Solusi Atasi Banjir

Solusi Atasi Banjir 
Seperti yang diterapkan di Belanda, sistem polder adalah membuat tanggul mengelilingi kota agar air tidak kemasukan air. Sedangkan air yang di dalam tanggul dikumpulkan kemudian dipompa ke luar dan dialirkan ke laut.
Neraca
Sejumlah pakar hidrologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) memandang bahwa penerapan sistem polder dapat menjadi solusi utama penanggulangan banjir di DKI Jakarta, selain normalisasi sungai dan pembersihan drainase. "Saya kira satu-satunya mungkin ya, cara penanggulangan banjir di Jakarta ya dengan sistem polder itu," kata pakar hidrologi yang juga pengajar Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL) Fakultas Teknik UGM Prof. Bambang Triatmodjo saat jumpa pers di Kampus UGM, Yogyakarta.
Pembangunan sistem polder antara lain seperti yang telah diterapkan di Perumahan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Sistem polder itu, kata dia, mampu membuat perumahan elit yang berada minus 2 meter di bawah permumakaan air laut tetap terlindungi dari potensi banjir.
Oleh sebab itu, menurut Bambang, Pemda DKI Jakarta perlu menempatkan sistem polder yang merupakan kombinasi tanggul dan pompa itu di sejumlah titik menyesuaikan dengan peta genangan dari Dinas PU setempat.
Menurut dia, tanpa sistem itu yang juga disertai dengan normalisasi sungai dan pembersihan drainase, maka potensi banjir di Jakarta sulit dicegah. Apalagi jika curah hujan sangat tinggi seperti pada 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020 yang mencapai 377 milimeter per hari. "Jadi polder saya kira satu-satunya jalan untuk solusi (banjir) di Jakarta," kata dia.
Pakar teknik sumber daya air UGM, Prof. Budi Santoso menjelaskan seperti yang diterapkan di Belanda, sistem polder adalah membuat tanggul mengelilingi kota agar air tidak kemasukan air. Sedangkan air yang di dalam tanggul dikumpulkan kemudian dipompa ke luar dan dialirkan ke laut.
Menurut dia, sistem itu biasanya diterapkan di sejumlah tempat dengan ketinggian muka air tanah lebih rendah dibandingkan muka air laut.
Di Jakarta, penurunan permukaan tanah terus terjadi. Hingga 2013 berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM sudah turun 40 meter dari asalnya, khususnya di Jakarta bagian utara. "Jadi kita harus tahu kenapa tanah di Jakarta itu tenggelam karena suplai air bersih di Jakarta kurang dibandingkan kebutuhan karena banyak hotel banyak apartemen mereka memompa air tanah dari bawah ke atas, maka tanah ke bawah," kata dia.
Sementar itu, terkait langkah normalisasi, Budi menyebutkan bahwa hal ini dapat dilakukan sebagai salah satu langkah untuk mengatasi banjir. Untuk mendukung upaya normalisasi saluran drainase harus lebih diperkuat strukturnya dengan beton agar tahan erosi.
Meski demikian, pakar hidrologi UGM dari Fakultas Teknik UGM Prof Nur Yuwono mengatakan bahwa pembangunan sistem polder bukan hal yang mudah. Pasalnya, selain biayanya tidak murah, pembuatan tanggul sebagai unsur pendukung sistem itu sulit diwujudkan di perkotaan.
Sistem polder yang diterapkan di Perumahan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, menurut dia, dahulu juga sempat dianggap sebagai biang timbulnya banjir karena berbeda dengan kawasan lainnya, perumahan itu tidak terkena banjir. "Tidak semua bisa dibuat tanggul. Di kota tidak mudah membangun tanggul," kata Nur.
Di lain kesempatan, Gubernur Jawa Barat (Jabar) M Ridwan Kamil atau Emil menyatakan Presiden RI Joko Widodo menyambut baik usulan pihaknya terkait penanganan bencana yakni agar dibuat badan koordinasi antarwilayah supaya penanganan bencana bisa berjalan cepat dan tepat. "Agar tidak saling lempar, tapi dikelola oleh lembaga resmi yang nanti mengelola anggaran juga. Contohnya perlu membuat embung di Bogor, DKI Jakarta juga bisa menyumbang. Itu usulan saya ke Pak Jokowi dan beliau mengapresiasi, tapi keputusan ada di beliau," kata Gubernur Ridwan Kamil.
