Akibat Birokrat Korup dan Bodoh - Indonesia Diseret Churcill ke Arbitrase Internasional

NERACA

Jakarta  - Gugatan Churchill Mining Plc kepada pemerintah Indonesia atas pencabutan izin tambang di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur bukanlah hal mengejutkan. Namun, gugatan senilai US$2miliar atau Rp18 triliun ini ditengarai bakal menggenapi deretan kekalahan yang sudah lazim diderita Indonesia di badan arbitrase internasional.

Wakil Direktur Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menegaskan, posisi pemerintah dalam membuat kontrak kerja sama dengan investor asing di sektor pertambangan, masih sangat lemah. Dia juga memaparkan, buruknya kemampuan pemerintah dalam membuat kontrak kerja sama berbanding lurus dengan rendahnya kualitas birokrat yang menangani urusan sumberdaya mineral.

“Saat ini, SDM (sumberdaya manusia) dari pemerintah bisa dikatakan perlu di-upgrade, sehingga apabila ada kejadian penggugatan, maka pemerintah akan berhadapan langsung dengan si penggugat. Hal ini berbeda dengan korporasi yang sudah sangat ahli dalam membuat kontrak kerjasama,” ungkap Komaidi kepada Neraca, Kamis (28/6).

Sejauh ini, lanjut dia, dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tambang, posisi pemerintah selalu berada pada pihak yang membutuhkan dana. Itulah sebabnya, pemerintah Indonesia seringkali dilecehkan oleh asing lewat modus penyuapan. Posisi mudah disuap itu pula yang membuat pemerintah Indonesia tidak mempunyai daya tawar tinggi.

“Indonesia itu sudah memiliki kedaulatan yang diakui dunia, namun dalam implementasi di lapangan pemerintah seperti tidak punya arah dan tujuan, sehingga sangat mudah ditipu oleh asing. Ada lagi, banyaknya pintu birokrasi yang mengurusi investasi asing yang menyebabkan kontrak kerjasama tersebut menjadi bias, sehingga tidak fokus, dan terlalu banyak kepentingan,” urainya.

Sependapat dengan Komaidi. Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara, mengatakan hal ini sebagai bukti betapa pemerintah sangat lemah pengawasannya di sektor pertambangan.

“Biarkan pemerintah tahu kalau pengawasannya lemah, yang mengakibatkan Pemkab dengan sewenang-wenang memberikan izin kepada perusahaan tambang. Tapi, itu balik lagi ke faktor KKN, suap, dan kepentingan politik yang bisa menentukan apakah kita menang atau tidak,” kata dia.

Dia menjelaskan, ketika Churchill dengan gagahnya mengadu ke badan arbitrase internasional, maka pemerintah Indonesia harus siap menghadapi dengan kekuatan penuh. Artinya, pemerintah harus menyiapkan dokumen sanggahan untuk melawan gugatan, kalau ingin menang.

“Walaupun daerah memberikan izin usaha, namun pemerintah pusat tak bisa begitu saja lepas tanggung jawab,” ungkap Marwan. Terkait dugaan lemahnya kontrak kerja sama antara pemerintah dengan investor asing sektor pertambangan, Marwan menilai penyusunannya tidak terlalu mempengaruhi hak untuk melakukan pencabutan sepihak.

Karena draft kerja sama itu sudah mengacu kepada peraturan yang ada. Sehingga, apabila ada pelanggaran maka sudah ada sanksi-sanksi yang telah berlaku. Akan tetapi, lanjut Marwan, justru masalahnya terletak di banyak mafia hukum yang disogok untuk kepentingan konglomerat, yang menghasilkan kerugian sepihak.

Tak hanya itu saja. Marwan melanjutkan bahwa kasus izin tambang yang kerapkali tumpang tindih, dinilainya sebagai biang keladi kisruh yang selama ini terjadi di sektor tambang. “Sejak adanya UU Minerba, izin tambang diperbolehkan di tingkat bupati. Namun, itu pun harus diketahui pemerintah pusat. Kenyataannya, izin keluar akibat KKN, penyuapan, kepentingan politik, dan kartel,” tandas dia.

