Oleh: Munib Ansori
Wartawan Harian Ekonomi NERACA
Penguatan nasionalisme konsumsi produk dalam negeri sejatinya merupakan bentuk perlawanan terhadap fakta semakin membanjirnya produk impor di pasar domestik. Sikap heroik pada produk domestik seperti yang diterapkan Jepang terhadap komoditas beras, Korea Selatan pada handphone, maupun Malaysia terhadap mobil Proton, terbukti mampu membentengi pasar domestik mereka dari gempuran produk impor seiring bercokolnya rezim pasar bebas dalam era ekonomi global.
Kenaikan jumlah kelas mengengah yang mencapai 134 juta orang dengan daya beli yang semakin kuat mendorong permintaan pasar terhadap barang konsumsi, termasuk produk impor, di tengah pengendalian impor lewat kebijakan tarif dan non tariff barrier seperti sudah tak tersisa. Sehingga, ketika selera konsumen begitu fokus pada produk impor atas nama gengsi dan gaya hidup, maka nasionalisme ekonomi menjadi satu hal yang tak bisa ditawar lagi.
Lihatlah Jepang misalnya. Tak usah bicara nasionalisme konsumsi atas kendaraan bermotor yang memang merekalah rajanya di dunia, pada produk beras pun Jepang memiliki rasa nasionalisme yang kuat. Di saat harga beras impor asal Amerika Serikat 30% jauh lebih murah ketimbang beras lokal, atas nama nasionalisme konsumsi, lidah orang Jepang tetap memilih beras domestik untuk kebutuhan sehari-hari.
Indonesia mesti belajar pada Jepang dan sejumlah negara lain yang sukses mempertahankan rasa nasionalisme konsumsi atas produk lokal. Banjir produk China mulai dari peniti, buah-buahan, hingga baja untuk konstruksi tak mungkin dibendung dalam era ekonomi liberal saat ini, apalagi hanya lewat seruan seperti “Aku Cinta Produk Indonesia” yang selama hanya sebatas retorika atau jargon norak nan kampungan.
Jelas, nasionalisme konsumsi bukan sekedar mencintai atau membanggakan produk asli Indonesia. Lebih dari itu, nasionalisme konsumsi merupakan tindakan nyata membeli dan memakai produk dalam negeri secara agresif. Lantaran, kalau hal ini tidak dilakukan, pertumbuhan sektor riil tidak akan terserap pasar. Imbasnya, industri lokal akan bangkrut karena terlibas “tsunami” barang impor yang semakin tak terkendali belakangan ini.
Total belanja konsumsi Indonesia dalam setahun telah mencapai Rp4.000 triliun dan 56% diantaranya merupakan sumbangan dari nilai nominal rupiah. Itu sebabnya, pemerintah harus mengendalikan impor barang konsumsi dengan melakukan standarisasi, serta meningkatkan kualitas dan daya saing produk-produk dalam negeri, tanpa harus menutup keran impor. Pasalnya, agar ekonomi tumbuh 6,5%, impor harus tumbuh 11,4% pada 2012 ini. Pengendalian impor ini tentu menjadi jalan tengah bagi strategi pencapaian target pertumbuhan ekonomi tersebut.
Karena itu, fasilitas untuk impor semestinya segera dibatasi, tapi fasilitas bagi kegiatan investasi dan ekspor yang menggunakan bahan baku dari dalam negeri harus dipermudah. Dalam rangka pengadaan barang dan jasa pemerintah, sudah saatnya diperkuat dorongan agar barang produksi lokal mencapai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sebesar 40%, bahkan lebih dari itu.
Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…
Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…
Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…
Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…