Rehab Hutan, Kemenhut Fokus Kembangkan Industri Berbasis Hutan Rakyat - Menhut Tegaskan LoI Dengan Norwegia Jalan Terus

NERACA

Jakarta - Kementerian Kehutanan tengah fokus pada upaya rehabilitasi hutan seluas 2,5 juta hektare pada 2010-2014. Langkah ini untuk mendorong pengembangan industri kayu olahan berbasis hutan tanaman rakyat.

Menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, saat ini pembangunan hutan kemasyarakatan (HKm) sudah mencapai dua juta hektare dan hutan desa 500 ribu hektare.

“Kami usahakan industri kayu olahan bisa langsung menyerap kayu dari hutan tanaman yang dikelola rakyat,” kata Menhut di Jakarta, Senin.

Dia menegaskan, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Kebun Bibit Rakyat (KBR) sudah berkembang pesat. Tahun ini, pihaknya menargetkan mampu membangun 10 ribu KBR, sedangkan tahun depan akan bertambah targetnya sebanyak 15 ribu KBR.  Untuk anggaran pembangunan industri pembibitan dan perbenuihan, Kemenhut berkomitmen mengucurkan dana Rp500 miliar.

Nantinya, imbuh Menhut, setiap KBR akan mendapatkan sekitar Rp50 juta. "Untuk biaya tanam dan biaya pemeliharaan kami menganggarkan sebanyak Rp2-3 triliun, per hektarnya mendapatkan Rp3-5 juta,” jelasnya.

Menurut Menhut, selama ini industri kayu baru berkembang di Pulau Jawa, sedangkan pengembangan luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi belum ada pabriknya sehingga masyarakat masih bingung mau dijual ke mana hasil mereka. “Kalaupun ada yang bisa dijual, hanya laku murah sekitar Rp200 ribu per meter kubik,” ujar Dia.

Menhut memberi contoh produksi sengon di Pulau Jawa berkembang pesat mencapai 15 juta meter kubik per tahun. "Di Jawa Timur saja saja produksi mencapai 3-4 juta meter kubik per tahun, di Tasikmalaya mencapai 1 juta meter kubik per tahun," katanya.

Untuk pengembangan KBR di luar Pulau Jawa, ia hanya memfokuskan untuk pengembangan bibit. "Yang terpenting sekarang adalah ketersediaan bibit, minat tanam masyarakat saya yakin tinggi, jadi jika diberi bibit pasti langsung tanam," katanya.

Dia mencatat, Kemhut berhasil melebihi target untuk program menanam 1 miliar pohon pada 2010 dengan angka realisasi 1,3 miliar pohon sampai Maret 2011. Tahun ini, ia optimistis penanaman dalam kerangka rehabilitasi kawasan hutan dan lahan kritis akan mencapai 1,5 miliar pohon.

Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kemhut, Harry Santoso mengatakan laju deforestasi turun sebanyak 1,08 juta hektare per tahun dari lahan kritis hutan seluas 30 juta hektare.

Dari data Kemhut, realisasi 2010 untuk Hutan Tanaman Rakyat mencapai 631.628 hektare, Hutan Kemasyarakatan (415.153 hektarea), Hutan Desa (113.354 hektare), dan Hutan Tanaman Industri (4,8 juta hektare).

Daqlam kesempatan itu, Zulkifli juga menegaskan, Pemerintah akan tetap menjalankan komitmen dengan Norwegia, meski parlemen negara Skandinavia itu tidak menjamin dana kompensasi moratorium konversi hutan alam primer dan lahan gambut pasti disetujui dikucurkan. “Kok dibatalkan? Kita mau sendiri kok, buat apa kita batalkan,” tanya Menhut.

Soal pencairan dana kompensasi yang belum ada kepastian tersebut, Zulkifli juga mengaku tidak berkompeten menjelaskannya. “Kalau soal uang-uang itu bukan di saya, itu tanya ke UKP4,” katanya.

Sebelumnya, sepuluh anggota Komisi IV DPR melakukan lawatan ke parlemen dan pemerintah Norwegia. Dari hasil kunjungan pada 22-26 Maret tersebut, terungkap bahwa parlemen negara tersebut belum tentu memberikan persetujuan pencairan dana sebesar US$ 1 miliar.

“Parlemen di sana menyampaikan kepada kami bahwa mereka prinsipnya mendukung (LoI), tapi tidak ada jawaban sepatah kata pun bahwa mereka akan setuju untuk mengalokasikan anggaran. Belum ada kalimat itu,?" kata Wakil Ketua Komisi IV yang juga ketua rombongan kunjungan tersebut, Firman Subagyo.

Menurut Firman, berdasarkan informasi yang dia dapat dari Duta Besar Indonesia untuk Norwegia, pihak parlemen di sana memang tidak terlibat dalam pembahasan LoI tersebut. "Itu resmi pernyataan dari Dubes Indonesia di sana," katanya.

Dia mengatakan parlemen Norwegia memiliki peran strategis untuk menentukan apakah dana tersebut bisa dicairkan atau tidak, setelah Indonesia menjalankan komitmen dalam LoI yang diteken pada Mei 2010 itu.

Artinya, menurut Firman, dana kompensasi moratorium tebang sebesar US$ 1 miliar tersebut belum tentu bisa disetujui parlemen Norwegia untuk dicairkan. “Itu yang saya khawatirkan. Itu yang tidak terjawab oleh parlemen. Bahkan ketika kami tanyakan ke parlemen mereka bilang itu domainnya pemerintah. Namun ketika ditanyakan ke pemerintah, mereka bilang itu domain parlemen. Jadi lempar-lemparan,” terangnya.

Dalam berbagai kesempatan, Menhut Zulkifli Hasan menegaskan tanpa LoI dengan Norwegia, Kementerian Kehutanan sudah tidak lagi memberikan izin baru untuk kawasan hutan alam primer dan lahan gambut.

BERITA TERKAIT

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…

BERITA LAINNYA DI Industri

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…