Publik Ragukan Langkah SBY Atasi Krisis

Jakarta—Banyak kalangan pesimistis terhadap lima langkah Presiden SBY dalam mengatasi krisis global. Alasannya berbagai kebijakan yang digulirkan tersebut banyak yang tidak mulus berjalan. Seperti kebijakan pertama terkait akses ke perbankan (financial inclusion), pemerintah sejatinya perlu meningkatkan pendapatan rakyat terlebih dahulu.

NERACA

Financial inclusion itu bisa dilihat dari dua sisi. Pertama,  pemerintah sudah berupaya mendekatkan perbankan ke masyarakat, melalui BPR. Kedua, sebanyak apapun bank di daerah tapi kalau masyarakatnya tidak punya duit, jadi tidak ada yang bisa menabung,” kata ekonom Indef Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika kepada Neraca, Senin (18/6).

Menurut dia, masyarakat miskin tidak mungkin memiliki tabungan. Kecuali pendapatannya naik menjadi US$4 per hari di atas standar yang dikeluarkan World Bank yaitu US$2 per hari. Apalagi di Indonesia, yang pendapatannya di bawah US$2 masih ada sekitar 50%, yaitu sekitar 120 juta orang. “Jadi dengan US$4 atau Rp 1.200.000 per bulan. Maka seseorang bisa menabung (minimal) Rp 200.000,” jelasnya

Kebijakan meningkatkan UMKM penting, kata Guru Besar FE Unibraw ini, namun tetap masyarakat harus diberdayakan supaya penghasilannya meningkat. Sehingga bisa menabung. Sehingga untuk membuka akses keuangan kepada petani, lanjut Erani lagi, juga tidak mungkin. “Karena seperti yang saya bilang tadi, bahwa pendapatannya memang masih rendah,” tambahnya

Menyangkut penanganan krisis kedua, terkait kebijakan meningkatkan produktivitas berbagai produk investasi pemerintah dan swasta, menurut dia, itu semua hanya jargon saja. “Itu tidak pernah terjadi, hanya jargon saja,” tegasnya

Lalu untuk kebijakan ketiga terkait stabilisasi harga pangan dan meningkatkan stok beras. “Itu semua hanya memberatkan karena impornya naik 40%. Kita jangankan melakukan diversifikasi pangan, mempertahankan yang sudah ada saja tidak bisa,” ujarnya.

Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya dalam forum G-20 kemarin, untuk menghadapi krisis ekonomi global ada lima kebijakan yang akan ditempuh pemerintah. Pertama, memantapkan strategi financial inclusion. Kedua, meningkatkan produktivitas berbagai produk pertanian. Ketiga, pemerintah melakukan stabilisasi harga pangan. Keempat, mendorong pembangunan infrastruktur lewat MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Kelima, pemerintah menerapkan manajemen protokol krisis.

Kurang Berjalan

Apalagi langkah yang menyangkut  kebijakan keempat, yakni mendorong pembangunan infrastruktur melalui MP3EI.  “Itu kurang berjalan,”ucapnya sambil mengakui tindakan manajemen protokol krisis, yang dinilainya sudah berjalan. “Itu sudah berjalan. Namun demikian utang pemerintah naik. Dampaknya positifnya PDB juga naik. Karena utang itu memang dihitung dari PDB,” tuturnya.

Tak beda jauh dengan pendapat Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto, bahwa inti permasalahan dari lima langkah pemerintah terkait dengan kemampuan fiskal. Karena menjaga fiskal tidak defisit 2,5% tentu tidak mudah.

“Program SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) itu kan membutuhkan dana yang tak sedikit. Di sini pemerintah harus siap, masalahnya sebagian besar anggaran tertuju untuk membayar jaminan sosial seluruh rakyat. Tujuannya memang bagus, tapi apa ada anggarannya?,” ujarnya

Begitu juga dengan proyek MP3EI, menurut dia, semua itu juga butuh anggaran pemerintah yang besar. “Kalau pemerintah tak punya dana, bagaimana mau membangun infrastruktur yang bisa mengatasi semua problem yang ada sekarang, seperti biaya logistik tinggi,” paparnya.

