DITUDING MELANGGAR KONSTITUSI - Hapuskan Praktik Monopoli PGN

Jakarta –  Kebijakan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menerapkan kenaikan harga gas  untuk sektor industri sebesar 55% per 1 Mei lalu menghadirkan masalah baru yang lebih prinsipil. Lebih dari sekedar ditentang oleh para pengusaha dan dituding melakukan monopoli pasar gas nasional, praktik kesewenangan perusahaan plat merah di bawah Kementerian BUMN ini menetapkan kenaikan harga gas secara sepihak juga diyakini sebagai bentuk pelanggaran konstitusi.

NERACA

Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KKPU) Tadjuddin Noer Said menilai kenaikan harga gas yang dilakukan oleh PGN melanggar UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), karena seharusnya menurut UU tersebut yang dapat menentukan harga gas adalah pemerintah.

"Pemerintah yang mempunyai kewenangan," kata Tadjuddin kepada Neraca, Senin (4/6).

Tadjuddin mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan pasal 28 dalam UU tersebut. “Pasal yang dibatalkan itu berbunyi harga bahan bakar minyak BBM) dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. KPPU menilai mekanisme persaingan usaha dalam gas tetap ada meski pemerintah menetapkan harga, karena pemerintah dapat menetapkan harga batas tertinggi dan menyerahkan harga di bawahnya pada mekanisme persaingan,” jelasnya.

Menurut dia, bisa saja pemerintah memberikan wewenang untuk mengatur harga gas kepada pihak tertentu. Namun, dirinya mengatakan bahwa belum pernah melihat adanya aturan tersebut, baik dalam UU, peraturan pemerintah atau aturan lainnya. Untuk itu KPPU berencana meminta dan memberi penjelasan kepada pihak-pihak terkait masalah itu. “Mengenai waktunya, akan ditentukan kemudian dengan melihat kondisi yang ada,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi Indef Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika mengatakan, penetapan harga gas memang seharusnya sesuai dengan amanat konstitusi. Artinya, penetapan harga ada di bawah wewenang pemerintah. "Untuk penentuan harga, memang seharusnya sesuai dengan amanat konstitusi. Itu diatur dalam pasal 33. Harus ada koordinasi dengan pemerintah," ujarnya.

Jika ada koordinasi pemerintah dalam penetapan harga gas, lanjut Erani, tentu saja akan meningkatkan daya beli masyarakat dan meningkatkan budget pemerintah dari penerimaan kas negara. Menurut dia, PGN tidak seharusnya melakukan monopoli di pasar. "Pemain tunggal bukan akhirnya jadi semena-mena menentukan harga dari komoditas yang dimiliki. Harus ada di bawah koordinasi pemerintah," cetusnya.

Sejauh ini Erani menilai, sikap PGN memang hasil dari campur tangan pemerintah. Namun, dia mengakui, posisi PGN saat ini tidak berdaulat. Pasalnya, PGN hanya mengambil sekitar 2%-13% dari total produksi nasional. Selanjutnya bagi hasil dan penentuan harga pada tahap ini domainnya pihak asing. Pemerintah punya posisi tawar rendah. Meski demikian, Erani menekankan, pemerintah masih ada celah untuk intervensi monopoli PGN dalam menetapkan harga gas. "Problemnya saat ini pemerintah tidak mau menguliti satu-persatu permasalahannya," tandasnya.

Monopoli Pasar

Pengamat perminyakan dan gas Kurtubi menjelaskan, praktik monopoli memang dilakukan oleh PGN. Mau harga gas naik atau tidak, lanjut Kurtubi, PGN tetap memonopoli pasar gas Indonesia karena tidak ada kompetitor lainnya. Dia pun menyangkal bahwa PGN tidak bisa distop dalam memonopoli pasar gas, mengingat tidak ada lagi perusahaan gas yang bisa berkontribusi besar terhadap negara.

Selama ini, Kurtubi menilai, pengelolaan tata niaga gas masih amat semrawut dan tidak efesien. Bukti konkret yang disebutkan doktor perminyakan dari Colorado University AS itu, sikap pemerintah atau BP Migas yang seenaknya menjual gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) Tangguh kepada perusahaan China dengan harga US$3,35 untuk masa kontrak 25 tahun.

“Di dalam negeri PGN minta harga US$5,48. Masa harga dalam negeri lebih mahal dari harga ekspor ke China. Ini bukti pengelolaan pemerintah yang masih belum baik. Mestinya dari dulu ada prediksi, rencana, perkiraan kondisi gas dalam negeri,” tandasnya.

