PEMERINTAH PERLU ANTISIPASI ANCAMAN RESESI - Bank Dunia: Urbanisasi Belum Berdampak Positif

Jakarta-Bank Dunia melaporkan bahwa urbanisasi atau perpindahan masyarakat dari desa ke kota ternyata belum berdampak positif di Indonesia terutama terhadap tingkat kesejahteraan. Padahal, saat ini separuh dari warga Indonesia sudah tinggal di perkotaan.  Sementara itu, peneliti CIPS meminta pemerintah untuk melakukan antisipasi terhadap ancaman resesi ekonomi. Apalagi, kondisi politik dalam negeri dinilai belum stabil.

NERACA

Menurut Bank Dunia, saat ini sekitar 151 juta (56%) penduduk tinggal di kawasan perkotaan, kira-kira 18 kali lipat populasi London. Padahal, pada proklamasi kemerdekaan di 1945, hanya satu dari delapan orang yang tinggal di kota-kota besar dan kecil, dan penduduk Indonesia berjumlah sekitar 8,6 juta, kira-kira sama dengan London saat ini.

Director Global for Urban and Territorial Development, Disaster Risk Management and Resilience Bank Dunia, Sameh Wahba, dalam laporan berjudul 'Mewujudkan Potensi Perkotaan Indonesia', mengungkapkan indikator pembangunan dunia yang dirilis Bank Dunia menunjukkan setiap peningkatan 1% penduduk di perkotaan Indonesia ternyata hanya mampu mendorong 1,4 % produk domestik bruto (PDB) per kapita.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan China yang mencapai 3 persen terhadap PDB per kapita, serta negara di Asia Timur dan Pasifik lainnya yang mencapai 2,7 persen terhadap PDB per kapita. "Tidak setiap orang bisa mendapatkan manfaat kesejahteraan dan kelaikan huni yang dihasilkan urbanisasi," ujarnya di Jakarta, Kamis (3/10).

Sejak 1950, rata-rata produk domestik bruto (PDB) per kapita telah meningkat hampir sembilan kali lipat secara riil, dan rata-rata penduduk Indonesia saat ini menikmati standar hidup yang jauh melebihi standar generasi sebelumnya.

Salah satu alasan Indonesia lebih makmur saat ini disebabkan manfaat produktivitas yang dihasilkan aglomerasi perkotaan dan transformasi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat yang lebih berbasis pada industri dan jasa.

"Namun demikian, peningkatan pembangunan dan kesejahteraan lebih lambat dan lebih sulit daripada laju urbanisasi yang cepat. Oleh karena itu, Indonesia tetap menjadi negara berpenghasilan menengah bawah, dan meskipun hampir setiap orang mendapatkan manfaat secara absolut, kemajuan yang dihasilkan urbanisasi tidak merata di kota-kota dan di seluruh Indonesia," ujarnya seperti dikutip merdeka.com.

Pertumbuhan kawasan perkotaan yang belum pernah terjadi sebelumnya telah menyebabkan faktor-faktor kepadatan negatif, terkait dengan tekanan penduduk perkotaan pada infrastruktur, layanan dasar, lahan, perumahan dan lingkungan, yang berdampak pada kelaikan huni (livability) kota-kota dan kesejahteraan yang dihasilkan oleh urbanisasi.

"Dengan kata lain, urbanisasi belum memenuhi potensinya untuk mendorong peningkatan kesejahteraan, inklusivitas dan kelaikan huni secara berkelanjutan di Indonesia," tutur pejabat Bank Dunia itu.

Secara terpisah, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, langkah preventif yang dilakukan pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi perekonomian nasional dari gejolak ekonomi global.

"Kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih tergolong cukup realistis dengan target pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3% di tengah kondisi riil saat ini yang masih bertengger pada level 5,08%. Walaupun demikian, pemerintah tetap perlu terus mewaspadai ancaman resesi global yang mungkin terjadi pada tahun depan," katanya seperti dikutip Antara di Jakarta, kemarin.

Antisipasi Pemerintah

Pingkan mengungkapkan setidaknya ada dua faktor utama yang perlu diantisipasi oleh pemerintah dalam menyikapi gejolak ekonomi global yang berada di ambang resesi ini.

Pertama adalah faktor internal yang mencakup stabilitas kondisi sosial-politik yang berdampak pada pertumbuhan investasi. Hal itu dilihat dari dinamika sosial-politik dalam negeri dalam beberapa minggu belakangan ini yang ditandai dengan masih adanya gelombang demonstrasi menuntut parlemen meninjau kembali beberapa RUU yang dinilai mengandung pasal-pasal kontroversial dan merugikan masyarakat.

Masyarakat dari berbagai lapisan turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka. Sayangnya, beberapa di antara demonstrasi tersebut berujung ricuh dan mendorong sentimen negatif dalam pasar sehingga membuat investor mengambil langkah wait and see.

"Faktor berikutnya adalah faktor eksternal yang mencakup kondisi perekonomian dari negara-negara mitra dagang maupun para penanam modal asing. Hal ini tentu mengancam iklim investasi di Indonesia. Pemerintah harus waspada karena resesi ekonomi dapat menyebar dengan cepat," ujar Pingkan.

Dia menuturkan memasuki kuartal terakhir 2019, perekonomian global masih kian melesu. Lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) hingga Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pun kerap mengoreksi pertumbuhan ekonomi global sejak dua kuartal belakangan.

Seiringan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut, Pingkan menyebut kemungkinan akan adanya resesi global dalam waktu dekat kembali menjadi sorotan.

Setidaknya tiga negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman, menjadi sangat rentan terhadap kemungkinan resesi dalam waktu dekat. Pasalnya, perang dagang antara Amerika Serikat dengan China yang sudah bergulir lebih dari satu tahun lamanya belum memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir.

Di sisi yang lain, perekonomian di benua biru juga tidak jauh dari kemungkinan resesi yang menghantui akibat dari adanya tensi geopolitik antara Inggris dengan Uni Eropa menjelang keputusan final Brexit yang akan ditetapkan pada 31 Oktober mendatang.

Meski demikian, pemerintah terus menggenjot pertumbuhan ekonomi agar terus meningkat. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 5 tahun terakhir berada di kisaran 5%. Angka ini lebih menurun dari 5 tahun sebelumnya yang bisa mencapai 6%.

Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Prof. Dr. Bambang PS Brodjonegoro, ada unsur harga komoditas atau booming harga komoditas di periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang membuat perekonomian tumbuh tinggi.

"Ketika kabinet ini dimulai kita tahu bahwa booming harga komoditas sudah berakhir dan akibatnya kiat tumbuh di seputaran 5% yang mungkin dianggap lebih rendah," ujarnya di Jakarta, kemarin.

Seperti diketahui, pada periode 1968-1979, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat itu mencapai sekitar 7,5%. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh komoditas minyak dan gas. Bahkan pada masa itu, Indonesia sempat dijuluki raja minyak dengan kapasitas produksi mencapai di atas 1 juta per barel per hari. bari/mohar/fba

 

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…