Saat ini dunia sedang krisis, lanjut Djimanto, lalu negara mana yang mau memberikan dananya. Meski bentuknya kerjasama atau investasi. “Namun tetap saja bagi yang ingin memberikan dana ke Indonesia juga melihat kebijakan-kebijakannya, kalau tidak diuntungkan ya mana ada yang mau,” tandasnya.

Lebih jauh dia mengatakan, program dan lima langkah SBY tersebut diyakini hanya sebatas upaya mendongkrak citra. “Semuanya kan memang cuman ingin memperlihatkan citra, tapi implementasinya dipertanyakan,”ucapnya.

Keraguan yang sama datang dari Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto, yang  mengatakan langkah pertama terkait financial inclusion,  pada realitasnya pemerintah masih menjadi sumber deadlock pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) kelembagaan mikro dan koperasi. “Hal ini dikarenakan cara pandangnya masih dengan kacamata makro ekonomi,” katanya.

Sedangkan langkah kedua tentang tingkat perlindungan terhadap produk pertanian, menurut Airlangga, Indonesia merupakan negara terendah dalam perlindungan produk pertanian dibanding dengan Jepang, Korea dan negara maju lainnya. “Selama ini sektor pertanian kurang diperhatikan, oleh karena itu kita harus meningkatkan tingkat perlindungan kepada sektor pertanian,” ungkapnya.

Airlangga menambahkan pembangunan infrastruktur ekonomi seperti infrastruktur gas tidak terbangun sehingga produsen manufaktur semisalnya di Jawa Barat tidak kebagian gas dan harga gas industri Indonesia yang termahal bahkan dibandingkan Amerika sekalipun. “Infrastruktur harus dibangun untuk membangun kinerja seluruh sektor industri di Indonesia,” tambahnya.

Namun berbeda dengan ekonom UGM, Sri Adiningsih yang mengatakan lima langkah yang ditempuh Presiden SBY cukup baik. Namun masih ada satu hal yang masuk dalam penanganan krisis yaitu subsidi BBM. “Seharusnya penanganan BBM bersubsidi masuk dalam langkah SBY untuk menangani krisis, karena jika porsi subsidi terlalu besar maka Indonesia akan sulit mengahapi krisis karena stimulus fiskalnya terlalu kecil,” ungkapnya.

Menurut anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), lima langkah yang digunakan SBY dalam menghadapi krisis cukup baik dan perlu diapresiasi. Seperti contoh memberikan akses keuangan bagi para petani, ia memandang cara itu cukup efektif dalam menghadapi krisis, hal ini membuat agar petani Indonesia bisa tak terkena dampaknya. “seharusnya kita mendukung langkah tersebut. Selain itu, petani akan tetap bertahan dan tetap bisa bercocok tanam dan kebutuhan pangan kita juga akan terpenuhi,” jelasnya.

Selain itu, lanjut dia, protokol krisis yang dijalankan oleh pemerintah juga belum begitu jelas. “diatas kertas cukup bagus tapi protokol krisis belum teruji. Dana jangka pendek dan ekspor barang merosot sehingga devisa menurun,nilai rupiah cenderung melemah. Bahkan, laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2012 turun menjadi 6,3%,lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi 6,5% pada 2011, hal inilah yang perlu diwaspadai,” tukasnya.

Dari sisi program UMKM, ia memandang UMKM Indonesia perlu dijaga karena pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang dari sisi UMKM. “pemberdayaan UMKM menjadi hal yang penting. Langkah Presiden pun tepat untuk turut serta mensejahterakan rakyat UMKM yang menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tambahnya. ria/mohar/bari/novi/cahyo

 

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…