Memaknai Pertumbuhan di Tengah Kontraksi

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada dua triwulan pertama 2019 masih jauh di bawah target. Masing-masing sebesar 5,07 persen (Q1-2019) dan 5,05 persen (Q2-2019). Jauh di bawah target pertumbuhan ekonomi tahunan 2019 yang dipatok 5,3 persen.

Dalam kondisi normal, pertumbuhan ekonomi 5 persen memang tidak terlalu buruk. Apalagi kalau didukung oleh data ekonomi lainnya yang juga meningkat, yang menunjukkan aktivitas ekonomi memang sedang bertumbuh. Misalnya, data penyerapan tenaga kerja, data penjualan ritel, data indeks manufaktur, dan lainnya.

Tetapi, pertumbuhan ekonomi kita saat ini perlu diwaspadai. Masalahnya, banyak pihak tidak merasa pertumbuhan ekonomi dalam keadaan baik. Beberapa indikator ekonomi lainnya bahkan menunjukkan sebaliknya. Yaitu, aktivitas ekonomi tidak dalam keadaan baik-baik saja. Mereka mengeluh, bisnis agak sepi. PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) juga marak terjadi di berbagai perusahaan. Antara lain, tekstil. Menurut informasi, ada sekitar 10 perusahaan tekstil tutup.

Bahkan Bukalapak, perusahaan ritel online yang mempunyai status startup unicorn, juga dikabarkan mengurangi jumlah karyawannya. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, ritel toko juga banyak yang tutup. Seperti Giant. Kalau ritel online melakukan PHK dan ritel toko tutup, maka kondisi ini cukup memprihatinkan. Apakah ini gejala daya beli masyarakat melemah, dan turun?

Selain itu, Zomato, perusahaan startup unicorn lainnya yang bergerak di bidang jasa sektor restoran, juga mengurangi jumlah karyawannya, secara besar-besaran. Bulan ini mereka memberhentikan 540 karyawan. Bulan sebelumnya sudah memberhentikan 60 karyawan. Apakah PHK dalam jumlah cukup besar ini menunjukkan ekonomi masih dalam keadaan baik-baik saja?

Yang juga sangat mengkhawatirkan, ekspor-impor Indonesia tahun 2019 ini turun tajam, masing-masing turun 8,35 miliar dolar AS (atau 8,02 persen) dan 9,66 miliar dolar AS (atau 9 persen). Ekspor (Januari-Juli) 2018 tercatat 104,14 miliar dolar AS, kemudian turun menjadi 95,79 miliar dolar AS pada periode Januari-Juli 2019. Dan impor turun dari 107,34 miliar dolar AS (2018) menjadi 97,68 miliar dolar AS (2019).

Penurunan ekspor-impor ini bukan karena harga saja yang anjlok, tetapi juga karena kuantitas turun. Ekspor (nilai) riil memberi kontribusi turun 0,46 persen dan turun 0,38 persen pada pertumbuhan ekonomi Q1 dan Q2-2019. Dan penurunan impor (riil) lebih tajam lagi. Impor memberi kontribusi turun 1,62 persen dan turun 1,36 persen pada pertumbuhan ekonomi Q1 dan Q2-2019. Artinya, terjadi kontraksi pada ekspor dan impor 2019, yang menunjukkan aktivitas ekonomi tahun ini cukup lemah.

Melemahnya ekonomi seperti tersebut di atas membuat penerimaan pajak negara juga melemah. Bahkan ada yang turun, atau kontraksi. Penerimaan pajak (termasuk bea dan cukai) sampai akhir Juli 2019 baru tercapai Rp810,75 triliun, atau hanya 45,39 persen dari target penerimaan pajak 2019. PPN (Pajak Pertambahan Nilai) terkontraksi. PPN dalam negeri turun 4,68 persen dan PPN impor turun 4,52 persen. Kalau tren ini berlanjut maka realisasi penerimaan pajak diperkirakan maksimal 80 persen saja dari target. Artinya bisa terjadi shortfall (kekurangan) Rp350 triliun. Sangat besar sekali.

Lemahnya penerimaan pajak membuat rasio penerimaan pajak terhadap PDB per akhir Juli 2019 sudah di bawah 9 persen. Sungguh memprihatinkan. Dengan kondisi fiskal seperti ini, pemerintah sulit menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Sulit memberi stimulus ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menambah pundi-pundi keuangannya. Tetapi, sepertinya sulit dari aktivitas ekonomi seperti digambarkan di atas. Maka harus diperoleh dari sumber lain, yaitu dari pundi rakyat (dan mudah-mudahan jangan dari masyarakat kalangan bawah). Untuk itu, diwacanakan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) naik, tarif lisrik (bersubsidi) naik, cukai rokok naik, iuran BPJS kesehatan naik, biaya materai naik. Atau biaya-biaya tersebut sudah pada naik?

Jadi, pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5 persen ini masih membuat banyak pihak khawatir. Karena pertumbuhan ini dibarengi kontraksi, terutama anjloknya ekspor dan impor. Tanpa memperhitungkan ekspor-impor, pertumbuhan ekonomi bisa-bisa di bawah 4 persen. Makanya terasa agak berat. Semoga kenaikan berbagai harga akhir-akhir ini tidak membebani masyarakat dan ekonomi nasional. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…