Waspadai Epilepsi pada Anak

NERACA

Komorbiditas atau penyakit penyerta terhadap epilepsi pada anak penting untuk diwaspadai karena dapat memperburuk kualitas hidup. Angka kejadian komorbiditas epilepsi sebesar 30%-40% dari jumlah kejadian epilepsi.

dr. Dwi Putro Widodo, SpA (K) mengemukakan, epilepsi idiopatik biasanya terjadi pada anak dengan perkembangan dan pemeriksaan fisiknya normal dan umumnya terjadi pada usia tertentu.

Menurut dia, epilepsi ini sering terjadi pada penderita lumpuh otak atau celebral palsy (CP) dengan prevalensi berkisar antara 10%-80%. Penderita epilepsi (PE) anak yang juga menderita CP memiliki kerentanan gangguan mental dibandingkan dengan anak yang menderita CP tanpa epilepsi.

Selain itu, angka kejadian epilepsi pada anak dengan gangguan intelektual sebesar 23-45%, epilepsi pada penderita autis sekitar 30%-40%. Penyandang Epilepsi anak dengan cerebral palsy menghadapi berbagai masalah yang lebih kompleks, seperti rendahnya kemampuan untuk mengerti, berkomunikasi serta memecahkan masalah.

Di samping itu, mereka juga sering menghadapi lemah otot, kesulitan untuk berdiri atau berjalan serta postur tubuh. Autisme merupakan salah satu komorbiditas epilepsi karena penyandang autisme memiliki risiko lebih besar untuk mengalami epilepsi dibandingkan dengan anak yang tidak autis.

Sebanyak 40% anak penyandang autis juga mengalami epilepsi, sedangkan risiko pada anak bukan autis hanya sekitar 1-2% saja. Sebaliknya anak yang mengalami epilepsi tertentu sering disertai dengan gejala autis.

Sedangkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap fungsi kognitif pada anak epilepsi menyatakan bahwa pada PE anak didapatkan gangguan fungsi intelegensi, pemahaman bahasa, gangguan visuopasial dan gangguan fungsi kognitif.

Penelitian tersebut juga menunjukkan adanya perbedaan yang sangat bermakna pada IQ PE anak dibandingkan dengan anak tanpa epilepsi. Sedangkan di negara berkembang, insidensi epilepsi pada anak berkisar antara 25-840 per 100.000 penduduk per tahun.

Jenis epilepsi yang sering dialami anak-anak adalah epilepsi idiopatik dan simptomatik. Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, Inggris, dan Swedia pada semua usia PE menunjukkan bahwa setelah melakukan pengobatan teratur selama 10 tahun, akumulasi pengurangan bangkitan selama 5 tahun sebesar 58%-65%.

Pada PE anak ditemukan persentase penurunan bangkitan yang lebih tinggi yaitu sebesar 74% dalam rentang waktu 3-5 tahun pada masa pengobatan teratur selama 12-30 tahun.

“Epilepsi tidak dapat dicegah, namun dapat dilakukan tata laksana yang tepat untuk mengontrol bangkitan, yakni dengan melakukan pengobatan secara teratur dan disiplin,” tuturnya.

Dalam hal ini, orang tua memiliki peranan penting agar PE anak patuh untuk minum obat anti epileptik. Orang tua jangan terlalu khawatir akan efek samping dari obat yang dikonsumsi, karena efek samping bangkitan jauh lebih buruk daripada efek samping obat anti epilepsi(OAE),” jelas dr. Dwi.

Pada kesempatan yang sama Dr. dr. Kurnia Kusumastuti, SpS (K) menjelaskan, “Meskipun hormon pada umumnya tidak menyebabkan munculnya bangkitan epilepsi, namun hormon dapat mempengaruhi terjadinya bangkitan.”

Hormon estrogen membuat otak lebih mudah terjadi bangkitan, sebaliknya hormon progresteron menyebabkan otak lebih sulit terjadi bangkitan. Inilah yang menyebabkan sebagian perempuan sering mengalami perubahan pola bangkitan di saat terjadi fluktuasi hormonal seperti saat pubertas, menstruasi dan menopause.

Pada masa pubertas, terjadi perubahan fisik dan emosional yang kompleks. Kadar hormon yang berfluktuasi di saat pubertas dapat mempengaruhi bangkitan. Perubahan fisik dapat terjadi sangat cepat, sehingga dosis OAE yang terbiasa diminum PE perempuan tidak lagi cukup, sehingga seringkali diperlukan penambahan dosis, tuturnya.

Sedangkan pada masa menstruasi, terdapat tendensi untuk terjadinya bangkitan pada bagian tertentu dari siklus menstruasi yang disebabkan oleh fluktuasi hormonal, retensi atau pengumpulan cairan tubuh, penurunan kadar OAE sebelum menstruasi, tidur yang terganggu serta stress dan kecemasan.

BERITA TERKAIT

Hadirkan Inspirasi Cinta Budaya Lokal - Lagi, Marina Beauty Journey Digelar Cari Bintangnya

Mengulang kesuksesan di tahun sebelumnya, Marina Beauty Journey kembali hadir mendorong perempuan muda Indonesia untuk memaknai hidup dalam kebersamaan dan…

Mengenal LINAC dan Brachytherapy Opsi Pengobatan Kanker

Terapi radiasi atau radioterapi, termasuk yang menggunakan Linear Accelerator (LINAC) dan metode brachytherapy telah menjadi terobosan dalam dunia medis untuk…

Masyarakat Diminta Responsif Gejala Kelainan Darah

Praktisi kesehatan masyarakat, dr. Ngabila Salama meminta masyarakat untuk lebih responsif terhadap gejala kelainan darah dengan melakukan pemeriksaan atau skrining.…

BERITA LAINNYA DI Kesehatan

Hadirkan Inspirasi Cinta Budaya Lokal - Lagi, Marina Beauty Journey Digelar Cari Bintangnya

Mengulang kesuksesan di tahun sebelumnya, Marina Beauty Journey kembali hadir mendorong perempuan muda Indonesia untuk memaknai hidup dalam kebersamaan dan…

Mengenal LINAC dan Brachytherapy Opsi Pengobatan Kanker

Terapi radiasi atau radioterapi, termasuk yang menggunakan Linear Accelerator (LINAC) dan metode brachytherapy telah menjadi terobosan dalam dunia medis untuk…

Masyarakat Diminta Responsif Gejala Kelainan Darah

Praktisi kesehatan masyarakat, dr. Ngabila Salama meminta masyarakat untuk lebih responsif terhadap gejala kelainan darah dengan melakukan pemeriksaan atau skrining.…