Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Bukan Solusi Atasi Defisit

 

Oleh: Yenny Sucipto, Pemerhati Kebijakan Publik

Iuran kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan mengalami kenaikan. Hal ini dilakukan sebagai langkah untuk menyelesaikan masalah defisit anggaran BPJS Kesehatan yang terus menggelembung. Usulan kenaikan tersebut mencakup peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang menikmati fasilitas kesehatan (faskes) kelas III, serta peserta yang menikmati faskes kelas I dan II.

Meskipun pemerintah mengklaim bahwa kenaikan iuran tersebut dilakukan untuk mengatasi defisit, namun hal itu tidak akan serta merta menyelesaikan permasalahan tersebut. Akar permasalahan defisit BPJS Kesehatan sendiri tidak pernah diselesaikan. Sebab sejak awal program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut dicanangkan, model pembiayaan yang dipilih memiliki potensi untuk mengalami kerugian yang besar (M.Teguh Maulana, 2019).

Seharusnya pemerintah meninjau ulang model pembiayaan JKN, khususnya BPJS Kesehatan saat ini yang menggunakan sistem iuran atau pembayaran premi asuransi. Sebab dengan membebankan biaya jaminan kesehatan kepada masyarakat, pemerintah seperti melepaskan kewajibannya untuk menjamin akses kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat.  Bahkan dengan menggunakan model saat ini juga, pemerintah tidak ada bedanya dengan menerapkan logika ekonomi pasar yang menganggap bahwa jaminan kesehatan merupakan suatu komoditas jasa yang dapat difinansialisasikan.

Sejak Awal Berpotensi Rugi

Pangkal mula permasalahan defisit tersebut ditarik ke rendahnya anggaran kesehatan Indonesia. “Dari Rp2.200 triliun APBN pada 2018, anggaran kesehatan hanya Rp110 triliun. Sedangkan jika dihitung berdasarkan proporsinya terhadap GDP, anggaran kesehatan hanya 2,8 persen dari GDP. Sehingga setiap orang di Indonesia hanya memperoleh pembiayaan kesehatan sebesar 112 dolar AS perkapita. Sedangkan idealnya proporsi anggaran kesehatan terhadap GDP itu sekitar 10 persen.

Ada dugaan bahwa BPJS Kesehatan memang sejak awal dirancang untuk bangkrut. Hal itu merujuk kepada perhitungan aktuaris yang menunjukkan bahwa premi yang dibayarkan tidak akan pernah cukup menutupi pembiayaannya. Sehingga diperhitungkan seberapa banyak apapun pemerintah menalangi defisist BPJS Kesehatan tidak akan pernah mencukupi. Sebagai contoh pada 2018 defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp16,5 triliun. Meskipun pemerintah telah menggelontorkan dana talangan sebesar Rp9,2 triliun tahun lalu untuk menutupi defisit, masih terdapat defisit sebesar Rp7 triliun rupiah. Defisit kemudian terbawa ke 2019, dimana pada dua bulan pertama tahun ini saja defisit BPJS Kesehatan sudah mencapai Rp2 triliun. Jika tetap dibiarkan, pada tahun 2019 defisit BPJS Kesehatan akan menembus angka Rp20 triliun.

Untuk menekan defisit, BPJS Kesehatan sejak tahun lalu mulai mengurangi manfaat atau tanggungan bagi obat-obatan untuk pasien pesertanya. Padahal, jika melihat sistem penjaminan BPJS Kesehatan yang menggunakan model Indonesia Case Base Group (INA-CBGs), maka tarif pelayanan kesehatan yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan dalam satu paket (meliputi biaya konsultasi dokter, biaya obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), biaya pemeriksaan penunjang, akomodasi atau kamar perawatan dan biaya lainnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien). Dengan adanya pengurangan manfaat, akan menjadikan jumlah penjaminan layanan kesehatan yang dibayarkan dalam satu paket tersebut, termasuk obat-obatan yang digunakan, akan menjadi semakin terbatas.

Penyebab Defisit Membengkak

Salah satu pemicu defisit anggaran BPJS Kesehatan juga berasal dari belanja obat-obatan. Belanja obat BPJS Kesehatan mencapai Rp36 triliun pada 2018 atau 40 persen dari belanja kesehatan secara keseluruhan (alat, fasilitas dan tenaga kesehatan). Bahkan meskipun pemerintah telah mengucurkan dana Rp10,5 triliun untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan, menurut BP Farmasi BPJS Kesehatan masih memiliki utang yang belum dibayar untuk pembelian obat berjumlah Rp3,6 triliun kepada produsen obat. Dari Rp10 triliun, hanya 6 hingga 10 persen yang digunakan untuk pembayaran obat-obatan atau hanya mendapat pembayaran Rp300 miliar dari BPJS Kesehatan.