Ridwan Kamil pun menghadiri rapat penanganan pascabencana banjir dan longsor di Istana Merdeka, Jakarta, dan rapat tersebut dipimpin langsung oleh Presiden RI Joko Widodo. "Rapat tadi itu, kita bersama-sama memikirkan secara komprehensif. Jadi, tidak perintah, ini deadline tanggal segini, tidak. Tapi, betul-betul semuanya saling mendengarkan tukar informasi mana yang saat ini harus dikerjakan," kata Emil.
Lebih lanjut ia mengatakan pembangunan bendungan Sukamahi dan Ciawi di Bogor akan dipercepat. "Bendungan akan dipercepat dan bendungan baru juga akan dibangun. Mudah-mudahan bisa mengantisipasi baik di daerah Banten, Jabar, atau DKI Jakarta," kata Emil.
Kawasan Resapan 
Sedangkan Peneliti senior Southeast Asian Region Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) Dr. Ir. Supriyanto mengatakan Jakarta perlu memperbanyak kawasan resapan untuk menanggulangi banjir. "Kawasan resapan ini penting sekali," kata mantan ketua gerakan penghijauan peduli banjir Jakarta tahun 2003-2009 itu melalui sambungan telepon kepada ANTARA di Jakarta.
Ia menyebutkan bahwa penyebab banjir di Jakarta, terutama pada awal Tahun Baru, dipengaruhi oleh curah hujan dan minimnya daerah resapan. "Curah hujan yang kemarin itu, Bogor itu hujannya kecil sebenarnya. Katulampa saja baru siaga 3. Tapi Jakarta sudah mulai banjir karena intensitas curah hujannya yang tinggi sampai mencapai 377 milimeter per hari. Itu luar biasa ketinggiannya," katanya.
Kemudian terkait daerah resapan, ia mengakui bahwa sejak zaman penjajahan Belanda Jakarta sudah dilanda banjir. Namun, saat itu Jakarta masih memiliki banyak rawa sehingga sebagian besar air hujan masuk ke daerah rawa.
Namun, saat ini sebagian besar rawa-rawa tersebut sudah diurug dan menjadi perumahan. Oleh karena itu air hujan banyak mengalir ke jalan raya. Kemudian, ia juga menekankan bahwa pemerintah daerah perlu memerhatikan koefisien bangunan terhadap lahan.
Ia menyebutkan luas bangunan di Jakarta saat ini, terutama di bagian utara, mencapai 80 persen dibandingkan dengan 20 persen total kawasan resapan. "Kalau semakin ke selatan semakin tinggi (kawasan resapannya). Ke Depok itu bangunannya lebih sedikit. Jadi masih banyak lahan-lahan penyerapan," katanya.
Oleh karena itu, ia menilai bahwa upaya naturalisasi yang direncanakan Gubernur DKI untuk mengatasi banjir Jakarta merupakan gagasan yang cukup baik. "Karena naturalisasi itu pada dasarnya memperluas kawasan resapan, supaya air masuk ke bumi. Untuk siapa? Untuk orang-orang Jakarta yang perlu sumur," katanya.
"Karena itu harus dibuat sumur resapan sebanyak-banyaknya. Terus danau yang ada dihidupkan semuanya," katanya lebih lanjut.
Ia mengatakan setu atau danau di Jakarta saat ini sudah banyak berkurang. Karena itu kapasitas setu-setu yang tersisa untuk menyerap air akibat hujan deras juga semakin berkurang. "Setu di Jakarta dulu ada 284. Sekarang tinggal 108 karena diurug jadi perumahan," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah Jakarta perlu benar-benar serius mengoptimalkan fungsi danau guna meminimalkan dampak akibat hujan lebat. Ia juga menyarankan pemerintah DKI untuk membuat aturan agar setiap rumah menyediakan sumur resapan. (ant)

 

Seperti yang diterapkan di Belanda, sistem polder adalah membuat tanggul mengelilingi kota agar air tidak kemasukan air. Sedangkan air yang di dalam tanggul dikumpulkan kemudian dipompa ke luar dan dialirkan ke laut.


