Jurus Jitu Dongkrak Pertumbuhan via FDI Berbasis Ekspor

 

Oleh: Roni Agung, Staf Bea Cukai Cikarang Kemenkeu

Pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan mencapai kisaran 5,3%. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan Foreign Direct Investment (FDI) atau  investasi dalam bentuk kepemilikan pengendali bisnis di satu negara oleh entitas yang berbasis di negara lain. FDI yang dimaksud adalah investasi langsung dalam bidang Industri yang berbasis ekspor dan padat karya untuk bisa mendorong peningkatan penerimaan devisa sekaligus mampu melakukan penyerapan tenaga kerja dengan jumlah yang signifikan. Selain tenaga kerja, modal yang masuk diharapkan bisa bersinergi dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta koperasi.

Sayangnya FDI yang berkembang di Indonesia belum bisa menggenjot kinerja ekspor, alasannya karena penanaman modal yang masuk sebagian besar berorientasi hanya memanfaatkan potensi pasar dalam negeri, sebagai contoh Investasi di sektor makanan, minuman dan consumer goods yang kita konsumsi sehari-hari.

Sementara itu, tren negatif sekarang yang berkembang justru banyak investasi asing berbasis ekspor di sektor industri komoditas yang ada di Indonesia pindah ke Vietnam dan Malaysia karena dinilai lebih menjanjikan kemudahan dan kepastian berusaha.

Adanya fenomena ini tentunya akan berdampak pada penurunan Nilai Ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia sendiri mengalami penurunan pada April 2019 dari Maret 2019 sebesar 10,80 persen. Sementara itu, secara tahunan ekspor Indonesia pada April 2019 anjlok 13,10 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan, Nilai ekspor pada Maret 2019 sebesar 14,12 miliar dollar AS, sementara pada April tercatat sebesar 12,6 miliar dollar AS turun kalau dibandingkan April 2018 bahkan lebih tajam, mencapai 13,10 persen.

Kondisi seperti ini tentunya akan semakin memperberat pencapaian target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditargetkan mencapai 5,3%, dimana sektor ekspor dan penyerapan tenaga kerja menjadi elemen terpenting dalam pertumbuhan ekonomi. Tentunya hal ini bila dibiarkan akan terus berpengaruh menghambat laju pertumbuhan ekonomi tahun-tahun ke depannya.   

Sejauh ini untuk menarik investor asing yang bersifat padat karya, Indonesia memang sudah banyak menerapkan langkah-langkah jitu, diantaranya memberikan kemudahan fasilitas di bidang Kepabenan, diantaranya Fasilitas Authorized Economic Operator (AEO), Mitra Utama (MITA), Kawasan Berikat (KB), dan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dimana semuanya memberikan fasilitas penangguhan Bea Masuk (BM) dan Pungutan Dalam Rangka Impor (PDRI) terhadap impor barang modal, bahan baku dan bahan baku penolong. Selain penangguhan BM dan PDRI fasilitas-fasilitas tersebut juga meminimalisir adanya pemeriksaan dokumen dan fisik barang yang bisa menghambat lajunya arus barang yang masuk dan keluar Indonesia.

Saat ini tercatat oleh Bea dan Cukai jumlah investor asing berbasis ekspor yang memanfaatkan fasilitas KB adalah 1.360 perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara untuk pengguna fasilitas KITE adalah 362 perusahaan.

Dari jumlah 1244 perusahaan dengan fasilitas Kawasan Berikat dan 362 perusahaan dengan fasilitas KITE yang disurvei oleh Bea Cukai dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan University Network for Indonesia Export Development (UNIED) pada periode tahun 2016, kontribusi nilai ekspor KB dan KITE tercatat Rp780,83 triliun atau setara dengan 37,76 persen dari nilai ekspor nasional. Sementara nilai tambah KB dan KITE terhadap perekonomian mencapai Rp 402,5 triliun, kontribusi terhadap penerimaan Pajak Pusat sebesar Rp. 64,96 trilyun dan Pajak Daerah sebesar Rp. 8,71 trilyun. Adapun jumlah tenaga kerja yang diserap dari fasilitas ini mencapai 1,95 juta orang di mana 97 persen dari total tersebut diisi oleh tenaga kerja lokal. Hal ini juga sejalan dengan langkah strategis yang diupayakan pemerintah dalam mendorong ekspor nasional.

Selain kontribusi tersebut, kedua fasilitas tersebut juga berperan aktif dalam pertumbuhan aktivitas ekonomi masyarakat di sekitar perusahaan. Dalam survei tersebut dirilis data untuk sektor usaha perdagangan di sekitar perusahaan KB dan KITE tumbuh sebesar 72.710 usaha, usaha akomodasi sebesar 82.370 usaha, sektor makanan sebesar 56.733 usaha, dan sektor transportasi sebesar 56.695 usaha.

Bukan Masalah Kepabeanan

Langkah pemerintah Indonesia untuk menarik minat investor asing untuk menaruh saham di Tanah Air melalui kemudahan fasilitas di sektor Kepabeanan dinilai sudah baik. Namun, pemerintah juga diminta bisa mempertahankan investasi asing yang sudah ada di dalam negeri, terutama dengan meminimalisir faktor-faktor masalah yang sering bikin kapok para Investor saat melakukan usaha di Indonesia.

Alih-alih ingin menarik investor asing yang baru, fakta di lapangan malah banyak para investor asing yang memilih memindahkan perusahaan atau pabriknya ke negara tetangga, seperti Vietnam. Penyebab pindahnya perusahaan milik investor asing tersebut karena adanya beberapa faktor masalah yang sudah sering para investor asing keluhkan kepada pemerintah Indonesia. Namun, tidak mampu diselesaikan pemerintah. Celakanya perusahaan yang pindah adalah investasi asing berbasis ekspor yang bersifat padat karya.

