HET Elpiji dan Mekanisme Pasar

Oleh : Sofyano Zakaria

Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi)

Langkah Pemerintah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah, baik Pemkab maupun Pemkot untuk menentukan harga eceran tertinggi (HET) elpiji bersubsidi ukuran tabung 3 kilogram, dapat dipahami publik sebagai bentuk ketidakpedulian pemerintah yang saat ini berkuasa terhadap kehidupan rakyat di daerah.

Karena, jika Pemkab maupun Pemkot yang menetapkan HET elpiji 3 kg, maka pasti HET elpiji di satu daerah akan berbeda dengan di daerah lain. Dan sudah bisa dipastikan, di daerah yang jauh dari pusat kota, HET yang ditetapkan pasti akan lebih tinggi dibandingkan HET pada kota Provinsi. Padahal, masyarakat di suatu kabupaten yang jauh dari ibukota provinsi, kemampuan ekonomi dan daya belinya jauh di bawah masyarakat perkotaan.

Di sisi lain, memberikan kewenangan penentuan HET elpiji 3 kg kepada Pemda, merupakan pengulangan sejarah HET minyak tanah. Pada dasarnya kebijakan ini hanya akan menguntungkan pelaku bisnis elpiji saja, tetapi tidak bagi masyarakat.

HET elpiji 3 kg yang ditetapkan oleh Pemda, bisa dipahami publik sebagai bentuk terselubung dari penyerahan kepada mekanisme pasar. Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap undang-undang yang ada, yaitu UU Migas.

Tak bisa tidak, Pemda pasti akan menetapkan harga eceran tertinggi berdasarkan jarak lokasi keberadaan stasiun pengisian bahanbakar elpiji (SPBE) dengan lokasi masyarakat.

Buat daerah seperti kabupaten yang hanya terdapat satu atau dua SPBE, pasti akan terdapat ongkos angkut dan margin agen serta pangkalan yang tinggi. Des, sudah pasti harga itu akan dibebankan lagi ke rakyat. Ini berarti pemerintah lepas tangan dan tidak bertanggung jawab terhadap biaya distribusi padahal elpiji bersubsidi mendapat subsidi yang berdasarkan persetujuan dari para wakil rakyat.

Melihat sejarah HET minyak tanah yang ditetapkan oleh masing masing Pemda, maka HET elpiji juga berpotensi ditetapkan berdasarkan hasil lobbi para pelaku bisnis elpiji. Namun yang dirugikan adalah rakyat pengguna elpiji tersebut.

Selain itu,  bisa dipastikan akan terjadi HET antara kabupaten yang berdekatan akan berbeda. Kondisi ini bakal berdampak pada terjadinya pelarian alokasi elpiji dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya.

Kami sangat yakin, dalam transaksi jual beli gas elpiji bersubsidi di masyarakat nantinya, tidak akan memakai nilai sesuai HET elpiji yang ditetapkan Pemda. Artinya tetap saja masyarakat harus membayar elpiji diatas HET yang berlaku. Hal ini telah terbukti pada HET minyak tanah yang dahulu ditetapkan juga oleh Pemda.

Penentuan harga jual elpiji bersubsidi ukuran tabung 3 kilogra harusnya diperlakukan sama dengan penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang harganya merata sama di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jika saat ini di daerah-daerah terdapat elpiji bersubsidi 3 kg yang dijual di masyarakat dengan harga di atas HET yang ditetapkan pemerintah, itu penyebabnya karena di daerah tersebut belum dibangun SPBE walau konversi minyak tanah ke elpiji telah selesai di daerah tersebut. Hal ini menyebabkan pasokan elpiji di wilayah tersebut dikirim dari daerah yang jauh, akibatnya ongkos angkutnya menjadi tinggi. Hal ini membuat para pelaku bisnis elpiji memungut ganti ongkos tersebut dengan menjual elpiji jauh di atas HET yang berlaku.

Oleh karena itu, sudah seharusnya Pemerintah dan DPR mendesak Pertamina agar segera membangun SPBE di setiap Kabupaten yang telah terkonversi. Bukan hanya itu, Pertamina juga harus membuat kebijakan agar setidaknya pada tiap kabupaten terdapat 3 SPBE dengan kapasitas sesuai kebutuhan daerah tersebut.

Kebijakan membangun hanya satu SPBE dengan kapasitas sekitar 40 ton/hari di tiap kabupaten, sebaiknya dicabut dengan menyiapkan minimal 3 SPBE berkapasitas sedang di tiap kabupaten. Karena hal ini akan membuat biaya investasi tidak terlalu tinggi dibanding jika harus membangun SPBE dengan kapasitas besar.

Kami berharap Presiden dan DPR-RI mengambil sikap agar tidak keluar ketentuan yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan HET elpiji 3 kg. Karena jika kebijakan itu diambil juga, maka jelas sudah, pemerintah memang tidak peduli pada rakyatnya.

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…