Setidaknya untuk menekan defisit dan tidak menghilangkan tanggungan obat-obatan, BPJS Kesehatan dapat mengurangi pengadaan obat-obatan paten yang harganya mahal dan mensubstitusikannya dengan versi generiknya yang lebih murah. Namun demikian hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan. IGJ menilai, bahwa faktor yang menyebabkan hal tersebut sulit untuk dilakukan antara lain, karena: (1) Tidak adanya versi generik dari obat-obatan kanker tersebut; (2) Monopoli paten dan teknologi oleh perusahaan farmasi transnasional dalam produksi obat-obatan kanker; (3) Ada obat-obatan yang tidak diregistrasi di BPOM; dan (4) Belum Efektifnya keberadaan Formularium Nasional (FORNAS) dan e-Catalogue yang digunakan sebagai dasar dari pengadaan obat-obatan BPJS Kesehatan.

Butuhn Evaluasi Komprehensif

Dari beberapa masalah klasik diatas, ada persoalan sistem yang tidak terbangun sehingga menyebabkan carut marut dalam pengelolaan BPJS, perencanaan yang tidak di perkuat dengan infrastruktur baik materiil maupun non materiil hingga berdampak pada implementasinya secara teknis.

Jadi tidak serta merta kemudian DPR dalam hal ini sebagai pembahas anggaran menyetujui begitu saja usulan dari pemerintah mengenai kenaikan iuran premi hingga 100 persen. Semua memerlukan evaluasi yang komprehensif pada sistem yang telah dibangun selama ini untuk memutuskan kebijakan berkaitan dengan hajat hidup rakyat, terutama mengenai persoalan skema pembiayaan sehingga mengakibatkan defisit. Kebijakan yang diputuskan memang syarat dengan kepentingan politik karena produk anggaran merupakan produk politik melalui proses bargaining. Namun, pada persoalan ini evaluasi sistem yang telah berjalan menjadi sangat penting menjadi dasar untuk bersikap dari partai politik melalui wakilnya di DPR.

Evaluasi komprehensif yang dimaksud adalah mencakup mengenai keorganisasian, kelembagaan dan Sumberdaya Manusia. Sejauh mana sistem tersebut berjalan secara transparan dan akuntabel. Keorganisasian adalah bicara mengenai urusan aturan-aturan yang berkaitan dengan pengelolaan BPJS baik aturan tingkat tinggi ataupun aturan teknis di tingkat lapangan. Berbicara mengenai kelembagaan adalah mengenai urusan mekanisme ataupun ketersediaan infrastruktur dalam pengelolaan BPJS sampai ke penerima manfaat. Sedangkan mengenai SDM adalah bicara soal ketersediaan tenaga fungsional maupun tenaga administrasi di tingkat lapangan dalam mendukung berjalannya program BPJS.

Presiden sebenarnya harus jeli dalam hal ini, mengingat pernah di tahun 2018 mengkritik mengenai pengeloaan BPJS dan defisit yang terjadi beberapa kali. Satu-satu nya harapan adalah sikap politik dari DPR dalam menyikapi hal ini, seharusnya DPR perlu memberikan sebuah rekomendasi kepada BPK/BPKP untuk melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu untuk melakukan investigasi mengenai pembengkakan yang terjadi di tubuh lembaga pengelola BPJS sebelum memberikan keputusan kenaikan iuran premi.

Dari beberapa persoalan yang telah dikemukakan diatas, maka kami merekomendasikan sebagai berikut:

Menolak adanya kenaikan iuran premi hingga 100 persen karena telah melanggar pasal 34 (2) dimana diharuskan Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Mengingat kondisi kemiskinan di Indonesia masih sebesar 25,14 juta jiwa.

Mendesak Presiden untuk menarik usulan mengenai kenaikan premi hingga 100 persen, karena dianggap tidak memiliki indikator yang jelas dalam kenaikan tersebut

Mendesak kepada DPR untuk memberikan rekomendasi kepada BPK untuk melalukan investigasi dengan cara melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu, atau menunjuk BPKP melakukan audit investigasi secara kuantitatif maupun kualitatif

Mendesak kepada Presiden melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap sistem pengelolaan BPJS yang telah berjalan secara komprehensif, serta segera mungkin memperkuat sistem koordinasi antara lembaga yang diberi kewenangan dalam pengelolaan tersebut

Mendesak kepada BPJS Kesehatan untuk melakukan transparansi dalam pengelolaan jaminan kesehatan kepada publik. (www.watyutink.com)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…