Kenaikan Cukai 23 Persen Kian Menghimpit Industri Rokok

Kenaikan Cukai 23 Persen Kian Menghimpit Industri Rokok  

NERACA

Jakarta - Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) berkepentingan untuk menyampaikan pandangan terhadap keputusan pemerintah yang menaikan tarif cukai sebesar 23% dan Harga Jual Eceran sebesar 35% pada tahun 2020. Sebagaimana diketahui, pemerintah mengambil keputusan tersebut karena merasa adanya kepentingan mendesak untuk mengendalikan konsumsi rokok dengan dasar terjadi kenaikan konsumsi pada wanita dan anak, membasmi rokok ilegal dan meningkatkan penerimaan negara.

Ketua Gaprindo, Muhaimin Moefti mengungkap saat ini industri rokok mengalami tren yang stagnan bahkan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan produksi sejak 2016 adalah negatif setiap tahunnya dengan kisaran -1 hingga -2%. Tahun 2018 hanya tersisa 456 pabrikan dari 1000 pabrik rokok yang ada di tahun 2012.

"Di samping itu, kami melihat kecenderungan pasar yang kian sensitif terhadap harga, dimana mayoritas konsumen lebih memilih rokok-rokok value for money dengan kisaran harga Rp 15.000 – Rp 20.000. Kenaikan drastis sebesar 23% dan HJE 35% di tahun 2020 akan kian menghimpit kondisi industri rokok," ungkap Muhaimin di Jakarta, Selasa (17/9).

Menurutnya kami tidak akan memiliki ruang bergerak yang cukup untuk menciptakan inovasi produk yang diperlukan untuk menghidupkan industri ini. Akibatnya, rokok ilegal berpotensi besar naik kembali. Hal ini telah terjadi pada negara tetangga kita Malaysia di mana pada tahun 2015 pemerintah menaikan cukai rokok sekitar 43% akibatnya rokok illegal meningkat drastis menjadi lebih kurang 60%. Dan, penerimaan menurun karena jumlah pembelian pita cukai merosot tajam.

"Hal lain yang harus menjadi bahan pertimbangan adalah penghidupan petani tembakau, petani cengkeh, dan para pekerja di industri ini yang jumlahnya mencapai jutaan orang. Bagi petani, cukai yang kian tinggi dan penjualan yang menurun menyebabkan kebutuhan bahan baku berkurang. Akibatnya, para petani akan merugi karena tembakau serta cengkeh yang mereka hasilkan tidak terserap. Bagi para pekerja, penurunan volume produksi berarti potensi PHK," papar Muhaimin.

Menaikkan tarif cukai dan HJE secara drastis belum tentu memiliki dampak terhadap tujuan yang ingin dicapai, yaitu penurunan prevalensi perokok, terutama kalangan anak dan perempuan. Secara keseluruhan prevalensi merokok menunjukkan tren menurun, yaitu dari 36.3% (RISKESDAS, 2013) menjadi 33.8% (RISKESDAS, 2018). Kami berharap Pemerintah mau berdiskusi tentang upaya bersama untuk mendorong pengendalian konsumsi sesuai aturan yang berlaku. Namun, hendaknya hal ini dapat dilakukan tanpa melakukan langkah ekstrim yang dapat mengancam keberlangsungan industri IHT.

Gaprindo ingin Pemerintah selalu membuka pintu diskusi saat menetapkan kebijakan cukai tahun 2020 dan bersikap transparan kepada kami sebagai pelaku industri karena kenaikan cukai sebesar 23% dan HJE 35% sangat memberatkan dan terlalu tinggi.

Hal senada Ketua Media Center Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI). Menurut Hananto, rokok ilegal bakal kian marak, dan bakal merugikan seluruh pihak.

“Semua pihak akan dirugikan, mulai dari pabrik rokok legal, para pekerjanya, hingga petani tembakau dan cengkeh. Pemerintah juga akan dirugikan lantaran rokok ilegal tidak membayar cukai," ucap Hananto.

Sepanjang periode 2014-2017, pertumbuhan volume rokok ilegal berbanding terbalik dengan rokok legal. Berdasarkan riset Ernest and Young bertajuk “Kajian Singkat Dampak Ekonomi Industri Rokok di Indonesia" disebutkan bahwa volume produksi rokok ilegal rata-rata tumbuh 12 persen per tahun.

Pada periode yang sama, pertumbuhan volume rokok legal justru pelan-pelan menurun. Pada 2014, volume rokok legal mencapai 352 miliar batang. Pada 2018, volume rokok legal sudah berada di 332 miliar batang.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan terdapat sejumlah pertimbangan atas kebijakan ini. Salah satunya adalah demi menekan tren konsumsi rokok yang terus meningkat.

“Jumlah prevalensi perempuan dan anak yang mengisap rokok meningkat. Perempuan misal, dari 2,5 persen sekarang menjadi 4,8 persen. Anak-anak dari 7 persen menjadi 9 persen," kata Sri Mulyani, usai rapat terbatas di Istana Merdeka pekan lalu.

Data yang disampaikan Sri Mulyani terkait prevalensi perokok yang meningkat berasal dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Dari data tersebut, industri rokok memang terlihat sedang menggeser pasarnya ke perokok muda.

Sri Mulyani juga tidak menampik kenaikan tarif cukai rokok itu untuk meningkatkan penerimaan negara. Tahun depan, pemerintah menargetkan penerimaan cukai naik 13 persen menjadi Rp179,2 triliun, dari target tahun ini sebesar Rp158,8 triliun. Untuk mengejar target itu, cukai rokok adalah andalan pemerintah. Mohar/Iwan

 

BERITA TERKAIT

Hadi: Satgas Pemberantasan Judi Online Tak Sebatas Penegakan Hukum

NERACA Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Hadi Tjahjanto menyebut kerja satuan tugas (satgas)…

Kompolnas Ungkap Progres Baru Penanganan Kasus Firli Bahuri

NERACA Jakarta - Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsyim mengungkap akan ada progres/kemajuan baru dalam penanganan perkara/kasus dugaan pemerasan oleh…

Kejaksaan Agung Lembaga Penegakan Hukum Paling Dipercaya

NERACA Jakarta - Hasil jajak pendapat terbaru Indikator Politik Indonesia April 2024, kembali menempatkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga hukum paling…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Hadi: Satgas Pemberantasan Judi Online Tak Sebatas Penegakan Hukum

NERACA Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI Hadi Tjahjanto menyebut kerja satuan tugas (satgas)…

Kompolnas Ungkap Progres Baru Penanganan Kasus Firli Bahuri

NERACA Jakarta - Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Yusuf Warsyim mengungkap akan ada progres/kemajuan baru dalam penanganan perkara/kasus dugaan pemerasan oleh…

Kejaksaan Agung Lembaga Penegakan Hukum Paling Dipercaya

NERACA Jakarta - Hasil jajak pendapat terbaru Indikator Politik Indonesia April 2024, kembali menempatkan Kejaksaan Agung sebagai lembaga hukum paling…