Percepat Industrialisasi - Bappenas: Tingkatkan Industri Berdaya Saing Kompetitif

NERACA

 

Bandung – Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pertumbuhan industri pengolahan (sektor sekunder) harus menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi. Itu sebabnya, sektor industri mesti didorong sampai jenuh dulu baru beralih ke sektor keuangan. Misalnya mineral dan bauksit adalah daya saing komparatif, juga upah buruh yang murah, namun hal ini tidak bisa diandalkan terus menerus.

“Jadi dengan industrialisasi, daya saing komparatif akan ditransformasi menjadi daya saing kompetitif,” kata Lukita Dinarsyah Tuwo, Wakil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Wakil Kepala Bappenas, dalam acara Rapat Sosialisasi Kebijakan Pembangunan dengan Media Massa, di Bandung, Kamis (5/7).

Indonesia sudah mengutamakan daya saing komparatifnya, yaitu SDA yang melimpah dan upah buruh yang murah, sejak tahun 70 dan 80-an. Namun supaya Indonesia bisa menyaingi negara-negara maju maka Indonesia harus melakukan transisi dari daya saing komparatif ke daya saing kompetitif yang mengutamakan inovasi dan produktivitas.

“SDA kita banyak yang tidak diolah dan tetap dijual dalam bentuk bahan baku. Negara-negara yang makmur dan kaya sekarang, karena mereka punya produktivitas, daya saing, dan didukung oleh kapasitas inovasi. Indonesia memiliki SDA melimpah, devaluasi mata uang, dan upah buruh murah, namun itu malah menunjukkan kurangnya fundamental daya saing Indonesia,” ujar Lukita.

Percepat Industrialisasi

Oleh karena itu proses industrialisasi di Indonesia memang perlu dipercepat, yaitu dengan melaksanakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) secara baik dan benar. ”MP3EI diyakini mampu mengakselerasi industrialisasi sehingga pembangunan di Indonesia berlangsung lebih cepat,” tutur Lukita.

Memang share sektor industri dalam PDB kita dalam dua tahun terakhir ini lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika dilihat dari sisi ekspor, memah produk industri masih mendominasi dalam total ekspor Indonesia. Seperti pada periode Januari – Maret 2012, nilai ekspor produk industri kita adalah US$ 29 miliar dari total ekspor keseluruhan adalah US$ 49 miliar.

Jadi apakah Indonesia mengalami deindustrialisasi jika kontribusi sektor industri dalam PDB itu menurun? Menurut Wamen Bappenas, itu tidak demikian. ”Walaupun kontribusi sektor industri dalam PDB menurun namun kontribusi tenaga kerja sektor industri meningkat. Jadi ini bukan indikasi de-industrialisasi,” jelas Lukita.

Menurut Wamen, ada dua masalah utama dalam sektor industri, yaitu eksternal dan internal. Masalah eksternal antara lain adalah belum memadainya infrastruktur transportasi dan kelistrikan di Indonesia. Kemudian masalah internalnya adalah terbatasnya industri yang melakukan inovasi, terbatasnya industri dengan nilai tambah tinggi, populasi industri masih kecil, struktur hulu sampai hilir masih lemah, serta rantai pemasok domestik yang belum terbangun.

Padahal Indonesia sudah memiliki visi yang sudah dicantumkan dalam MP3EI yaitu pada 2025 akan mencapai PDB sekitar US$ 4 – 4,5 triliun, pendapatan per kapita sekitar US$ 14.250 – 15.500, dan masuk 10 negara besar. Serta pada 2045 PDB divisikan akan mencapai US$ 15 – 17,5, pendapatan per kapitanya sekitar US$ 44.500 – 49.000, serta masuk 9 negara besar.

Untuk mencapai visi itu dan mengatasi dua masalah utama dalam sektor industri itu maka diperlukan strategi pembangunan ekonomi. Yaitu dengan mengembangkan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi, memperkuat konektivitas nasional, serta memperkuat kemampuan SDM dan iptek nasional.

”MP3EI tidak diarahkan pada kegiatan eksploitasi dan ekspor SDA saja, namun juga pada penciptaan nilai tambah. Kemudian tidak diarahkan untuk menciptakan konsentrasi ekonomi di suatu tempat, namun juga harus disebarkan. Lalu harus bisa menciptakan sinergi pembangunan sektoral dan daerah. Juga harus ada pembangunan yang seimbang antara laut, darat, dan udara. Untuk ini tidak bisa hanya mengandalkan APBN saja, tetapi juga harus mendorong pembangunan dari non pemerintah, apakah BUMN atau sektor swasta, atau kerja sama pemerintah dengan swasta,” jelasnya.

Jadi menurut Wamen juga bahwa sektor industri jangan melakukan business as usual. ”Tapi kita harus memaksa agar industri-industri pengolahan dibangun di Indonesia. Dan itu juga memerlukan peran pemerintah yaitu dengan visi, rencana, dan kebijakan yang jelas dan konsisten (soal lahan, tata ruang, dsb.); memberikan perlindungan dan insentif yang optimal; dan memberikan dukungan infrastruktur atau konektivitas atau energi, peningkatan kapasitas SDM dan R&D. Kalau kita tidak bisa membangun industri dari sekarang, nanti kita akan jadi penonton saja,” pungkas Lukita.

BERITA TERKAIT

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…