NERACA
Kekurangan energi, pangan, dan political deficit, mengancam runtuhnya peradaban manusia di bumi. Demikian tiga ultimatum peringatan yang kerap diutarakan Ketua Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Indonesia (Aspermigas), Effendi Siradjuddin.
Pria kelahiran Kota Sukabumi Jawa Barat, dan berdarah Makasar Sulawesi Selatan ini, memang tak surut melakukan penelitian atas kondisi sumber daya alam di Indonesia bahkan seluruh dunia.
“Nation in Trap,” sebuah judul buku yang akan dirilis ini, menjadi stimulus dari hasil penelitian dan rangkaian diskusi panjang yang melibatkan banyak kalangan peneliti, pemerhati dan pengambil kebijakan, baik dalam dan luar negeri.
“Ini sebuah peringatan bagi umat manusia atas pengelolaan sumber daya alam dimuka bumi,” ujarnya, kelak buah karyanya akan dibuat dalam berbagai versi bahasa dan diterbitkan di mancanegara.
Effendi, akrab ia disapa menuturkan, bahwa bukti dan realitas yang mengarah pada ketiga ancaman tersebut demikian nyata dan jelas. Selama satu dekade, jelas Fendi, jumlah lahan pertanian didunia turun 30%, berubah menjadi padang pasir, lalu mengancam bencana banjir, sementara temperatur bumi naik, air tanah yang berkurang, “Berkurang irigasi pertanian berakibat turunnya produksi pangan secara drastis,” ujarnya.
Menurut dia, bangsa Indonesia membutuhkan banyak entrepreneur yang mau bekerja keras dalam menghasilkan nilai tambah, dengan biaya serendah mungkin bagi penyelenggara negara.
“Dan kita bersatu dalam mengatasinya dengan pendekatan ‘perang’ terhadap ancaman ini,” ungkapnya.
Langkah pertama yang harus kita dilakukan adalah merubah mindset seputar konsep ketahanan nasional, “Ancaman krisis energi dan pangan sangat jelas. Dan kita lakukan pendekatan ‘perang’ dalam mengatasinya. Ini bentuk keseriusan dalam mempertahankan ketahanan pangan, energi dan keamanan negara dari kebangkrutan yang menyengsarakan rakyat,” tegasnya.
“Harus ada langkah tegas dan jelas dari para pemimpin Indonesia dimasa mendatang, dalam menyelamatkan bangsa dari krisis energi dan pangan, seperti yang telah dilakukan beberapa tahun sebelumnya oleh banyak negara di dunia,” ungkapnya, seperti ia tuangkan dalam bukunya Nation in Trap.