Adapun di mata anggota Komisi VII DPR Satya Widya Yudha, kenaikan harga gas seharusnya melalui mekanisme yang jelas. PGN harus berkonsultasi dengan BP Migas, walaupun PGN melakukan penetapan harga dengan business to businees (b to b) tetapi harus melalui kebijakan pemerintah. Harga gas seharusnya tidak melalui mekanisme harga pasar dan penetapan harga melalui kebijakan pemerintah. “Semua alokasi dan penyaluran gas sudah diatur oleh pemerintah makanya mekanisme penetapan harga gas berdasarkan kebijakan pemerintah,” urainya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Panggah Susanto, mengatakan, kenaikan harga gas tanpa ada jaminan pasokan menyebabkan beban yang ditanggung industri jadi berlipat ganda. Panggah menegaskan Kemenperin juga sebisa mungkin membahas masalah negosiasi harga gas dengan PGN, namun juga tidak semudah itu. Pasalnya, harga gas sudah sejak lama diserahkan kepada mekanisme pasar.

“Pihak Kemenperin sebisa mungkin juga akan membahas masalah harga gas. Keputusan harga gas ditentukan oleh pelaku industri yang menggunakan gas dengan pihak PGN,” paparnya.

Panggah menambahkan, PGN berada di posisi penyambung antara produsen di hulu dan industri di hilir. Jika hulu dan PGN berpikir mengutamakan dan saling tarik untuk profit, yang dibebankan adalah hilir. “Pertanyaannya, peran PGN ini mengutamakan profit atau melayani industri. Kalau profit, PGN akan mencari konsumen yang mempunyai dana besar agar mendatangkan profit,” tandasnya.

Sementara itu Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi Natural Gas Bumi (FIPGB) Achmad Safiun mengatakan, pihaknya sebenarnya tidak mempermasalahkan kenaikan harga gas PGN yang mencapai  55% itu. Tapi yang mereka minta kepada pemerintah untuk meningkatkan kuota gas untuk kalangan industri. “Saat ini, kalangan industri masih kekurangan pasokan gas dan hal ini akan berdampak besar ke industri. Gas itu tidak  bisa sebentar jalan sebentar mati. Pasokan gas mati sebentar saja itu dampaknya tidak hanya sehari, tapi panjang karena bisa berdampak ke kerusakan mesin,” ujarnya.

Achmad mengemukakan, harga gas untuk industri khususnya di Jawa Barat sebesar US$10,2 per mmbtu dari sebelumnya US$6,7 per mmbtu. Akibat kenaikan tersebut beberapa produk industri jadi latah dan menaikan harga produknya. Beberapa produk industri yang akan naik seperti sarung tangan karet dan diperkirakan kenaikannya antara 10%-15%. Dia mengatakan, sektor industri tidak akan berproduksi secara maksimal jika tidak ada kejelasan mengenai suplai gas. “Daya saing industri di dalam negeri akan semakin menurun jika suplai gas tidak terpenuhi dan hal ini harus segera diatasi pemerintah,” terangnya.

Dia juga mensinyalir, seretnya suplai gas dari PGN ke industri karena sebagian besar produksi gas Indonesia diekspor ke luar negeri. “Lebih 50% saya rasa gas kita dibuang ke luar negeri, padahal industri dalam negeri sangat kekurangan gas. Catatan saya produksi gas dalam negeri pada 2011 mencapai 7.788 mmscfd namun sebagian bahkan lebih dari 50% diekspor ke luar negeri,” ujarnya.

Padahal, lanjut Achmad, jika ketersediaan gas dari produksi per harinya melebihi kebutuhan dalam negeri. Bahkan walaupun terpenuhi domestic market obligation (DMO) pemerintah masih banyak mengekspor gas. Produksi gas dan minyak kita per hari mencapai 2,4 juta barel oil equivalen, sangat melimpah, normalnya DMO dahulu yang dipenuhi baru dipikirkan ekspornya keluar negeri bukan sebaliknya. Ini karena lebih dari 50% diekspor yang menjadi penyebab pasokan ke industri minim.

“Kami sudah memperjuangkan mendapat suplai gas, namun pemerintah tidak menanggapinya dengan serius. Banyaknya ekspor gas membuat suplai untuk industri dalam negeri menjadi minim. Minimnya pasokan gas untuk industri di dalam negeri akan menghambat realisasi investasi. Investor akan berpindah ke negara lain jika masalah energi menjadi penghambat investasi di Indonesia. Selama ini, banyak investor yang menanyakan masalah pasokan gas ketika ingin menanamkan modalnya,” ujarnya.

novi/maya/iwan/mohar/bari/munib

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…