Kebijakan Kawasan Hutan Menghambat Reforma Agraria

NERACA

Jakarta - Reforma agraria yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, masih banyak menghadapi hambatan. Salah satunya adalah kebijakan kawasan hutan yang justru kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan produktivitas lahan.

Dalam media briefing Simposium Nasional Reforma Agraria Implies Reforma Kehutanan, Dr Sudarsono Soedomo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB mengatakan, kebijakan kawasan  hutan masih bertahan dengan wajah lama dengan menguasai dua pertiga daratan sebagai kawasan hutan dan hanya mengalokasikan sepertinya sebagai areal penggunaan lain.

Lebih lanjut, klaim kawasan hutan merupakan problem utama dari persoalan tanah di Indonesia. Jika kebijakan itu terus dipertahankan, Indonesia tidak mandiri secara pangan.

“Dengan penduduk 260 juta dan hanya mengandalkan sepertiga kawasan untuk  memenuhi kebutuhan pangan sangat berbahaya. Indonesia tidak akan pernah mencapai swasembada pangan  terus tergantung pada impor pangan,” kata Sudarsono.

Di sisi lain, kata Sudarsono, penguasaan lahan kehutanan secara berlebihan tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Terbukti, label hutan sejahterakan masyarakat, selama ini hanya menjadi jargon. Sebagian besar desa yang berada di kawasan hutan tetap miskin.

“Sebaliknya dari sisi kontribusi terhadap PDB (produk domestik bruto), non kawasan hutan yang luasnya hanya 35% justru  berkontribusi 99% lebih, sedangkan kawan hutan hanya berkontribusi kurang dari 1%,” ucap Sudarsono.

Melihat hal ini, Sudarsono  menyarankan agar kategori penggunaan tanah sebaiknya mengikuti ketentuan tata ruang yang terbagi dalam kawasan budidaya dan kawasan lindung. Ini untuk mengurangi praktik negara dalam negara dan memberi kepastian bagi masyarakat.

Seharusnya, hutan konservasi dan hutan lindung tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung dan tidak diganggu.

“Sebaliknya, istilah kawasan hutan produksi dihapuskan  dan masukkan tanahnya sebagai bagian dari kawasan budidaya agar dapat digunakan sesuai manfaat terbaiknya,” ucap Sudarsono

Maka, Sudarsono berpendapat klaim kawasan hutan yang dilakukan KLHK selama ini telah menciptakan piranti diskriminasi yang menghasilkan ketimpangan. Akibatnya, masyarakat sulit  melakukan proses produksi yang effisien yang berkelanjutan karena khawatir dengan klaim kawasan  hutan tersebut.

Karena itu, penataan regulasi terkait reforma agraria dengan  upaya  mengubah perombakan  dan  pembangunan  struktur  sosial masyarakat  melalui  penataan  kembali  struktur  agraria menjadi sangat penting untuk dikedepankan.

Pernyataan senada dikemukakan Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Hariadi Kartodihardjo.  Hanya saja Hariadi mengingatkan pemerintah perlu berhati-hati agar jangan sampai penataan regulasi  menimbulkan masalah baru seperti korupsi institusional.

“Omnibus Law, ketimpangan penguasaan antara kawasan hutan dan bukan kawasan hutan, ketidakpastian kawasan hutan dan implikasinya terhadap aspek sosial, ekonomi dan ekologi harus benar-benar dikawal,” kata Prof Hariadi.

Ketua Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA)  yang juga dekan Fakultas Kehutanan IPB Rinekso Soekmadi menambahkan,  ketika agaria direformasi,  sektor kehutanan seharusnya ikut direformasi karena mendominasi agraria.

Hal ini karena berbagai persoalan lahan, khususnya klaim kawasan hutan masih mendominasi konflik masyarakat di berbagai daerah.

“Berbagai perbaikan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan harus dilakukan agar reforma agraria kedepan mampu  mereduksi ketimpangan   struktur   agraria   yang   dipengaruhi   kehutanan. “ papar Rinekso.

Sebelumnya, diakhir tahun 2019, Ketua Komnas HAM, Taufan Damanik mengatakan bahwa konflik agraria mencerminkan keadaan tak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidup dari tanah dan kekayaan alam. Potensi meluas dan massif.

Berdasarkan data Komnas HAM dalam lima tahun terakhir, pengaduan masyarakat kepada komisi ini menunjukkan, konflik agraria jadi masalah mendasar dan penyelesaian mendesak . Luasan konflik mencapai 2.713.369 hektar dan tersebar di 33 provinsi di berbagai sektor. Tercatat, 42,3% atau 48,8 juta jiwa desa berada dalam kawasan hutan.

Konflik terjadi antara lain, sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur, barang milik negara (BMN), pertambangan, kehutanan dan lingkungan.

 

 

BERITA TERKAIT

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

Permendag 36/2023 Permudah Impor Barang Kiriman Pekerja Migran Indonesia

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor memberikan kemudahan serta…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

Permendag 36/2023 Permudah Impor Barang Kiriman Pekerja Migran Indonesia

NERACA Jakarta – Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor memberikan kemudahan serta…