Neraca


Sejumlah pakar hidrologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) memandang bahwa penerapan sistem polder dapat menjadi solusi utama penanggulangan banjir di DKI Jakarta, selain normalisasi sungai dan pembersihan drainase. "Saya kira satu-satunya mungkin ya, cara penanggulangan banjir di Jakarta ya dengan sistem polder itu," kata pakar hidrologi yang juga pengajar Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL) Fakultas Teknik UGM Prof. Bambang Triatmodjo saat jumpa pers di Kampus UGM, Yogyakarta.

Pembangunan sistem polder antara lain seperti yang telah diterapkan di Perumahan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Sistem polder itu, kata dia, mampu membuat perumahan elit yang berada minus 2 meter di bawah permumakaan air laut tetap terlindungi dari potensi banjir.

Oleh sebab itu, menurut Bambang, Pemda DKI Jakarta perlu menempatkan sistem polder yang merupakan kombinasi tanggul dan pompa itu di sejumlah titik menyesuaikan dengan peta genangan dari Dinas PU setempat.

Menurut dia, tanpa sistem itu yang juga disertai dengan normalisasi sungai dan pembersihan drainase, maka potensi banjir di Jakarta sulit dicegah. Apalagi jika curah hujan sangat tinggi seperti pada 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020 yang mencapai 377 milimeter per hari. "Jadi polder saya kira satu-satunya jalan untuk solusi (banjir) di Jakarta," kata dia.

Pakar teknik sumber daya air UGM, Prof. Budi Santoso menjelaskan seperti yang diterapkan di Belanda, sistem polder adalah membuat tanggul mengelilingi kota agar air tidak kemasukan air. Sedangkan air yang di dalam tanggul dikumpulkan kemudian dipompa ke luar dan dialirkan ke laut.

Menurut dia, sistem itu biasanya diterapkan di sejumlah tempat dengan ketinggian muka air tanah lebih rendah dibandingkan muka air laut.

Di Jakarta, penurunan permukaan tanah terus terjadi. Hingga 2013 berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM sudah turun 40 meter dari asalnya, khususnya di Jakarta bagian utara. "Jadi kita harus tahu kenapa tanah di Jakarta itu tenggelam karena suplai air bersih di Jakarta kurang dibandingkan kebutuhan karena banyak hotel banyak apartemen mereka memompa air tanah dari bawah ke atas, maka tanah ke bawah," kata dia.

Sementar itu, terkait langkah normalisasi, Budi menyebutkan bahwa hal ini dapat dilakukan sebagai salah satu langkah untuk mengatasi banjir. Untuk mendukung upaya normalisasi saluran drainase harus lebih diperkuat strukturnya dengan beton agar tahan erosi.

Meski demikian, pakar hidrologi UGM dari Fakultas Teknik UGM Prof Nur Yuwono mengatakan bahwa pembangunan sistem polder bukan hal yang mudah. Pasalnya, selain biayanya tidak murah, pembuatan tanggul sebagai unsur pendukung sistem itu sulit diwujudkan di perkotaan.

Sistem polder yang diterapkan di Perumahan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, menurut dia, dahulu juga sempat dianggap sebagai biang timbulnya banjir karena berbeda dengan kawasan lainnya, perumahan itu tidak terkena banjir. "Tidak semua bisa dibuat tanggul. Di kota tidak mudah membangun tanggul," kata Nur.

Di lain kesempatan, Gubernur Jawa Barat (Jabar) M Ridwan Kamil atau Emil menyatakan Presiden RI Joko Widodo menyambut baik usulan pihaknya terkait penanganan bencana yakni agar dibuat badan koordinasi antarwilayah supaya penanganan bencana bisa berjalan cepat dan tepat. "Agar tidak saling lempar, tapi dikelola oleh lembaga resmi yang nanti mengelola anggaran juga. Contohnya perlu membuat embung di Bogor, DKI Jakarta juga bisa menyumbang. Itu usulan saya ke Pak Jokowi dan beliau mengapresiasi, tapi keputusan ada di beliau," kata Gubernur Ridwan Kamil.

