NERACA
Jakarta – Penetapan besaran premi yang ditetapkan oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) saat ini dinilai tidak adil oleh kalangan bankir. Pasalnya, besarnya premi diberlakukan sama untuk setiap bank yaitu 0,2% dari rata-rata saldo bulanan total simpanan masyarakat tanpa memperhatikan tingkat kesehatan bank antara satu dan lainnya.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution sebenarnya setuju jika LPS menetapkan diferensiasi besaran premi dengan memperhatikan tingkat kesehatan bank. Artinya, wajar bagi yang sehat mendapat beban premi yang lebih ringan ketimbang bank yang kurang sehat.
“Namun kewenangan penetapan premi tersebut bukan di BI, tapi sepenuhnya di LPS,” ujar Darmin di hadapan pemimpin redaksi media massa di Jakarta, Selasa malam.
Secara terpisah, Kepala Eksekutif LPS Mirza Adityaswara mengakui saat ini besaran premi LPS terhadap dana pihak ketiga (DPK) di perbankan masih bersifat flat (datar). Artinya, premi yang berlaku sampai dengan saat ini masih sama dan tidak ada diferensiasi.
"Besarnya premi 0,2% per semester terhadap total DPK perbankan. Ya itu istilahnya flat premium" ujarnya kepada Neraca, kemarin.
Lebih jauh Mirza membenarkan rencana LPS untuk mengubah besaran premi LPS yang diwajibkan kepada industri perbankan sebagai penjamin dana simpanan nasabah. "Nanti ditahun 2015 rencananya akan berubah ke differential premi,” ujarnya.
Insentif Perbankan
Menurut pengamat perbankan yang juga Direktur Center for Banking Crisis (CBC), Ahmad Deni Daruri, bahwa usulan perbedaan premi LPS terhadap bank yang sehat dan tidak sehat sudah diajukan sejak dua tahun lalu. "Saya sudah menganjurkan hal itu, bahwa premi harus sesuai dengan kesehatan bank, sejak dua tahun yang lalu,” ujarnya.
Padahal, dalam UU LPS No. 24/2004 khususnya pasal 15 ayat (1), peluang perubahan premi tersebut dapat dilakukan setiap saat. “Cara penetapan premi dapat diubah sehingga tingkat premi menjadi berbeda antara satu bank dan bank yang lain berdasarkan risiko kegagalan bank,” menurut bunyi pasal tersebut.
Menurut Deni, premi tinggi untuk bank yang kesehatannya rendah juga akan bisa menjadi salah satu motivasi untuk bank tersebut agar menjadi lebih baik. "Artinya kalau preminya tetap sama, kasihan bank-bank yang sehat, sedangkan untuk yang kesehatannya rendah, premi (besar) itu bisa untuk memacu mereka untuk memperbagus kinerjanya. Atau itu bisa jadi punishment bagi mereka karena kesehatannya rendah. Dan untuk yang bagus, kalau premi kecil, bisa jadi reward untuk mereka untuk menjaga kesehatannya," jelasnya.
Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti juga menyatakan ketidaksetujuannya terkait persamaan nilai premi oleh LPS. Pasalnya, menurut dia, bank berkategori kurang sehat seharusnya preminya lebih besar daripada bank yang sehat. “Harus ada pembeda dong. Karena ini berkaitan dengan insentif perbankan,” ujarnya, Rabu.
Kendati demikian, Destry melihat bahwa penerapan nilai premi ini sebenarnya atas dasar dua hal. Pertama, klasifikasi perbankan. Kedua, menentukan besaran premi. “Ini semua ujung-ujungnya akan berdampak ke perbankan itu sendiri, yakni cost atau biaya yang ditanggung,” ujarnya. (ria/maya/ardi/fb)
Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…
Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…
Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…
Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…
Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…
Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…