Faktor masalah yang sering bikin kapok para investor meliputi tiga hal yaitu tenaga kerja, biaya logistik dan ketidakpastian hukum.

Menurut ekonom senior Indef Nawir Messi, sektor ketenagakerjaan merupakan salah satu hal yang sering dikeluhkan para investor. "Sampai hari ini, para investor itu komplain pertamanya selalu tenaga kerja," kata dia, dalam diskusi, di Jakarta, Kamis (7/2). Menurut dia, pertumbuhan upah tenaga kerja di Indonesia jauh lebih cepat dibandingkan produktivitas industri, ini memberatkan investor.

Masalah tenaga kerja tidak hanya pada upah, tapi sejak dari perekrutan saja sudah bermasalah. Sebut saja untuk perekrutan tenaga operator. Intervensi dari ormas-ormas setempat masih sangat mengganggu dan membuat cemas investor. Ormas-ormas ini melakukan intervensi dengan desakan yang sering menjurus anarkis. Masalah lainnya adalah kualitas SDM yang ada sangat minim dan maraknya demo buruh sehingga mengganggu produktivitas kerja buruh.

Untuk biaya logistik menjadi sorotan kedua setelah tenaga kerja. Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia (UI) Ellen Tangkudung mengatakan salah satu permasalahan yang dihadapi dunia usaha adalah tingginya biaya logistik di Indonesia. Menurut Frost and Sullivan, Indonesia memiliki biaya logistik termahal di Asia, yakni sebesar 24% dari Produk Domestik Bruto (PDB), disamping itu masalah maraknya pungutan liar (pungli) baik oleh aparat maupun preman  menjadi salah satu penyebab mahalnya biaya logistik di Indonesia.

Ketidakpastian hukum menjadi sorotan terakhir yang menciptakan ketidak nyamanan para investor untuk berinvestasi. Sebagai contoh, substansi peraturan perundang-undangan yang seringkali tumpang tindih atau tidak sinkron, misalnya adanya otonomi daerah, muncul raja-raja kecil di daerah yang membuat para pengusaha harus kerepotan setiap kali ada perubahan aturan di daerah.

Banyaknya peraturan yang tidak jelas membuat pengusaha sulit untuk menghitung cost (biaya), misalnya banyak Peraturan Daerah (Perda) seperti retribusi yang dikenakan kepada investor yang menanamkan modalnya di daerah, padahal dalam kontrak yang ditandatangani oleh pemerintah pusat dan investor, pungutan tersebut sudah termasuk di dalamnya. Hal itu menyebabkan banyak terjadi pungutan berganda, dan sering kali pungutan berganda itu ditemukan para Investor di lapangan.

Pemerintah perlu segera mengatasi permasalahan-permasalahan ini, karena ini sudah menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang lama dan belum tuntas sampai sekarang.

Regulasi tegas terhadap masalah upah, perekrutan,  etos kerja dan kedisiplinan para pekerja Indonesia harus segera dibuat, sehingga ‘perilaku tradisional’ para pekerja Indonesia bisa segera diatasi.

Untuk biaya logistik yang tinggi akibat adanya pungutan liar diperlukan adanya kerjasama antar aparat penegak hukum termasuk di dalamnya harus melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sedangkan terhadap ketidakpastian hukum, tanggung jawab menciptakan suatu iklim usaha yang sehat dan kondusif bukan hanya merupakan tanggung jawab dari pemerintah saja, melainkan juga seluruh komponen bangsa termasuk pelaku usaha dan masyarakat pada umumnya. Pemerintah daerah bersama-sama pemerintah pusat perlu segera membenahi permasalahan tersebut. Dan tidak hanya terfokus di situ saja, bagi pemerintah daerah diperlukan langkah serius untuk menekan munculnya perda-perda yang anti investasi.

Selain sistem pemerintahan, letak geografis, dan ketersediaannya lahan untuk industri yang juga merupakan bagian dari hambatan masuknya investor Indonesia sebaiknya membenahi hal-hal tersebut sebelum bermimpi untuk mendatangkan investor asing yang baru.

BERITA TERKAIT

Pembangunan IKN Terus Berlanjut Pasca Pemilu 2024

  Oleh: Nana Gunawan, Pengamat Ekonomi   Pemungutan suara Pemilu baru saja dilakukan dan masyarakat Indonesia kini sedang menunggu hasil…

Ramadhan Momentum Rekonsiliasi Pasca Pemilu

Oleh : Davina G, Pegiat Forum Literasi Batavia   Merayakan bulan suci Ramadhan  di tahun politik bisa menjadi momentum yang…

Percepatan Pembangunan Efektif Wujudkan Transformasi Ekonomi Papua

  Oleh : Yowar Matulessy, Mahasiswa PTS di Bogor   Pemerintah terus menggencarkan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Papua. Dengan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan IKN Terus Berlanjut Pasca Pemilu 2024

  Oleh: Nana Gunawan, Pengamat Ekonomi   Pemungutan suara Pemilu baru saja dilakukan dan masyarakat Indonesia kini sedang menunggu hasil…

Ramadhan Momentum Rekonsiliasi Pasca Pemilu

Oleh : Davina G, Pegiat Forum Literasi Batavia   Merayakan bulan suci Ramadhan  di tahun politik bisa menjadi momentum yang…

Percepatan Pembangunan Efektif Wujudkan Transformasi Ekonomi Papua

  Oleh : Yowar Matulessy, Mahasiswa PTS di Bogor   Pemerintah terus menggencarkan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Papua. Dengan…