Tantangan Perizinan Investasi

 

Oleh: Wignyo Parasian, Analis Ekonomi dan Keuangan Kemenkeu *)

 

Banyak negara khawatir dengan melihat kondisi perekonomian global belakangan yang semakin menunjukkan ketidakpastian. Ketidakpastian tersebut banyak bersumber dari isu perang dagang yang terjadi antara AS dan Tiongkok. Hal ini menyebabkan hampir semua negara mengalami perlambatan dalam ekonominya. Mewabahnya Virus Korona juga memberi tekanan tambahan pada dunia, terutama Tiongkok yang menjadi sumber penyebaran wabah tersebut.

Banyaknya aktivitas yang berhenti menyebabkan turunnya tingkat produktivitas dan berdampak pada potensi turunnya pertumbuhan ekonomi. Terlebih dengan besarnya kontribusi Tiongkok bagi perekonomian dunia, shock yang terjadi dalam ekonomi mereka akan memberi efek signifikan. Alhasil, ketidakjelasan pada ekonomi dunia menimbulkan kecemasan bagi beberapa negara.

Melambatnya tingkat pertumbuhan ekonomi Tiongkok menyebabkan beberapa perusahaan yang berdomisili di negara tersebut melakukan relokasi pabrik menuju negara berkembang. Tujuan utama dari relokasi yaitu agar barang yang diproduksi tidak dikenai tarif impor oleh AS. Walaupun Tiongkok dan AS telah menyetujui kesepakatan dagang, masih terdapat beberapa pengenaan tarif pada produk Tiongkok yang diimpor AS.

Sebaliknya, bagi negara berkembang, relokasi diharapkan dapat memberi dampak positif pada pertumbuhan ekonomi melalui investasi yang ditanamkan. Selain itu, transfer teknologi juga dapat dimanfaatkan oleh negara berkembang untuk meningkatkan produktivitas di masa mendatang. Sehingga, pemindahan pabrik yang dilakukan oleh beberapa perusahaan tersebut dapat menjadi win-win solution, baik bagi Tiongkok maupun negara berkembang yang dituju.

Namun, potensi ini gagal dimanfaatkan Indonesia karena tercatat tidak ada perusahaan yang merelokasi pabriknya ke Indonesia. Padahal negara tetangga, seperti Vietnam dan Thailand, justru mendapat berkah dari situasi yang terjadi. Nihilnya pemindahan pabrik menuju Indonesia disinyalir timbul akibat beberapa hambatan bisnis yang dirasakan investor. Hambatan ini tercantum dalam laporan Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business) 2020 yang dirilis oleh World Bank. Laporan tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 73, lebih rendah dibandingkan Vietnam dan Thailand yang menjadi negara utama tujuan relokasi investasi. Secara spesifik, terdapat dua aspek dimana Indonesia tertinggal cukup jauh dibandingkan kedua negara tersebut. Kedua aspek tersebut yakni terkait izin konstruksi (dealing with construction permits) serta pelaksanaan kontrak (enforcing contracts).

Isu pada izin konstruksi di Indonesia terletak pada prosesnya yang memakan banyak waktu. Laporan Kemudahan Berbisnis menyebutkan Indonesia membutuhkan 18 tahapan prosedur (Thailand 14, Vietnam 10) serta perizinan yang baru terselesaikan dalam waktu 200 hari (Thailand 113 hari, Vietnam 166 hari). Lamanya penyelesaian perizinan ini tentu mengakibatkan tambahan biaya investasi yang harus dikeluarkan. Ini membuat para investor cenderung berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya ke Indonesia.

Terkait pelaksanaan kontrak, isu yang dihadapi Indonesia terletak pada biaya yang diperlukan terkait proses peradilan. Laporan Kemudahan Berbisnis menyatakan bahwa proses peradilan di Indonesia mengeluarkan biaya hingga 70 persen dari total klaim yang dilaporkan (Thailand 16 persen, Vietnam 29 persen). Biaya ini terdiri dari biaya pengacara, peradilan, serta pelaksanaan kontrak. Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu memangkas biaya yang tidak perlu akibat banyaknya regulasi serta kepatuhan yang kaku terhadap aturan formal (red tape costs).

Kedua aspek ini bermuara pada satu masalah yang paling krusial dari investasi, yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengurus izin berusaha. Pemerintah sudah berusaha mengatasinya melalui pembukaan Pelayanan Online Single Submission (OSS), tetapi masih belum mampu mempercepat proses perizinan. Ditambah lagi dengan pengurusan analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang juga memakan waktu lama. Melihat hal tersebut, wajar apabila tidak ada yang merelokasi pabriknya ke Indonesia.

Undang-Undang (UU) Tenaga Kerja juga menjadi masalah lain dalam dunia investasi. Dalam UU 13 tahun 2013 terdapat aturan pemberian pesangon, dimana pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan masa kerja kurang dari setahun akan mendapat pesangon setara upah satu bulan. Sementara itu, yang sudah bekerja hingga delapan tahun wajib menerima pesangon sebesar sembilan kali upah. Aturan ini cukup memberatkan para investor karena biaya yang dikeluarkan untuk upah karyawan relatif tinggi.

Sebagai komparasi, upah buruh di Vietnam sekitar 50 persen lebih rendah daripada Indonesia dengan jam kerja lebih lama 8 jam setiap minggunya. Dengan produktivitas yang lebih tinggi, masuk akal jika investor lebih memilih Vietnam sebagai negara tujuan relokasi. Alhasil, diperlukan revisi UU tenaga kerja serta formulasi dalam penetapan upah.

Pemerintah mencoba memecahkan isu ini dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law. RUU ini bertujuan untuk menghilangkan banyaknya aturan dan regulasi yang menghambat perizinan, termasuk pengurusan AMDAL. Namun masih terdapat pihak yang kontra untuk menyetujui diberlakukannya Omnibus Law, terutama terkait aspek lingkungan. Kelonggaran pada AMDAL ditakutkan dapat menurunkan mutu pengelolaan serta pengawasan pada lingkungan guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Padahal dengan kondisi saat ini, kualitas lingkungan di Indonesia telah menunjukkan penurunan, apalagi di kota-kota besar. Sehingga, RUU tersebut masih perlu ditelaah lebih jauh guna meminimalisir dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.

Masalah perizinan sudah menjadi momok yang menghambat potensi investasi masuk ke Indonesia. Melihat hal tersebut, penulis merekomendasikan bahwa Pemerintah sebaiknya tidak perlu berfokus pada pembuatan RUU Omnibus Law. Apabila RUU ini digarap secara tergesa-gesa, besar kemungkinan hasilnya tidak maksimal, sehingga Omnibus Law lebih baik dijadikan sebagai target jangka panjang. Pemerintah selayaknya lebih realistis dengan memikirkan kebijakan dengan jangka lebih pendek, misalnya melanjutkan pembangunan infrastruktur serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Terlebih, dengan keunggulan berupa besarnya pangsa pasar yang dimiliki, Indonesia masih tetap dapat memanfaatkannya sebagai daya tarik bagi para investor. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…