa ditoleransi hingga 10%. “Waktunya ya bisa kapan saja, karena sudah ada payung hukumnya,” ucapnya.

Satya berharap, pemerintah bisa bersikap tegas dan tidak ragu untuk menaikkan harga BBM.

Menurutnya, ada dua hal yang diperhatikan dalam masalah BBM adalah yaitu kenaikan harga minyak dunia, dan juga mengendalikan subsidi yang tepat sasaran.

Di tempat yang sama, Mantan Direktur Utama Pertamina Ari Sumarno mendukung pendapat Jusuf Kalla. Kenaikan harga dilihat dari kemampuan subsidi yang disalurkan. “Kalau sudah lebih dari batasan, bisa dinaikkan,” katanya.

Mengenai pembatasan BBM, lanjutnya, dapat diterapkan tetapi harus efektif dan tidak merugikan pihak manapun.

Satya menambahkan, polemik serta permasalahan mengenai subsidi BBM muncul selama ini karena kurangnya penjelasan kepada masyarakat yang terpadu.

Mengenai sasaran penerima BBM bersubsidi, Satya pun menambahkan agar pemilihan sasaran lebih ditekankan atau diarahkan ke orangnya, bukan ke jenis kendaraan atau golongan kendaraan yang dimilikinya. “Karena tidak semua yang memiliki mobil bagus itu merupakan orang berkecukupan, begitupun sebaliknya. Sehingga agar tidak terjadi salah sasaran, maka penerima BBM bersubsidi tersebut seharusnya diarahkan pada orangnya, bukan kendaraannya. Jadi menurut saya soal pemasangan stiker itu sangat tidak efektif,” terang Satya.

Ketua YLKI Husna Zahir menambahkan, sebenarnya rencana pembatasan subsidi BBM hanya merepotkan pemerintah sendiri saja. Selain itu masyarakat jadi dibuat seperti mengambang akan permasalahan ini, tak ada kepastian atau sikap jelas dari pemerintah. “Sebaiknya pemerintah naikkan saja harga BBM sebesar Rp 500,- atau Rp 1.000,- dengan begitu dana subsidi BBM dapat dialihkan untuk pemerataan pembangunan di segala bidang,” ungkap Husna.

BERITA TERKAIT

Tingkatkan Ekspor, 12 Industri Alsintan Diboyong ke Maroko

NERACA Meknes – Kementerian Perindustrian memfasilitasi sebanyak 12 industri alat dan mesin pertanian (alsintan) dalam negeri untuk ikut berpartisipasi pada ajang bergengsi Salon International de l'Agriculture…

Hadirkan Profesi Dunia Penerbangan - Traveloka Resmikan Flight Academy di KidZania Jakarta

Perkaya pengalaman inventori aktivitas wisata dan juga edukasi, Traveloka sebagai platform travel terdepan se-Asia Tenggar hadirkan wahana bermain edukatif di…

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tingkatkan Ekspor, 12 Industri Alsintan Diboyong ke Maroko

NERACA Meknes – Kementerian Perindustrian memfasilitasi sebanyak 12 industri alat dan mesin pertanian (alsintan) dalam negeri untuk ikut berpartisipasi pada ajang bergengsi Salon International de l'Agriculture…

Hadirkan Profesi Dunia Penerbangan - Traveloka Resmikan Flight Academy di KidZania Jakarta

Perkaya pengalaman inventori aktivitas wisata dan juga edukasi, Traveloka sebagai platform travel terdepan se-Asia Tenggar hadirkan wahana bermain edukatif di…

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…