Mayoritas Perusahaan Sawit Belum Bangun Kebun Rakyat

NERACA

 

Jakarta - Kementerian Pertanian menemukan banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak membangun kebun rakyat atau dikenal dengan kebun plasma. Padahal, pemerintah berharap, perusahaan perkebunan kelapa sawit mengajak rakyat menjadi mitra bisnisnya.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan) Gamal Nasir menyatakan, hasil audit terhadap perkebunan sawit, hampir 60% dari 300 perusahaan perkebunan sawit belum membangun kebun rakyat tersebut. “Kira-kira 180 perusahaan belum bangun kebun plasma, sisanya sebanyak 120 perusahaan sudah merealisasikannya,” kata Gamal di Jakarta, Rabu (27/6).

Maka itu, Gamal mengatakan, perusahaan akan melakukan revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26/2007 tentang perkebunan. “Kami akan bikin aturan tegas, bagi yang tidak menjalankan kewajiban membangun kebun plasma maka izinnya akan dicabut,” tegas Gamal.

Menurut Gamal, selama ini, peran pusat yang hanya sebagai pengawas tidak terlalu besar dibandingkan dengan peranan pemerintah daerah. Oleh karena itu, Gamal bilang, izin perkebunan kelapa sawit nantinya harus mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian.

Sementara itu, Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengungkapkan saat ini pemerintah Pusat sedang mempertimbangkan pemberian rekomendasi dalam penerbitan izin usaha perkebunan. Pemberian rekomendasi ini lantaran semakin banyak konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan. Dalam aturan sebelumnya pemerintah pusat hanya mengawasi penerbitan izin usaha perkebunan itu.

Rusman juga memaparkan pemberian rekomendasi ini supaya status kepemilikan lahan bisa jelas pada tahap awal. Menurutnya, pemerintah daerah akan menerbitkan izin setelah memperoleh rekomendasi dari pemerintah pusat. “Walaupun rekomendasi tetap menjadi given variable, Pemerintah harus tetap mempertimbangkan dan melihat rekomendasi pusat," kata Rusman.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian Gamal Nasir beralasan, kebijakan ini berpotensi bertabrakan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah. Undang-undang tersebut menyatakan pemerintah daerah tidak berwenang ikut campur dalam pemberian izin usaha perkebunan. “Jangan sampai karena terburu-buru malah tidak bisa digunakan. Mudah-mudahan saja bisa selesai awal Juli,” kata Gamal.

Selain soal rekomendasi, Gamal mengatakan ada poin lain yang masih jadi pembahasan. Poin ini tentang kewajiban bagi perusahaan perkebunan yang sudah memiliki izin usaha perkebunan untuk budidaya (IUP-B) membangun perkebunan rakyat (plasma) minimal 20% dari total areal kebun dalam jangka waktu 2 atau 3 tahun sejak terbitnya IUP-B.

Gamal mengungkapkan, pengusaha keberatan atas batas waktu tersebut karena keterbatasan lahan. “Jika tidak ada, perusahaan bisa menggantinya dengan adakan pengabdian untuk masyarakat atau CSR,” katanya.

Bagi perusahaan yang tidak menaati aturan ini, Gamal mengusulkan adanya pemberian sanksi. Salah satunya izin usahanya dicabut oleh pemerintah daerah. Aturan lainnya yang akan tertuang dalam revisi permentan dan sudah clear adalah pabrik kelapa sawit (PKS) harus memiliki minimal 20% bahan baku tandan buah segar (TBS) dari kebun sendiri. Jika tidak punya atau tidak sampai 20% maka perusahaan boleh menjalin kemitraan dengan kelompok-kelompok petani atau bermitra lahan.

Kebun Plasma

Hal senada juga diungkapkan oleh Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).Meraka mengusulkan, penanaman lahan perkebunan plasma (kemitraan dengan petani) dilakukan setelah lahan perkebunan inti beroperasi selama tiga tahun. Setelah itu, barulah perkebunan plasma seluas 20% dari luas perkebunan inti ditanam oleh perusahaan kelapa sawit. Usulan dari GAPKI ini terkait dengan rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Pertanian No 26/2007.

Direktur Eksekutif GAPKI Fadhil Hasan bilang, pemberian waktu 3 tahun kepada perusahaan kelapa sawit diperlukan, agar perusahaan bisa mempersiapkan perkebunan inti terlebih dahulu. “Kami kesulitan harus menanam kebun plasma dalam jangka waktu 2 tahun. Sebab, pinjaman perbankan untuk kebun plasma baru bisa cair usai kebun inti terbangun. Maka itu kami bangun kebun inti dulu, setelah itu baru kebun plasma,” terang Fadhil.

Walau pembangunan inti dilakukan bertahap, yang terpenting, pinjaman perbankan cair untuk bangun plasma setelah 3 tahun kebun inti tertanam. Sehingga, alasan waktu 3 tahun bukanlah alasan bahwa pengusaha sawit tidak peduli terhadap masyarakat sekitar. “Tetapi, memang skema perbankan yang menyulitkan,” terangnya.

BERITA TERKAIT

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…

BERITA LAINNYA DI Industri

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…