Kenaikan Harga Gas Diyakini Bakal Rangsang Investasi di Sektor Energi

Kendati kenaikan harga gas untuk sektor industri ditentang kalangan pengusaha, namun kebijakan yang ditetapkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) itu dalam jangka panjang diyakini bakal merangsang investasi di sektor energi, khususnya industri gas nasional. Selain itu, kenaikan harga sebesar 55% ini juga dipercaya akan mengurangi gap antara harga ekspor dan domestik, sehingga pada gilirannya dapat memberi kepastian pasokan untuk industri di dalam negeri.

Anggota Komisi VII DPR DPR RI Satya W Yudha mengatakan, nilai positif dari kenaikan harga gas di sektor hulu yang kemudian diiringi dengan kenaikan produk tersebut di sektor hilir memang dapat memancing adanya investasi baru dalam industri gas nasional.

“Masalah kenaikan harga gas, sebenarnya cukup baik. Dengan kenaikan gas, investasi baru diharapkan muncul di sektor gas. Namun, penentuan harga gas sebaiknya semuanya seimbang dan tidak ada pihak yang dirugikan. Untuk pupuk, PLN dan rumah tangga harus diatur oleh negara. Tapi kalau untuk Industri ya harus dibicarakan B to B (business to business), ” kata Satya ketika dihubungi Neraca, Minggu (17/6).

Menurut dia, kenaikan harga gas di sektor industri juga dapat membuat gap antara harga gas domestik dan harga ekspor menjadi semakin menyempit. Namun sebaiknya, lanjut Satya, Indonesia mempunyai patokan haga gas rata -rata (indonesian gas price). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran keekonomian harga gas rata di Indonesia, agar tidak ada kerancuan seperti yang terjadi saat ini.

“Sebaiknya harga gas domestik tidak berlaku hak ekonomi sebuah lapangan. Kalau ini tidak dijalankan pasti mereka para pengusaha akan ekspor. Kenaikan harga ditujukan agar bisa mengembangkan setiap lapangan, namun diukur juga dari setiap kesulitan lapan itu juga,” lanjutnya.

Lebih jauh dia menjelaskan, saat ini, banyak peraturan pemerintah yang harus direvisi agar bisa seimbang antara industri gas di tingkat hulu dengan hilir. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka harga gas akan mengikuti mekanisme pasar sehingga membuat kerancuan harga gas. Untuk itu, Satya pun mendukung rencana renegosiasi harga gas baik untuk pembeli domestik maupun ekspor.

Menjelaskan tentang dampak kenaikan gas pada ekonomi nasional, Satya menjelaskan, kebijakan ini pada skala makro akan dapat meningkatkan penerimaan negara. Itu sebabnya, pemerintah harus memprioritaskan renegosiasi untuk kontrak gas yang sudah berumur lebih dari 10 tahun. Dalam setiap kontrak baru, mesti dimasukkan klausul yang memungkinkan renegosiasi dan eskalasi harga. Jika tindakan itu dilakukan, sambung Satya, maka harga akan kompetitif di hulu dan efisien di hilir karena margin menjadi lebih terukur dan logis sehingga penerimaan negara menjadi lebih besar.

Hal senada diungkapkan oleh Mantan Sekretaris Menteri Said Didu. Dia menjelaskan, kenaikan harga gas akan mampu meningkatkan penerimaan negara. Alasannya, selama ini yang membeli gas itu swasta dan asing. “Lalu kenapa PGN disuruh menurunkan? Kan yang dapat untung kan PGN juga dan buat negara. Memang kalau buat industri dalam negeri itu harus dibicarakan business to business (b to b),” jelasnya.

Namun kalau untuk rakyat banyak seperti gas yang 3 kilogram, , menurut dia, itu harganya harus diatur oleh negara. “Hal yang menjadi kendala saat ini adalah ada pihak yang meminta agar PGN menaikkan harga beli dari pemilik. Tapi tidak bebas menetapkan harga jual. Ini tidak adil. Karena pemilik gas mendapatkan win fall sementara PGN tidak menikmati,” tambahnya.

Tentang adanya gap harga ekspor dan domestik, dia mengatakan, PGN waktu itu membeli sekitar US$ 6, di domestik dijual US$ 10, jadi cuman untung US$ 4. Dia mengungkapkan, hal itu sangat wajar. Namun, pasokan ke dalam negeri masih kurang. Harus diutamakan pasokan dalam negeri lebih dahulu.

“Kalau selama ini kenapa PGN tidak bisa menurunkan harga karena masih terkait kontrak karya yang lama. Sebaiknya memang direnegosiasi untuk kontrak karya itu. Yang saya tahu saat ini BP Migas dan PGN sedang melakukan renegosiasi. BP Migas berpendapat harga gas yang dibeli PGN kepada kontrak karya seharga US$ 3 masih rendah. Jadi belum menemui harga keekonomian dalam negeri. Sebab harga keekonomian pasar domestik adalah US$ 5-6. Balik lagi, kalau untuk industri itu b to b, maka pelaku usaha harus bicara sendiri dengan PGN, dan itu bisa dilakukan,” terang Said.

Dihungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) Achmad Wijaya mengatakan, sejauh ini industri tidak mempermasalahkan kenaikan gas selama pasokannya terjamin. “Kalau pasokan jamin harga tak menjadi masalah. Di kala tidak ada pasokan maka diperbolehkan naik. Akibat nya biaya bisa naik 30%. Asal keputusan politik di BP Migas tegas, itu satu-satunya jalan,” ungkap Achmad lewat pesan singkatnya.

BERITA TERKAIT

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…

BERITA LAINNYA DI Industri

Kunci Cermat Bermedia Sosial - Pahami dan Tingkatkan Kompetensi Platform Digital

Kecermatan dalam bermedia sosial sangat ditentukan oleh pemahaman dan kompetensi pengguna terkait platform digital. Kompetensi tersebut meliputi pemahaman terhadap perangkat…

IKM Tenun Terus Dipacu

NERACA Jakarta – Dalam menjaga warisan budaya nusantara, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mendorong pengembangan sektor industri kerajinan dan wastra…

PLTP Kamojang Jadi Salah Satu Rujukan Perumusan INET-ZERO

NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun Dokumen…