Ridwan Kamil pun menghadiri rapat penanganan pascabencana banjir dan longsor di Istana Merdeka, Jakarta, dan rapat tersebut dipimpin langsung oleh Presiden RI Joko Widodo. "Rapat tadi itu, kita bersama-sama memikirkan secara komprehensif. Jadi, tidak perintah, ini deadline tanggal segini, tidak. Tapi, betul-betul semuanya saling mendengarkan tukar informasi mana yang saat ini harus dikerjakan," kata Emil.

Lebih lanjut ia mengatakan pembangunan bendungan Sukamahi dan Ciawi di Bogor akan dipercepat. "Bendungan akan dipercepat dan bendungan baru juga akan dibangun. Mudah-mudahan bisa mengantisipasi baik di daerah Banten, Jabar, atau DKI Jakarta," kata Emil.


Kawasan Resapan 


Sedangkan Peneliti senior Southeast Asian Region Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) Dr. Ir. Supriyanto mengatakan Jakarta perlu memperbanyak kawasan resapan untuk menanggulangi banjir. "Kawasan resapan ini penting sekali," kata mantan ketua gerakan penghijauan peduli banjir Jakarta tahun 2003-2009 itu melalui sambungan telepon kepada ANTARA di Jakarta.

Ia menyebutkan bahwa penyebab banjir di Jakarta, terutama pada awal Tahun Baru, dipengaruhi oleh curah hujan dan minimnya daerah resapan. "Curah hujan yang kemarin itu, Bogor itu hujannya kecil sebenarnya. Katulampa saja baru siaga 3. Tapi Jakarta sudah mulai banjir karena intensitas curah hujannya yang tinggi sampai mencapai 377 milimeter per hari. Itu luar biasa ketinggiannya," katanya.

Kemudian terkait daerah resapan, ia mengakui bahwa sejak zaman penjajahan Belanda Jakarta sudah dilanda banjir. Namun, saat itu Jakarta masih memiliki banyak rawa sehingga sebagian besar air hujan masuk ke daerah rawa.

Namun, saat ini sebagian besar rawa-rawa tersebut sudah diurug dan menjadi perumahan. Oleh karena itu air hujan banyak mengalir ke jalan raya. Kemudian, ia juga menekankan bahwa pemerintah daerah perlu memerhatikan koefisien bangunan terhadap lahan.

Ia menyebutkan luas bangunan di Jakarta saat ini, terutama di bagian utara, mencapai 80 persen dibandingkan dengan 20 persen total kawasan resapan. "Kalau semakin ke selatan semakin tinggi (kawasan resapannya). Ke Depok itu bangunannya lebih sedikit. Jadi masih banyak lahan-lahan penyerapan," katanya.

Oleh karena itu, ia menilai bahwa upaya naturalisasi yang direncanakan Gubernur DKI untuk mengatasi banjir Jakarta merupakan gagasan yang cukup baik. "Karena naturalisasi itu pada dasarnya memperluas kawasan resapan, supaya air masuk ke bumi. Untuk siapa? Untuk orang-orang Jakarta yang perlu sumur," katanya.

"Karena itu harus dibuat sumur resapan sebanyak-banyaknya. Terus danau yang ada dihidupkan semuanya," katanya lebih lanjut.

Ia mengatakan setu atau danau di Jakarta saat ini sudah banyak berkurang. Karena itu kapasitas setu-setu yang tersisa untuk menyerap air akibat hujan deras juga semakin berkurang. "Setu di Jakarta dulu ada 284. Sekarang tinggal 108 karena diurug jadi perumahan," katanya.

Oleh karena itu, pemerintah Jakarta perlu benar-benar serius mengoptimalkan fungsi danau guna meminimalkan dampak akibat hujan lebat. Ia juga menyarankan pemerintah DKI untuk membuat aturan agar setiap rumah menyediakan sumur resapan. (ant)

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…