Paham Isi Kontrak

Saat dihubungi terpisah, Zen Zanibar, pengamat hukum Universitas Sriwijaya menyatakan, langkah pemerintah mencabut izin tambang Churchill Plc memang bisa dibawa langsung ke pengadilan Internasional kalau dalam perjanjian kontrak karya-nya disebutkan seperti itu.

“Tapi kan masalahnya, kita tidak tahu bagaimana perjanjian kontraknya itu. Karena biasanya, sebagai negara anggota PBB harus mengikuti aturan internasional yang diberlakukan badan hukum PBB. Jadi kalaupun kita ngotot membawa kasus itu ke pengadilan negeri, akan percuma karena yang berlaku adalah pengadilan internasional tadi,” tandas Zen.

Dia mencontohkan, kasus sengketa Karaha Bodas, walaupun menang di tingkat Pengadilan Negeri di Indonesia, namun pemerintah tetap harus membayar tuntutan karena kalah dalam pengadilan Internasional. Tetapi untuk kasus Churchill Mining Plc, dia mengatakan, harus dilihat terlebih dahulu isi kontrak karyanya. Sehingga bisa dilihat Indonesia berpotensi menang atau kalah di pengadilan internasional.

“Untuk itu, sebaiknya kita tidak segera memutuskan perjanjian kontrak karya secara sepihak, karena yang sudah-sudah kita selalu kalah akibat isi kontrak karya tersebut. Walaupun jelas-jelas mereka merugikan kita,” katanya.

Melanggar Aturan

Bupati Kutai Timur Isran Noor menegaskan bahwa Churchill Mining Plc tidak pernah mengantongi izin melakukan kegiatan pertambangan di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Sehingga, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur tak pernah merasa mereka berinvestasi batu bara di Kutai Timur.

Kalau pun Churchill mengklaim membeli saham Ridlatama Group dan memperoleh izin usaha pertambangan (IUP), kata Isran, hal itu merupakan kekeliruan besar. Pasalnya, yang berinvestasi adalah Ridlatama Group, yang notabene pemilik empat izin tambang batu bara izinnya telah dicabut Pemkab.

Tak ada angin. Ternyata belakangan malah Churchill sudah memegang porsi 75% saham di proyek tersebut. “Churchill telah membeli saham PT Indonesia Coal Development yang menurut mereka itu bergerak di sektor tambang. Padahal, Indonesia Coal itu anak perusahaan Ridlatama Group yang bergerak di sektor jasa angkutan pertambangan. Ini jelas beda core business,” tegas Isran di Jakarta, kemarin.

Isran menduga apa yang dilakukan oleh Churchill yang mengadukan Pemerintah Indonesia melalui jalur arbitrase merupakan bentuk kekesalan kepada Ridlatama Group. Di mana, lanjut dia, Churchill merasa telah ditipu oleh perusahaan tambang lokal tersebut.

"Di mata kami, Churchill itu nggak pernah ada. Yang ada itu Ridlatama dan izin tambang mereka sudah dicabut. Dia (Churchill) mengakuisisi Ridlatama secara tersembunyi dan ilegal. Sementara IUP tidak boleh dimiliki asing. Yang boleh hanya PKP2B dan KK," tegas Isran lantang.

Dengan demikian, kepala daerah yang juga menjabat sebagai ketua umum APKASI ini menegaskan, menolak bernegosiasi dan siap menghadapi gugatan Churchill di International Center For Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat (AS).

Hal ini setelah mempelajari gugatan Churchill, Pemkab menilai langkah mereka tidak memiliki dasar hukum yang kuat. "Kami telah menyiapkan data-data pendukung untuk melawan gugatan tersebut. Pemerintah turut mendukung dengan mengadakan rapat kordinasi dengan instansi terkait," ungkap dia. 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…