BPMigas Temukan Potensi Minyak Sebanyak 3,69 Miliar Barel

NERACA

Jakarta – Indonesia memang bukan negara kaya akan minyak, bahkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMigas) mengumumkan cadangan minyak yang reserve (sudah ditemukan secara nyata) sebesar 4,3 miliar barel. Artinya, dengan tingkat konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional yang mencapai 40 juta kilo liter per tahun, maka cadangan minyak Indonesia akan habis dalam kurun waktu 10-12 tahun lagi. Tak heran, predikat negara net importir minyak terbesar di Asia Tenggara akan disandang Indonesia.

Namun, sedikit mendapatkan kabar gembira, bahwa BPMigas juga mengungkapkan cadangan minyak potensial diperkirakan mencapai 3,69 miliar barel. Tapi permasalahannya, cadangan minyak potensial ini belum ada yang mau mengeksplorasi atau digarap, karena harus menanggung resiko yang cukup tinggi.

“Karena ada beberapa berada di perairan laut dalam, dan untuk melakukannya pengeboran pun tidak bisa hanya sekali ngebor satu sumur, kemudian ditemukan minyaknya. Hal ini yang sering jadi pertimbangan para kontraktor, karena mereka tahu akan memakan biaya tinggi,” kata Kepala Dinas Humas BPMigas Alfonsus Rinto Pudyantoro di Kantor BPMigas, Jakarta, Kamis (31/5).

Rinto menjelaskan untuk menemukan minyak memerlukan lebih dari satu kali pengeboran, untuk satu lubang sumur saja biaya yang harus dikeluarkan mulai dari US$40 juta (Rp400 miliar). “Tergantung juga dari daerah yang mau dibor, terutama kedalamannya. Ada malah mencapai US$120 juta untuk 1 kali bor,” jelasnya, dengan mengibaratkan mencari sumber air untuk sumur.

Pastinya, lanjut Rinto, akan berbeda biaya pengeboran yang kedalamannya 5 km dengan 10 km, belum lagi peralatan yang akan digunakan. Dia mengatakan, mencari sumber minyak dengan pasti, bukan hal yang mudah dibutuhkan banyak data pendukung. Sering terjadi, mau eksplorasi minyak tapi yang ditemukan malah gas. Itulah sebabnya harus jelas kontrak kerjasama kontraktor lokal maupun asing.

“Karena, setiap pengeboran akan dihitung sebagai salah satu bagian cost recovery, tapi cost recovery baru akan dibayarkan apabila sumur tersebut menghasilkan minyak. Selama tidak menghasilkan minyak merupakan tanggung jawab kontraktor alias resikonya kontraktor,” terangnya.

Sempurnakan UU

Sebelumnya, Kepala BPMigas R. Priyono mengungkapkan Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi, masih perlu disempurnakan untuk perbaikan tata kelola industri hulu migas. Meski demikian, ketimbang UU Nomor 8 Tahun 1971 mengenai Pertamina, UU Migas terbaru telah jauh lebih baik. Dia menjelaskan, tahun 2001 pemerintah merubah UU Migas untuk memisahkan fungsi bisnis dan pemerintah yang sebelumnya berada di tangan Pertamina. Tujuannya, agar badan usaha milik negara (BUMN) lebih berkembang, industri hulu migas lebih tertata.

Untuk pengawasan kegiatan usaha hulu diserahkan ke BPMigas, pengawasan kegiatan hilir diserahkan ke BPHMigas, sementara Pertamina fokus sebagai operator. Hasilnya dapat dilihat dari beberapa parameter. Pertama, setelah masa UU Migas, trend penurunan produksi minyak dapat ditekan sebesar 3-5%, karena dilakukan berbagai usaha terkait pengelolaan reservoir yang lebih baik. Misalnya, penerapan teknoligi enhanced oil recovery (EOR).

Kedua, peningkatan produksi gas sejak tahun 2003. Seiring dengan peningkatan kebutuhan dalam negeri, gas untuk domestik meningkat sebanyak 200% dalam lima tahun terakhir. Bahkan pada tahun 2012, gas mulai digunakan untuk mendukung transportasi, yaitu sebagai bahan bakar BBG. “Ke depan, komitmen penjualan LNG ke luar negeri akan semakin dikurangi, agar pasokan kepada konsumen domestik dapat semakin ditingkatkan,” kata Priyono.

Indikator lain, seperti biaya operasi Indonesia lebih rendah dari rata-rata dunia, realisasi penerimaan negara selalu di atas target, serta realisasi investasi yang semakin meningkat. Tidak hanya itu, aset hulu migas milik Pemerintah meningkat, jumlah wilayah kerja (WK) Produksi bertambah, dan tingkat kandungan dalam negeri (TDKN) yang semakin meningkat.

Meski demikian, setelah satu dasawarsa diterbitkan, UU Migas perlu penyempurnaan untuk perbaikan di sektor hulu migas. Menurut Priyono, usulan perbaikan telah dikirimkan kepada DPR sejak awal tahun 2012. Lima pilar perbaikan, adalah memperbaiki sistem tata kelola dengan penguatan kelembagaan dan memperjelas peran masing-masing pemangku kepentingan.

Kemudian, meningkatkan penerimaan dan partisipasi daerah, pengaturan kekhususan industri hulu migas  untuk rezim fiskal dan perijinan, serta mengedepankan peran perusahaan migas milik Negara dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. “Kami juga mengusulkan pengaturan Petroleum Fund,” pungkas Priyono.

BERITA TERKAIT

Pertamina Patra Niaga Siap Salurkan BBM Subsidi Sesuai Kuota

NERACA Jakarta – Besaran kuota subsidi BBM dan LPG pada tahun 2024 telah ditetapkan. Didasarkan pada SK Kepala BPH Migas…

2024 Pertamina Siap Salurkan Subsidi Energi Tepat Sasaran

NERACA Jakarta – Pertamina siap menjalankan penugasan Pemerintah menyalurkan subsidi energi 2024 tepat sasaran. Melalui PT Pertamina Patra Niaga sebagai…

Pemurnian Nikel di Kalimantan Timur Terima Tambahan Pasokan Listrik - TINGKATKAN HILIRISASI

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong industri untuk meningkatkan nilai tambah melalui…

BERITA LAINNYA DI Industri

Pertamina Patra Niaga Siap Salurkan BBM Subsidi Sesuai Kuota

NERACA Jakarta – Besaran kuota subsidi BBM dan LPG pada tahun 2024 telah ditetapkan. Didasarkan pada SK Kepala BPH Migas…

2024 Pertamina Siap Salurkan Subsidi Energi Tepat Sasaran

NERACA Jakarta – Pertamina siap menjalankan penugasan Pemerintah menyalurkan subsidi energi 2024 tepat sasaran. Melalui PT Pertamina Patra Niaga sebagai…

Pemurnian Nikel di Kalimantan Timur Terima Tambahan Pasokan Listrik - TINGKATKAN HILIRISASI

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong industri untuk meningkatkan nilai tambah melalui…