Dalam tiga bulan terakhir ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami pelemahan cukup dalam. Nilai kursnya hingga akhir Mei rata-rata mencapai Rp 9.112 per US$, atau terdepresiasi 37,8 % dibandingkan dengan akhir tahun lalu yang rata-rata Rp 8.780 per US$. Pelemahan rupiah ini diperkirakan masih akan terjadi, seiring melemahnya kinerja ekspor yang lebih rendah ketimbang impornya. Walau demikian, Bank Indonesia (BI) memprediksi nilai tukar rupiah akan berada di kisaran Rp 9.100-9.300 hingga akhir tahun ini.
Berfluktuasinya nilai rupiah tersebut tampaknya terpengaruh oleh situasi eksternal yang cenderung negatif. Ini seiring dengan yield obligasi Spanyol yang terus mengalami peningkatan belakangan ini, di samping Jepang dan China yang akan menggunakan yen dan yuan dalam transaksi dagang bilateralnya, setidaknya membuat sentimen negatif US$ makin kuat, yang tentunya berdampak pada tekanan terhadap mata uang di Asia, termasuk rupiah.
Namun di sisi internal, BI akan kewalahan terus menerus melakukan intervensi menjaga nilai tukar rupiah agar pelemahan tidak makin dalam. Karena itu, mau tidak mau BI harus menanggung beban biaya operasi moneter, yang tentunya berdampak pada defisit neraca Bank Indonesia makin melebar pada tahun ini.
Tahun lalu (2011) saja defisit BI mencapai Rp 25,1 triliun, lebih tinggi dari 2010 yang tercatat Rp 21,1 triliun, dan tahun ini angka defisit itu dipastikan terus meningkat, yang pada akhirnya menggerus jumlah cadangan devisa Indonesia.
Data BI mengungkapkan, hingga 28 Mei 2012 cadangan devisa menurun US$2,8 miliar menjadi US$113,6 miliar dari semula US$ 116,4 miliar. Ini jelas akibat pelemahan rupiah, selain disebabkan faktor eksternal, juga karena dana investor asing berupa hot money yang hengkang dari negeri ini.
Meski kita akui tren itu lebih disebabkan oleh faktor krisis global, khususnya di Eropa yang juga berdampak pada hampir semua mata uang negara-negara di dunia, kecuali yen Jepang. Pertumbuhan tinggi ekonomi tinggi juga membutuhkan impor yang tinggi pula, terutama berhubungan dengan aktivitas industri. Bahkan, saat ekspor menunjukkan perlambatan, impor tidak mau melambat. Itulah kondisi di Indonesia saat ini.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo menegaskan, gejolak di pasar keuangan dan pelemahan nilai tukar rupiah pada saat ini masih bisa diredam, sehingga tidak terlalu mempengaruhi fiskal. Cadangan devisa dinilai cukup jika sewaktu-waktu diperlukan untuk mengatasi pelemahan agar tak berlanjut. Namun di sisi lain, ancaman penurunan kinerja ekspor karena krisis di Eropa membuat pemerintah fokus pada investasi dan konsumsi domestik. Diharapkan kedua hal itu menjadi motor penggerak pertumbuhan.
Kendati demikian, kita tetap mewaspadai risiko atas dampak krisis di sektor keuangan. Ini perlu diantisipasi, karena banyak lembaga keuangan yang mempunyai portofolio di Eropa akan melakukan penyehatan dan mengurangi perannya di Asia. Terkait dengan hal itu, pemerintah menyatakan kesiapannya menghadapi berbagai dampak yang mungkin terjadi di sektor keuangan. Antara lain menjaga iklim investasi tetap kondusif di samping mampu meyakinkan kalangan internasional, bahwa Indonesia memiliki dukungan perbankan, khususnya untuk menopang pembiayaan perdagangan ekspor.
Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…
Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…
Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…
Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…
Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…
Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…