Kinerja IPO Terjerembab

Oleh :  Dr. Agus S. Irfani

                                                                               Lektor Kepala FE Univ. Pancasila 

Meski PT Bursa Efek Indonesia menargetkan IPO 25 perusahaan tahun 2012, hingga kini yang sudah terealisasi baru 5 perusahaan dengan total nilai emisi Rp1.146 miliar. Kelima perusahaan tersebut dan nilai emisinya adalah PT Minna Padi Investama, Tbk (Rp118,5 M); PT TiPhone Mobil Indonesia, Tbk (Rp418,5 M);  PT Surya Eka Perkasa, Tbk (Rp152,5 M); PT Bekasi Fajar Industrial Estate, Tbk (Rp300,05 M); dan PT Supra Boga Lestari (Rp156,45M).


Diperkirakan akhir bulan ini PT Trisula Internasional dan PT Toba Bara Sejahtera akan menyusul IPO dengan tambahan nilai emisi sekitar Rp800 miliar. Jika terealisasi maka total nilai emisi semester I 2012 mencapai Rp1.946 miliar. Jika dibanding dengan data Juni 2011, jumlah IPO merosot 30% dari 10 perusahaan menjadi 7 perusahaan (jika jadi). Sementara total dana hasil IPO anjlok 82,3% dari Rp11,04 triliun Juni 2011 menjadi hanya Rp1,95 triliun Juni 2012.


Kecilnya nilai emisi tersebut dikarenakan IPO di semester I 2012 tersebut faktanya didominasi oleh  perusahaan-perusahaan dengan nilai aset menengah dan belum melibatkan IPO badan usaha milik negara (BUMN). Jikakondisi ini berlanjut pada paruh kedua tahun ini, maka  kemungkinan total nilai emisi IPO 2012 lebih rendah dibandingkan 2011 yang mencapai Rp19,63 trilun. Asal tahu saja bahwa total hasil IPO 2011 itu pun sudah terjungkal 40,56% dari Rp27,59 triliun pada tahun 2010. Intinya kinerja IPO di bursa Indonesia merosot tajam selama tiga tahun terakhir. Mengapa hal ini terjadi? Ini adalah pertanyaan besar yang harus ditemukan jawabnya.

 

Dari sisi jumlah IPO, banyak kalangan menduga disebabkan oleh sentimen global yang tidak kondusif. Tetapi realitas menunjukkan bahwa selama semester pertama 2011 ini Singapura  sudah mecatat IPO 12 perusahaan, Malaysia 19 perusahaan, Hongkong 15 perusahaan, Jepang 16 perusahaan, Thailand 10 perusahaan. Sedangkan Indonesia baru 5 perusahaan yang sudah pasti hingga 20 Juni 2012. Berarti alasan faktor eksternal tersebut tidak valid. 


Dari sisi lemahnya minat perusahaan melakukan IPO diduga masih terlalu minimnya insentif yang ditawarkan kepada calon emiten. Dalam UU No. 36/2008 tentang PPh disebutkan, perusahaan yang menjual sahamnya ke publik hingga 40% akan memperoleh potongan PPh sebesar 5% dari tarif PPh normal. Insentif tersebut terbukti kurang manjur dalam merangsang perusahaan masuk bursa. Untuk itu perlu dibuat terobosan agar batas proporsi saham IPO diturunkan dari 40% ke 30%-35% dengan potongan PPh tetap 5%. Atau proporsi minimum saham IPO nya tetap 40% tetapi potongan PPh nya di naikkan jadi 8%-10%. 


Insentif lainnya yang dapat diberikan antara lain perlunya pembebasan PPn jasa yang terkait dengan proses IPO seperti jasa akuntan, jasa legal, jasa penilaian, jasa underwriter dan juga jasa dalam transaksi saham di bursa seperti yang disediakan oleh broker/pialang. Hal tersebut dapat ditempuh dengan mengajukan revisi (amandemen) atas pasal 4A ayat (3) UU No. 42 Tahun 2009 yang menyatakan pembebanan PPn atas jasa-jasa tersebut.


Hal tersebut diharapkan dapat memberi rasa keadilan bagi emiten IPO mengingat pada Pasal 4A ayat (2) huruf d dari Undang-Undang yang berdasarkan ketentuan tersebut semua transaksi saham baik pada pasar perdana maupun pada pasar sekunder itu tidak dikenakan PPn. Investor yang terlibat di pasar modal pada umumnya investor besar yang berasal dari luar negeri, yang selama ini telah banyak menikmati hasil investasi mereka di Bursa Efek Indonesia tanpa terkenai PPn, sedangkan emiten selama ini terkenai PPn atas jasa-saja yang terkait dengan IPO.


Kendala kurangnya minat BUMN masuk ke bursa diduga terkait dengan keengganan para pengelola perusahaan BUMN untuk terbuka kepada publik. Hal ini mengindikasikan belum baiknya penerapan good corporate governance (GCG) mereka yang meliputi perspektif transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness. Terutama masalah pengelolaan administrasi pajak di mana pengawasan pajak kepada perusahaan terbuka lebih mudah dilakukan dibandingkan pengawasan terhadap perusahaan tertutup. Intinya perusahaan publik tidak dapat lagi menyembunyikan pajak karena secara berkala harus lapor ke bursa dan keBappepam-LK, diaudit oleh audit independen, serta diawasi pula oleh publik (pemegang saham).

BERITA TERKAIT

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…

BERITA LAINNYA DI

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

Dilemanya LK Mikro

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Kehadiran lembaga keuangan (LK) mikro atau lembaga keuangan mikro syariah (LKM/LKMS) dipandang sangat strategis.…