Industri Manufaktur Masih Jadi Kontributor Terbesar Nilai Ekspor

NERACA

Jakarta – Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan, industri manufaktur masih menjadi kontributor paling besar terhadap capaian nilai ekspor nasional. Pada periode Oktober 2019, industri pengolahan mencatatkan nilai ekspornya sebesar USD11,34 miliar atau menyumbang 75,95 persen dari total ekspor nasional yang menembus hingga USD14,93 miliar.

“Sudah banyak produk manufaktur kita yang kompetitif di kancah global. Oleh karena itu, Kemenperin dan Kementerian Perdagangan akan terus berkoordinasi untuk memfasilitasi akses dan kemudahan bagi pelaku industri kita supaya bisa memperluas pasar ekspor,” tuturnya dalam keterangan resmi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2019 mengalami surplus sebesar USD161 juta. Surplus tersebut karena nilai ekspor mencapai USD14,93 miliar dan impor USD14,77 miliar. Sementara itu, ekspor nonmigas menyumbang hingga 93,8 persen dari total ekspor nasional di bulan ke-10 tahun ini, dan sektor nonmigas mencatatkan surplus sebesar USD990,5 juta.

Berikutnya, sepanjang Januari-Oktober 2019, nilai ekspor dari produk industri pengolahan menembus hingga USD105,1 miliar atau menyumbang 75,56 persen dari total ekspor nasional yang mencapai USD139,1 miliar. Sedangkan, ekspor nonmigas berkontribusi sebesar 92,56 persen terhadap total ekspor nasional pada Januari-Oktober 2019.

Adapun 10 produk yang berperan besar terhadap capaian nilai ekspor di periode yang sama tersebut, yakni bahan bakar mineral; lemak dan minyak hewan/nabati; mesin/peralatan listrik; kendaraan dan bagiannya; serta besi dan baja. Selanjutnya, perhiasan/permata; karet dan barang dari karet; mesin-mesin/pesawat mekanik; serta pakaian jadi bukan rajutan, serta kertas/karton.

Mengenai lokasi tujuan utama ekspor Indonesia, Tiongkok tetap sebagai negara yang terbesar nilainya, yaitu mencapai USD21,12 miliar (16,40 persen), diikuti Amerika Serikat dengan nilai USD14,53 miliar (11,29 persen), dan Jepang sebesar USD11,47 miliar (8,91 persen).

“Pemerintah terus berupaya memperluas akses pasar ekspor untuk industri manufaktur. Misalnya kita perluas pasar ekspor ke negara-negara nontradisional seperti di Asia Pasifik, Timur Tengah dan Afrika,” sebut Menperin.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian sedang fokus menggenjot kinerja lima sektor manufaktur di dalam negeri untuk siap memasuki era industri 4.0 dan menjadi penopang terhadap pertumbuhan ekonomi nasional ke depannya. Kelima sektor tersebut, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, kimia, otomotif, serta elektronika.

“Sektor-sektor itu dipilih berdasarkan evaluasi dampak ekonomi dan kriteria kelayakan implementasi yang mencakup kontribusi PDB, perdagangan, potensi dampak terhadap industri lain, besaran investasi, dan kecepatan penetrasi pasar,” kata Sekretaris Jenderal Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono pada acara Workshop Pendalaman Kebijakan Industri dengan Wartawan di Padang, Selasa (8/10).

Sekjen Kemenperin menjelaskan, lima sektor manufaktur yang menjadi andalan tersebut, dinilai mampu memberikan kontribusi signfikan hingga lebih dari 60 persen terhadap share ke PDB, nilai ekspor, dan penyerapan tenaga kerja. “Sehingga kalau kelima sektor ini kita garap bersama-sama, tentunya akan men-trigger pertumbuhan ekonomi kita lebih signifikan,” tuturnya.

Misalnya, industri makanan dan minuman, dalam kurun lima tahun terakhir kinerjanya konsisten positif melampaui dari pertumbuhan ekonomi. “Sektor ini tumbuh rata-rata di atas 8-9%. Jadi, kalau industri makanan dan minuman ini kita berikan upaya-upaya peningkatan yang lebih besar lagi melalui industri 4.0, tentu pertumbuhannya bisa double-digit,” ungkap Sigit.

Bahkan, selama ini industri makanan dan minuman berperan penting dalam peningkatan nilai tambah bahan baku di dalam negeri. “Sektor ini memang mempunyai nilai tambah paling tinggi, karena seluruh komponen bahan bakunya sebagian besar itu berasal dari dalam negeri. Apalagi, sektor ini didominasi oleh industri kecil dan menengah (IKM) sehingga bisa mewujudkan ekonomi yang inklusif,” imbuhnya.

Sementara itu, mengenai pengembangan di sektor industri kimia, pemerintah sedang gencar menarik investasi untuk memperkuat struktur manufaktur di dalam negeri. “Sebab, dari tahun 1998, belum ada investasi yang besar khususnya di industri petrokimia. Padahal, produksi dari sektor tersebut banyak dibutuhkan untuk memasok kebutuhan bagi sektor lainnya,” ujar Sigit.

 

BERITA TERKAIT

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

Konsumsi Energi Listrik SPKLU Meningkat 5,2 Kali Lipat - MUDIK LEBARAN 2024

NERACA Jakarta – Guna memanjakan pemudik yang menggunakan kendaraan listrik EV (Electric Vehicle), 1.299 unit Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum…

BERITA LAINNYA DI Industri

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

Konsumsi Energi Listrik SPKLU Meningkat 5,2 Kali Lipat - MUDIK LEBARAN 2024

NERACA Jakarta – Guna memanjakan pemudik yang menggunakan kendaraan listrik EV (Electric Vehicle), 1.299 unit Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum…