Aneh, Sanksi BPJS Kesehatan

Pemerintah disebut-sebut tengah menyiapkan aturan guna menjalankan sanksi pencabutan layanan publik bagi peserta BPJS kesehatan yang menunggak pembayaran iuran. Layanan publik yang berpotensi dicabut, antara lain pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan paspor.

Menurut Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris, sanksi pencabutan layanan publik bagi masyarakat yang belum mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Kesehatan maupun peserta yang menunggak iuran, sebenarnya sudah dalam UU BPJS Kesehatan dan Peraturan Presiden turunannya. Namun hingga kini, penegakan hukum aturan sanksi tersebut belum berjalan.

Namun, banyak pihak menilai rencana peraturan pemerintah (sanksi) terhadap penunggak iuran BPJS, terlalu berlebihan. Pasalnya, para penunggak adalah warga negara Indonesia (WNI) yang mempunyai hak untuk mendapatkan layanan publik seperti pembuatan SIM, paspor dan lain-lain. Sehingga tidak logis, jika penerapan sanksi mencakup pelarangan mendapatkan layanan publik tersebut.

Bukankah manajemen BPJS Kesehatan menyiapkan bentuk sanksi yang focus atas hak dan kewajiban peserta? Misalnya ada penunggak iuran 3 bulan berturut-turut, maka untuk sementara pelayanan fasilitas kesehatan (faskes) nya saja yang ditunda. Artinya, mereka (penunggak) tidak dapat menggunakan kartu BPJS untuk berobat di Faskes. Jika sudah melunasi tunggakannya, maka pelayanan Faskes-nya dibuka kembali. Jadi, pengenaan sanksi tidak melebar ke masalah lain.

Bandingkan saja dengan debitur penunggak utang bank, yang tentunya nilainya sangat signifikan ketimbang iuran BPJS Kesehatan, hingga kini tidak ada satupun sanksi yang diberikan kepada mereka mencakup layanan publik. Namun cukup sanksi tidak dapat mendapatkan fasilitas layanan perbankan saja, misalnya tidak bisa mengurus aplikasi kartu kredit.

Persoalan sanksi terhadap peserta BPJS Kesehatan bermula dari membengkaknya defisit keuangan BPJS itu sendiri. Masalah ini bukankah berawal dari pengelolaan keuangan internal selama ini, sehingga nilai defisitnya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Direksi BPJS Kesehatan memprediksi, defisit pada tahun ini mencapai Rp 28 triliun. Namun, hingga semester pertama, Menteri Keuangan justru memprediksi defisit bisa mencapai Rp 32,84 triliun. Prediksi Menkeu ini didukung oleh realisasi biaya manfaat rawat jalan tingkat pertama di semester pertama sebesar Rp 7,45 triliun, lebih dari anggaran yang ditetapkan yaitu Rp 5,98 triliun. Demikian juga rawat jalan tingkat lanjutan sebesar Rp 15,11 triliun melebihi dari triliun anggaran yang telah ditetapkan sebesar Rp 14,10 triliun.

Tentunya defisit ini berdampak pada utang klaim rumah sakit (RS) yang belum dibayar semakin besar. Di akhir April 2019, total utang klaim RS yang belum dibayar BPJS Kesehatan sebesar Rp 5,3 triliun, yang kemudian naik hampir Rp 4 triliun dalam dua bulan, menjadi Rp 9,23 triliun di akhir Juni 2019. Utang klaim menyebabkan cash flow RS menjadi terganggu untuk menjalankan operasionalnya, seperti membeli obat, membayar alat-alat kesehatan, membayar jasa medis dan paramedic serta karyawannya. Dengan kesulitan cash flow RS, maka rakyat yang akan menjadi korban.

Tidak hanya itu. Pemerintah juga berkeinginan menaikkan iuran JKN di tahun 2020, sehingga defisit pembiayaan JKN dapat teratasi. Pemerintah mengusulkan kenaikan iuran JKN untuk segmen kepesertaan Penerimaan Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp 19.000 per orang menjadi Rp 42.000. Kemudian untuk peserta mandiri, pemerintah berencana menaikkan iuran kelas 1 dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000, dan kelas 2 dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000. Jelas, beban iuran ini semakin memberatkan peserta BPJS Kesehatan di tengah kondisi ekonomi nasional memprihatinkan saat ini.

BERITA TERKAIT

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…

Kota Netral Karbon Idaman

Adalah Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) menjanjikan Nusantara sebagai kota netral karbon pertama di Indonesia. Bahkan OIKN juga mengklaim bahwa…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Optimalisasi Pangan

Harga pangan di sejumlah wilayah Indonesia mengalami kenaikan dalam beberapa waktu terakhir, terlebih menjelang Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri. Tidak…

Momentum Jalin Persatuan

Pasca pemilihan umum, bulan Ramadhan menyajikan momentum yang berharga bagi masyarakat untuk menyatukan diri. Meskipun perbedaan politik mungkin telah menimbulkan…

Kota Netral Karbon Idaman

Adalah Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) menjanjikan Nusantara sebagai kota netral karbon pertama di Indonesia. Bahkan OIKN juga mengklaim bahwa…