Oleh: Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Tulisan ini dilatarbelakangi oleh musibah kapal tenggelam yang terjadi beberapa hari lalu. Kapal yang nahas itu adalah KM Mitra Sejahtera IX. Ia tenggelam di perairan Makassar pada 23 November sekitar pukul 07.00 Waktu Indonesia Timur (WIT). Seratus empat puluh tujuh peti kemas yang diangkutnya terapung tak jauh dari lokasi kejadian, tepatnya di posisi 05º, 56ꞌ, 500Ë/118º, 34ꞌ, 000Ë. Menurut manajemen PT Samudera Raya Indo Lines, operator KM Mitra Sejahtera IX, kapal tersebut sudah dalam kondisi miring atau listing. Lalu, angin yang cukup kencang yang berhembus di sekitar perairan Makassar belakangan ini mengandaskannya. Tidak jelas apakah kapal sudah listing saat meninggalkan pelabuhan muat di Surabaya, Jawa Timur, atau miring di tengah pelayaran.
Sebelumnya, seperti yang diberitakan oleh media, beberapa kapal juga telah celaka dalam kurun setahun terakhir. Salah satunya adalah MV Nur Allya yang sampai kini tidak jelas keberadaannya pun sebab raibnya. Ada yang berspekulasi kapal ini tenggelam akibat proses likuifaksi yang terjadi pada muatan biji nikel yang diangkutnya sehingga kapal kehilangan stabilitas. Ada pula yang menyebut bahwa kapal yang dimiliki oleh PT Gurita Lintas Samudera itu dirompak. Parahnya, pemerintah pun tak punya penjelasan yang bisa menghentikan semua dugaan yang ada. Barangkali nanti. Entahlah.
Begitu seringnya kejadian kapal tenggelam di Indonesia sehingga kita bertanya-tanya: bagaimana sebenarnya kondisi umum kelaiklautan armada nasional? Atau, seperti apa penerapan aturan keselamatan pelayaran atas kapal-kapal nasional? Untuk pertanyaan pertama, saya hanya ingin mengungkapkan fakta bahwa dari total jumlah armada nasional yang lebih dari 25.000 unit itu (klaim INSA) sebagian besar dari padanya berusia di atas 15 tahun. Memang, kendati berusia tua, jika kapal dirawat dengan baik, performance-nya masih bisa diandalkan mencari duit buat pemiliknya.
Namun, dari berbagai kecelakaan kapal yang terjadi, penulis menangkap kesan bahwa kapal yang bernasib sial itu tidak terawat dengan baik. Ada alat pemadam api yang tidak bekerja saat kebakaran. Ada kapal yang tidak memiliki perangkat radio. Ada plat yang sudah keropos. Dan sebagainya. Kendati demikian, dari sisi sertifikat alat-alat keselamatan, kapal-kapal seperti itu biasanya memiliki dokumen yang masih berlaku. Bingungkan.
Sementara, jawaban pertanyaan kedua seperti ini. Seringkali kantor Syahbandar tidak konsisten dalam penerapan aturan keselamatan pelayaran. Terlalu sering memberikan dispensasi untuk berbagai kekurangan yang ditemukan pada sebuah kapal. Praktik ini tidak salah. Syahbandar memberikan dispensasi dengan catatan begitu sampai di pelabuhan tujuan segala temuan di-rectify (diperbaiki). Sayangnya, begitu sampai di pelabuhan tujuan, Syahbandar setempat kembali memberikan dispensasi. Begitu terus hingga kapal yang didispensasi tenggelam atau terbakar di tengah pelayaran.
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Usai lebaran Idul Fitri 1445 H masyarakat Indonesia mulai menjalankan aktifitas kembali seperti biasanya…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…